Advertising

Selasa, 11 Maret 2008

ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH ?

Orang Miskin Dilarang Sekolah?


SAAT tulisan ini dibuat, masih berlangsung Penerimaan Siswa Baru (PSB) dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di berbagai lembaga penyelenggara pendidikan. Saat-saat yang cukup menegangkan bagi para orang tua. Mereka disibukkan dengan berbagai urusan agar anak-anak yang baru saja lulus dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bukan rahasia lagi bahwa otak yang jenius atau cemerlang saja, tidak cukup menjamin mereka bisa masuk atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Masih ada faktor lain yang memberikan pengaruh signifikan. Antara lain adalah faktor finansial yang masih mendominasi dan masih dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam menentukan alternatif pilihan lembaga pendidikan yang akan dimasuki. Apakah seorang anak harus masuk sebuah lembaga pendidikan yang diunggulkan atau tidak. Apakah seorang anak bisa masuk jurusan yang bergengsi atau sebaliknya.

Kebahagiaan sesaat mungkin akan muncul ketika sang anak akhirnya diterima di sebuah lembaga pendidikan yang diunggulkan. Namun rasa was-was juga menyelimuti saat menunggu kabar lebih jauh berapa besar komponen-komponen biaya yang harus disetor lagi ke lembaga pendidikan tersebut. Mungkin bukan sebuah masalah yang perlu dipusingkan bagi kalangan yang berkecukupan. Bagaimana halnya dengan kalangan yang termasuk dalam kategori berkekurangan atau miskin? Seolah-olah ada hidden message bagi mereka, ngapain mesti sekolah tinggi-tinggi kalau uang tidak ada, apalagi di lembaga pendidikan yang diunggulkan dan jurusan diunggulkan pula. ”Orang miskin dilarang sekolah”, barangkali itu sebuah ungkapan yang tepat. Padahal rata-rata orangtua menginginkan anak-anaknya masuk lembaga pendidikan yang diunggulkan. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan dalam rangka mempersiapkan masa depan yang lebih baik pula.

Para orangtua harus membayar mahal untuk sebuah biaya pendidikan yang bermutu, khususnya di wilayah perkotaan. Ada yang melukiskan bahwa untuk bisa masuk di lembaga pendidikan yang diunggulkan harus mengeluarkan ratusan ribu, hingga puluhan juta rupiah bahkan bisa lebih. Atau terkadang harus merelakan sebuah ”kunci kijang”, atau ”selembar sertifikat”. Padahal pelayanan pendidikan sering disebut-sebut sebagai salah satu jenis pelayanan dasar yang yang menjadi program pemerintah yang tentu saja juga merupakan hak dasar seluruh lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut di atas sangat ironis apabila kalangan tertentu terpaksa tidak bisa ikut menikmati salah satu layanan dasar dari pemerintah ini. Siapakah mereka? Tidak lain adalah anak-anak orang-orang miskin atau kurang berkecukupan. Padahal mereka juga mempunyai potensi yang luar biasa untuk dikembangkan. Sehingga potensi yang ada kadang-kadang tidak bisa dikembangkan karena terbentur masalah keuangan.

Mahalnya biaya pendidikan yang bermutu, dapat ditelusuri lebih jauh melalui besarnya uang pangkal yang harus dibayarkan seorang anak diterima di sebuah lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan tinggi. Semua seolah berlomba-lomba bersaing dalam hal biaya. Tidak jarang juga terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan pada level TK samai SLTA. Lagi-lagi para orangtua tidak berkutik dalam hal ini, karena didorong keinginannya untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya untuk masa depan yang cemerlang melalui pendidikan yang bermutu. Untuk apa sebenarnya sejumlah uang yang besarannya bervariasi tersebut? Bukankah sudah ada dana-dana yang dialirkan oleh pemerintah untuk program pendidikan, untuk mendukung proses berlangsungnya pendidikan yang bermutu bagi semua?

Banyak alasan yang kadang-kadang menjadi pembenar atau dalih pihak lembaga pendidikan untuk memungut sejumlah uang yang kadang-kadang diluar jangkauan semua kalangan. Alasan klasik yang sering disampaikan terkait dengan hal tersebut adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan konon akan diwujudkan dalam bentuk pengembangan berbagai sarana prasarana seperti gedung, laboratorium, komputer, pengembangan perpustakaan, serta berbagai fasilitas belajar mengajar lainnya. Lantas kemanakah dana-dana yang setiap tahun dipungut secara rutin entah itu dalam bentuk uang pangkal, uang registrasi, uang gedung, sumbangan pendidikan dan atau bentuk-bentuk pungutan lainnya? Mengapa setiap tahun alasan klasik ini masih saja ada? Ada pula lembaga pendidikan yang berdalih, mana ada yang gratis di era sekarang ini. Segala sesuatu pasti ada konsekuensinya yaitu keluar biaya. Ada uang, maka ada barang, ada jasa dan sebaliknya. Kalau ingin pintar ya, konsekuensinya harus berani bayar mahal.

Pro dan kontra terkait dengan mahalnya biaya pendidikan tampaknya masih terus berlanjut. Jawaban dari lembaga pendidikan sering sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan. Komite sekolah pun kadang-kadang cenderung memposisikan sebagai bamper kebijakan sekolah. Akibatnya masyarakat dapat menyaksikan dan bahkan ikut terlibat dalam berbagai konflik antara pengguna dan produsen jasa pendidikan. Tindakan mengutip sejumlah biaya dengan berbagai alibi sering dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan diunggulkan, baik negeri maupun swasta. Mereka memiliki kecenderungan otoriter dalam menentukan besarnya sumbangan, sehingga orangtua pun kembali tidak berkutik. Siapa sih yang tidak mau, kalau anaknya masuk lembaga pendidikan diunggulkan.

Otoritas lembaga-lembaga pendidikan yang diunggulkan sering dijustifikasi dengan fakta, bahwa sebagian besar peserta didik yang lolos masuk pada lembaga pendidikan tersebut pada umumnya adalah dari kalangan berkecukupan. Sehingga lembaga pendidikan di maksud sepertinya diberikan peluang untuk membebankan biaya-biaya pendidikan anak-anak kepada para orangtua murid. Lembaga pendidikan yang diunggulkan ini juga sering menyombongkan prestasi murid sebagai keunggulan yang semata-mata diciptakan oleh lembaga pendidikan. Akhirnya kalangan yang kurang berkecukupan harus berfikir berulang kali untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan semacam ini atau lebih tragis lagi terpaksa membenamkan dalam-dalam keinginannya.

Tidak tertutup kemungkinan peserta didik sudah punya potensi unggul yang beruntung mendapat fasilitas penunjang pendidikan yang lengkap dari orang tuanya. Ditambah berbagai upaya orangtua untuk mengembangkan potensi peserta didik di lembaga-lembaga bimbingan belajar di luar lembaga pendidikan formal. Bukankah semua itu tidak hanya karena prestasi sebuah lembaga pendidikan? Oleh karena itu tidak selalu tepat kalau lembaga pendidikan yang diunggulkan lantas memungut biaya relatif tinggi dengan mengabaikan kemampuan keuangan masyarakat. Sehingga sudah saatnya hal-hal tersebut dikaji ulang.

Dengan demikian tidak ada lagi yang mempertanyakan mengapa begitu sulitnya orang tidak berkecukupan atau miskin mengakses fasilitas pendidikan yang bermutu. Atau paling, kalau mahalnya biaya pendidikan bermutu tidak bisa terhindarkan, harus ada solusi bagi kalangan tidak berkecukupan agar mereka juga bisa menikmati pendidikan yang bermutu. Bukankah pendidikan adalah salah satu layanan dasar pemerintah yang menjadi hak semua kalangan? Wallahu alam bi shawab.***

Tidak ada komentar: