Advertising

Selasa, 11 Maret 2008

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Berbagai survei yang dilakukan lembaga nasional maupun internasional menunjukan, Indonesia masih berada dalam kategori negara paling korup. Pada 2001 misalnya, hasil survai oleh sebuah lembaga internasional ternama Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, mengategorikan Indonesia sebagai terkorup ketiga di dunia bersama Uganda. Pada 2003, Indonesia menyandang negara terkorup keempat bersama Kenya. Pada 2005 Indonesia juga tidak bergeser jauh dari predikat negara korup di dunia.

Meskipun reformasi memasuki tahun ke delapan, ternyata tidak begitu saja mampu membumihanguskan korupsi. Saat ini masih banyak kalangan elit yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, BUMN juga partai politik dan organisasi nonpemerintah yang kesandung korupsi baik di tingkat lokal maupun nasional. Korupsi tampaknya masih merupakan penyakit kronis yang mewabah di berbagai wilayah. Mafia peradilan di lingkungan penegak hukum konon dicurigai masih menodai mekanisme penegakkan hukum di negeri ini. Beberapa petinggi di lingkungan penegak hukum yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, justru terlibat kasus korupsi. Dampaknya, kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum semakin merosot dan proses penegakan hukum menjadi tidak menentu.

Kondisi seperti ini jelas sangat tidak kondusif dalam mendukung recovery process perekonomian Indonesia yang jatuh ke titik nadir ketika mengalami krisis multidimensi pada 1997 silam. Tidak mengherankan bila gerakan antikorupsi khususnya pascareformasi, menjadi sebuah wacana yang mengemuka dan dianggap sebagai salah satu jalan keluar negeri ini untuk menuju masa depan lebih gemilang. Gerakan antikorupsi, diyakini banyak pihak sebagai salah satu solusi untuk keluar dari keterpurukan perekonomian di negeri ini. Tuntutan terhadap pengungkapan kasus besar korupsi yang dilakukan pejabat masa lalu maupun sekarang, menjadi sebuah tren. Era kepemimpinan Yudhoyono-JK misalnya, menyikapi hal ini dengan mengedepankan dan memprioritaskan kebijakan pemberantasan korupsi yang ditandai dengan diterbitkannya Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.

Menghapuskan korupsi yang sudah mengakar dalam segenap aspek kehidupan, yang sudah menjadi bagian dari budaya memang tidak semudah membalik telapak tangan. Meskipun good governance selalu didengungkan melalui berbagai slogan dan kesepakatan, tetap saja korupsi menjadi penyakit akut yang menyerang berbagai organ di negeri ini. Untuk menghapus korupsi diperlukan energi dan nyali cukup besar dan berkelanjutan. Diperlukan sinergi antara birokrasi pemerintahan (state), swasta (private sector) dan masyarakat (civil society) untuk menghapusnya. Diperlukan keberanian untuk meneriakkan kejujuran dan budaya malu di tengah korupsi yang sudah mengakar. Korupsi adalah musuh bersama sehingga upaya menghapusnya harus mendapat dukungan politik pemerintah dan segenap elemen bangsa.

Kehadiran lembaga baik lembaga pemerintah maupun nonpemerintah yang memiliki kepedulian terhadap penghapusan korupsi, sangat diperlukan. Kehadiran Indonesian Corruption Watch (ICW), Transparancy Internasional Indonesia (TII), Pusat Kajian Anti Korupsi dan beberapa lembaga serupa baik di tingkat lokal maupun nasional yang selalu menyoroti fenomena di negari ini memberikan dinamika tersendiri bagi upaya penghapusan korupsi. Begitu pula kehadiran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga bentukan pemerintah yang sangat tajam dan berani meneriakkan penghapusan korupsi di negeri ini, mencoba menghapus suara sumbang terhadap kinerja pemerintah dalam pemberantasan korupsi. Kinerja KPK pada 2006 berhasil menyidik 26 kasus korupsi dan mengembalikan uang negara sebesar Rp25,7 miliar (BPost, 25 Januari 2006).

Pemberantasan korupsi tidak cukup teratasi hanya dengan mengandalkan proses penegakkan hukum. Membumihanguskan korupsi juga perlu dilakukan dengan tindakan preventif, antara lain dengan menanamkan nilai religius, moral bebas korupsi atau pendidikananti korupsi melalui berbagai lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tidak hanya sekolah, akademi, institut, atau universitas. Juga termasuk lembaga pendidikan dan pelatihan yang dikelola pemerintah dirancang khusus untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintahan.

Lembaga pendidikan memiliki posisi sangat strategis dalam menanamkan mental antikorupsi. Dengan menanamkan mental anti korupsi sejak dini di lembaga pendidikan baik pada level dasar, menengah maupun tinggi, generasi penerus bangsa di negeri ini diharapkan memiliki pandangan yang tegas terhadap berbagai bentuk praktik korupsi. Pendidikan antikorupsi yang diberikan di berbagai level lembaga pendidikan, diharapkan dapat menyelamatkan generasi muda agar tidak menjadi penerus atau mewarisi tindakan korup yang dilakukan pendahulunya.

Lembaga pendidikan mestinya tidak hanya melahirkan kaum intelektual, ilmuwan yang pandai, cerdas dan terampil atau aparatur yang dibekali berbagai kemahiran dan keterampilan yang mendukung aktivitasnya. Tetapi juga harus mampu melahirkan sumberdaya manusia yang memiliki rasa, memegang nilai religius dan moral yang salah satunya adalah antikorupsi. Lembaga pendidikan bertujuan mendidik, bukan sekadar mengajar. Mendidik dalam hal ini adalah menanamkan nilai luhur dan budi pekerti kepada peserta didik. Boleh jadi nilai antikorupsi termasuk di dalamya. Sedangkan tugas mengajar lebih difokuskan pada proses belajar-mengajar, dalam arti pengembangan kemampuan intelektual peserta didik.

Pendidikan antikorupsi juga harus menjadi agenda pembelajaran di berbagai lembaga pendidikan dan pelatihan yang dikelola pemerintah untuk meningkatkan kualitas aparatur pemerintah. Menurut catatan ICW (BPost, 25 Januari 2007), pada 2006 tren korupsi berdasarkan lembaga, eksekutif menempati peringkat pertama sebagai lembaga terkorup (69 persen) disusul BUMN/BUMD urutan kedua (49 persen) dan legislatif DPR/DPRD pada peringkat ketiga (17 persen). Oleh karena itu, selayaknya penanaman nilai moral antikorupsi atau pendidikan antikorupsi menjadi fokus perhatian dan dimasukkan dalam kurikulum pendidikan dan pelatihan di lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah.

Di Departemen Dalam Negeri misalnya, tugas pokok dan fungsi tersebut diemban oleh Badan Diklat Depdagri untuk aparatur di pusat dan Badan Diklat Daerah untuk aparatur di daerah. Upaya peningkatan kualitas aparatur diimplementasikan dalam bentuk pendidikan dan pelatihan prajabatan, struktural, fungsional dan teknis. Melalui berbagai bentuk pendidikan dan pelatihan itu, semestinya juga ditanamkan nilai antikorupsi di samping upaya pembelajaran mengenai berbagai pengetahuan dan keterampilan yang mendukung pelaksanaan tugas sehari-hari sebagai seorang aparatur. Lembaga pendidikan dan pelatihan semacam ini juga dimiliki oleh departemen lain, sehingga sangat disayangkan apabila lembaga ini tidak dijadikan sebagai media untuk pendidikan antikorupsi.

Media massa juga memiliki pengaruh cukup besar sebagai media untuk pendidikan antikorupsi. Di era lalu, media massa dihantui pembreidelan kalau berani menguak tabir korupsi yang melibatkan elit tertentu. Pascareformasi, media massa mendapatkan kebebasan untuk mempublikasikan apa saja termasuk fenomena korupsi. Sangat disayangkan apabila media massa tidak mengambil peran dalam pendidikan antikorupsi. Keberanian media massa mengekspose fenomena korupsi yang melibatkan sekelompok elit, sedikit banyak akan memberikan pembelajaran dan pendidikan antikorupsi bahwa korupsi adalah perbuatan tidak terpuji dan memalukan. Media massa mempunyai peluang untuk membuat opini publik tentang korupsi, mengingat ia memiliki segmen pasar yang luas dan beragam.

Kini, saatnya berbagai elemen bangsa ini keluar dari kebiasaan memberikan tempat pada tindakan korupsi. Tidak ada salahnya bangsa ini berkaca pada masa lalu, bahwa korupsi telah terbukti menjatuhkan negeri ini ke titik nadir. Juga belajar kepada pengalaman negeri jiran Malaysia, Singapura atau Korea Selatan dan negara lainnya yang mampu menekan korupsi pada tingkat paling bawah sehingga mereka berhasil menjadi kekuatan baru sebagai negeri yang cukup disegani. Bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi ‘Macan Asia’ baru, kalau berhasil menyingkirkan korupsi dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Wallahu alam bi shawab.

Sumber :
www.indomedia.com/bpost/052007/23/opini/opini1.htm

Tidak ada komentar: