Rabu, 18 April 2007
Saatnya Belajar dari Bencana
(Refleksi Menyongsong Hari Bumi 2007)
Oleh: Alip Winarto SHut MSi*
BUMI merupakan habitat bagi semua makhluk hidup yang semakin lama semakin berat bebannya. Kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam yang antara lain hanya bisa dipenuhi melalui pemanfaatan sumber daya alam menyebabkan bumi sebagai tempat berpijak seolah-olah semakin sempit saja. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di permukaan maupun di dalam perut bumi yang kurang bijak telah menyebabkan terjadi perubahan yang mengarah kepada kerusakan. Padahal semestinya manusia berkewajiban mengelola sumber daya alam yang ada di bumi, agar bermanfaat untuk semua makhluk hidup dalam jangka waktu yang panjang.
Saat ini perilaku arif manusia dalam merubah dan mewujudkan kualitas bumi agar menjadi lebih baik, merupakan sebuah keharusan. Karena itu diperlukan adanya kebersamaan untuk mewujudkan perubahan tersebut. Salah satu bentuk kebersamaan itu adalah ditetapkannya Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April. Momentum Hari Bumi ini diharapkan seluruh bangsa di dunia menyadari bahwa kondisi bumi semakin lama semakin memprihatinkan. Beban yang harus ditanggung bumi sebagai habitat semua makhluk hidup, semakin lama semakin berat.
Semakin tingginya kebutuhan ekonomi, dan juga gagalnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, membawa konsekuensi bumi terus-menerus mendapatkan tekanan yang cukup berat, dicemari dan dirusak. Meskipun berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah dan berbagai upaya penegakan hukum juga telah ditempuh untuk berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, yang mangabaikan kerusakan lingkungan tetap saja berlangsung baik oleh individu, kelompok masyarakat, kelompok elit, badan usaha milik swasta dan sebagainya. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari ketidakramahan tersebut adalah berbagai bencana lingkungan yang sangat merugikan bagi umat manusia.
Pertumbuhan ekonomi memang menjadi sasaran utama pembangunan. Namun demikian faktor pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Aspek lingkungan yang sebenarnya memegang peranan cukup penting juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Di sektor kehutanan misalnya, karena alasan peningkatan devisa negara, peningkatan pendapatan daerah, penyediaan lapangan kerja, atau peningkatan pendapatan masyarakat lokal sering dijadikan dalih pembenaran aktivitas eksploitasi hutan atau alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi lainnya. Padahal sebagaimana dikemukakan Kartodiharjo (2004) yang dikutip oleh Marinus Kristiadi Harun, peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, secara ekonomi nilai kayu hanya memberi peran 5 persen dari seluruh manfaat hutan. Sedangkan fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar antara 93 sampai 95 persen.
Kerusakan hutan sebenarnya tidak hanya menjatuhkan aktivitas nilai ekonomi hutan. Lebih jauh dari itu juga menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana lingkungan yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan infrastruktur sosial dan ekonomi masyarakat. Sudah cukup banyak anggaran yang dalokasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah akibat terjadinya bencana lingkungan semacam banjir, tanah longsor, teror asap maupun kekeringan di tengah-tengah kondisi perekonomian yang belum pulih pasca krisis. Sementara itu kawasan hutan yang tersisa terus saja terdegradasi kualitas dan kuantitasnya. Tidak sebanding dengan laju keberhasilan rehabilitasi kawasan hutan.
Barangkali masih belum hilang dari ingatan kita, bencana lingkungan secara bertubi-tubi melanda negeri ini. Mulai dari banjir, semburan lumpur dan gas, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, teror asap dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak bencana lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah banjir di Jakarta. Banjir yang terjadi pada awal tahun ini merendam hampir sebagian besar kawasan ibukota. Dampak yang ditimbulkan juga tidak main-main. Kerugian yang ditimbulkan konon mencapai tidak kurang dari Rp4 triliun. Belum termasuk kerugian lainnya yang tak dapat diukur dengan nilai rupiah, seperti hilangnya harta benda, nyawa, munculnya penyakit pasca banjir, dan sebagainya.
Iklim, curah hujan, kapasitas sungai menampung air, sifat-sifat tanah dan sebagainya merupakan faktor-faktor alam yang tidak dapat dikendalikan oleh umat manusia sering dijadikan kambing hitam. Padahal sesungguhnya kalau dikaji lebih jauh, disinyalir terjadinya banjir tidak terlepas dari perilaku kurang arif dalam memperlakukan alam. Misalnya alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan hunian yang menyebabkan hilangnya fungsi tangkapan air (catchment area). Menurut data-data foto satelit LAPAN (Kompas, 3 Pebruari 2007), telah terjadi perubahan penggunaan lahan di Bogor, terutama di daerah tangkapan air hulu Sungai Ciliwung, dari kawasan hijau bervegetasi menjadi kawasan terbangun. Kawasan terbangun yang pada 1992 hanya mencapai seluas 101.363 hektare, pada 2006 naik dua kali lipat menjadi 225.171 hektare. Sedangkan kawasan tidak terbangun yang semula 665.035 hektare menyusut menjadi 541.227 hektare.
Lebih lanjut Tedjasukmana, Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN (Kompas, 3 Pebruari 2007), mengemukakan bahwa permukiman di sepanjang daerah tangkapan air Sungai Ciliwung semakin meluas. Limpahan penduduk dan aktivitas dari Jakarta menyebabkan perumahan, kawasan jasa dan perdagangan, serta industri terus menyebar ke Citeureup, sampai ke Depok. Sementara itu di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi tanah yang terbuka untuk menyimpan air. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk kawasan hijau telah beralih fungsi seiring tuntutan perkembangan ekonomi kota. Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan.
Sayangnya fenomena di atas belum cukup untuk menyadarkan kita semua untuk lebih ramah kepada bumi. Bisa jadi gempa bumi dan tsunami, juga merupakan peringatan Yang Kuasa atas ketidaksadaran dan ketertutupan hati kita, atas berbagai pelajaran yang seharusnya kita ambil dari fenomena alam. Memang kesadaran muncul sesaat setelah bencana lingkungan terjadi tetapi masih bersifat parsial dan temporary. Artinya setelah bencana terjadi, kita sibuk melakukan penghijauan, rehabilitasi lahan kritis, mengkaji ulang tata ruang wilayah dan sebagainya, tetapi hanya bersifat sementara dan berhenti ketika bencana lingkungan telah berlalu. Di di pihak lain masih banyak individu, kelompok masyarakat, kelompok elit, atau badan hukum yang sibuk dengan aktivitas perusakan lingkungan baik secara legal maupun illegal tanpa menghiraukan dampak yang mungkin ditimbulkan.
Dalam pengelolaan sumber daya alam sering terjadi pertentangan antara kelompok yang menganut paham antroposentris dan ekosentris. Paham antroposentris sering menjadi acuan kelompok developmentalis dan biasanya menjadi pilihan intelektual birokrat dengan dukungan lembaga internasional seperti FAO, IMF, World Bank, ITTO dan lembaga sejenis lainnya. Kelompok ini cenderung menggunakan indikator ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Sementara itu NGO lingkungan lebih banyak mewakili kelompok yang menganut paham ekosentris yang sangat idealis dalam mempelopori dan memperjuangkan gerakan penyelamatan lingkungan. Dua paham ini ibarat dua kutub yang saling berlawanan. Kelompok yang menganut paham antroposentris sering menganggap paham ekosentris merupakan penghambat pembangunan. Sebaliknya kelompok penganut paham ekosentris menganggap pembangunan menjadi ancaman penyelamatan lingkungan.
Kedua paham ini memang sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga lebih pas kalau terjadi perpaduan di antara keduanya. Di sektor kehutanan, pengelolaan taman nasional merupakan salah satu contoh bentuk perpaduan dari kedua paham ini.
Taman nasional dikembangkan menjadi beberapa zona. Zona inti yang tidak boleh dijamah sama sekali (full conservation), zona rimba yang dipergunakan untuk penyelidikan, buffer zone sebagai kawasan penyangga dan zona pemanfaatan dimana pada zona ini dapat dilakukan pemanfaatan ekonomi secara terbatas. Konsep pengelolaan taman nasional seperti ini mestinya juga dapat diadopsi untuk model pengelolaan sumber daya alam yang lain. Dengan perpaduan ini diharapkan pembangunan tetap berjalan tetapi kerusakan lingkungan dapat ditekan pada nadir.
Saatnya kita memetik hikmah dari berbagai bencana yang telah terjadi pada Hari Bumi ini. Keramahan umat manusia kepada bumi paling tidak dapat mengurangi dampak bencana lingkungan yang lebih parah. Upaya menyelamatkan bumi harus disadari bersama sebagai sebuah tanggung jawab bersama. Jangan sampai Yang Kuasa kembali menyadarkan umat manusia dengan bencana lainnya. Wallahu alam bi shawab.***
*) Staf Badan Diklat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan