Advertising

Senin, 25 Mei 2009

TAHURA, RIWAYATMU KINI


TAHURA, RIWAYATMU KINI

Beberapa waktu lalu, pemerintah sempat dibuat kalang kabut oleh jebolnya Situ Gintung, yang menimbulkan kerugian material dan non material tidak sedikit. Banjir datang secara tiba-tiba yang kemudian mengakibatkan musnahnya harta benda, rumah tempat tinggal, fasilitas umu, juga nyawa. Mungkin kita tidak pernah membayangkan bahwa kasus serupa juga dapat Waduk Riam Kanan yang menyimpan volume air jauh lebih besar daripada Situ Gintung. Bukan menakut-nakuti, tetapi ancaman ini bisa saja menjadi kenyataan kalau pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab secara terus-menerus melakukan aktifitas yang merusak kawasan hutan di sekitar Waduk Riam Kanan. Kawasan tersebut tidak lain adalah kawasan Taman Hutan Raya (Tahura) Sultan Adam.

Kamis, 12 Februari 2009

IRONI OPSPEK

Ironi OPSPEK

Kegembiraan orang tua salah seorang mahasiswa setelah anaknya diterima di dan menjalani kulaih di salah satu universitas negeri terkemuka di Bandung mendadak sirna, berubah menjadi rasa duka dan kesedihan yang tak pernah terbayangkan. Betapa tidak karena putra kesayangan mereka ketika “terpaksa” mengikuti program pengenalan kampus, harus rela menyabung nyawa. Berbagai usaha untuk menyelamatkan jiwanya tak mampu menolongnya. Mahasiswa Jurusan Fakultas Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan itu pun meninggal dunia. Berbagai dugaan pun merebak, diantaranya adalah karena fisik si mahasiswa memang tidak mendukung untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Lagi-lagi kita harus menyaksikan, kegiatan yang seharusnya bernuansa akademik telah harus berakhir tragis dengan kematian pesertanya. Seperti diketahui, Rektor ITB, Djoko Santoso, telah mencopot Ketua Program Studi Geodesi dan Geomatika, Wedyanto Kuntjoro, menyusul meninggalnya mahasiswa Geodesi, Dwiyanto Wisnu Nugroho saat mengikuti orientasi studi pada akhir pekan lalu (Tempo Interaktif, 11 Pebruari 2009). Meskipun salah satu petinggi di Fakultas Teknis Geodesi telah dicopot tetapi tentu saja ini tidak cukup menyelesaiakan masalah dan mengobati kegeraman orang tua mahasiswa yang menjadi korban.

Selasa, 03 Februari 2009

WIDYAISWARA, OH WIDYAISWARA

Widyaiswara, Oh Widyaiswara

Beberapa tahun yang lalu salah seorang karib saya menerima SK pengangkatan sebagai CPNS di sebuah Departemen. Pertama kali yang diekspresikannya adalah kegembiraan sebagaimana layaknya seorang yang baru saja diangkat sebagai CPNS, tetapi sekaligus bercampur kebingungan dan ketidakmengertian. Ia merasa bingung karena pada SK yang ia terima tertulis, bahwa yang ia ditempatkan sebagai Calon Widyaiswara pada sebuah sebuah UPT di Departemen tersebut. Lantas ia berusaha mencari tahu, kesana kemari apa itu gerangan Widyaiswara. Ternyata sebagian besar yang ditanya mengatakan tidak tahu, termasuk orang-orang yang sudah lama menjadi PNS. Baru setelah mendapatkan informasi dari sebuah sumber di Departemen tersebut ia menyimpulkan sendiri bahwa Widyaiswara itu mirip-mirip dengan dosen, guru, instruktur atau profesi tenaga pengajar lainnya.

Kalau kalangan PNS saja masih banyak belum memahami profesi Widyaiswara, logikanya masyarakat awam pun tentunya masih banyak yang belum mengerti hakekat Widyaiswara. Kata-kata Widyaiswara mungkin saja sering terdengar sayangnya masih juga tetapi kurang dimengerti arti, fungsi maupun keberadaannya. Agak berbeda dengan profesi seperti guru, dosen, atau profesi sejenis lainnya. Ketika penulis memiliki ketertarikan untuk masuk ke jabatan fungsional tersebut (meskipun tidak terlaksana) beberapa tahun terakhir dan berbagi cerita kepada salah seorang dosen senior sebuah universitas ternama di Kalimantan Selatan, sang dosen bilang kepada saya : “Widyaiswara itu para pensiunan ya, atau yang mau pensiun ya …. “Aneh tapi nyata, itulah salah satu fakta. Sekali lagi hal ini menjadi salah satu indikator betapa profesi Widyaiswara relatif belum banyak dikenal dan dipahami oleh kalangan PNS itu sendiri, apalagi di kalangan masyarakat awam.

Jumat, 16 Januari 2009

PELAYANAN SEBAGAI ORIENTASI PNS

Pelayanan Sebagai Orientasi PNS

Birokrasi mengandung pengertian adanya pengaturan agar sumber daya yang ada dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Birokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Weber merupakan sistem dalam, organisasi. Sebagai sebuah sistim dalam organisasi birokrasi haruslah diatur secara rasional, impresonal (kedinasan), bebas prasangka dan tidak memihak. Dengan pengaturan tersebut diharapkan organisasi akan dapat memanfaatkan sumber daya manusia aparatur secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam konteks seperti yang diuraikan di atas birokrasi sebenarnya bermakna positif. Birokrasi tidak seperti yang dikenal umum seperti saat ini. Birokrasi terlalu sering dimaknai negatif dengan proses yang berbelit-belit, panjang, penuh ketidakpastian, penuh formalitas, feodal dan high cost economy, penghambat investasi dal lain sebagainya.

Birokrasi Indonesa dapat diibaratkan dengan sebuah bangunan yang mempunyai enam pilar utama. Pilar-pilar tersebut adalah individu aparatur, kepemimpinan, struktur dan institusi, sistem dan prosedur, budaya masyarakat dan kesejahteraan. Namun demikian apabila dicermati satu persatu ternyata pilar-pilar tersebut sangat rapuh. Pilar-pilar tersebut tidak cukup kokoh dan tidak akan mampu menopang bagi terciptanya birokrasi yang profesional. Individu aparatur mempunyai beberapa kelemahan mendasar yaitu kurangnya kompetensi, lemahnya internalisasi nilai-nilai dan etos kerja, bekerja lebih banyak berdasarkan perintah daripada inisiatif dan inovasi. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur.Sistem dan prosedur birokrasi mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu kurangnya sistim pemantauan, pengendalian, pengawasan dan penilaian aparatur yang terukur, sistim karir yang tidak pasti, prosedur mutasi dan promosi yang tidak transparan. Dari aspek struktur dan institusi terdapat kelemahan yang mendasar yaitu struktur yang besar dan kewenangan yang tidak fokus.

Sabtu, 10 Januari 2009

KORPRI ERA BARU

KORPRI Era Baru

Siapapun tahu, bahwa yang namanya KORPRI pada era lalu pernah menjadi mesin suara partai politik yang berkuasa pada masa orde baru. Setelah reformasi bergulir KORPRI memberanikan diri untuk tampil beda dengan memberanikan diri keluar dari lingkaran kekuasaan dan melalui musyawarah nasional yang digelar di awal reformasi KORPRI memproklamirkan diri sebagai organisasi non partisan pada aliran agama-suku-maupun parpol tertentu alias tidak lagi sekedar menjadi mesin politik suara penguasa.
Ketika penulis belum menjadi seorang PNS dan masih menjadi karyawan di salah satu perusahaan swasta dinaungi oleh SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia). Ketika itu SPSI benar-benar melindungi, menaungi dan membantu berbagai kesulitan yang dialami oleh karyawan. Mulai dari kesejahteraan, kenaikan pangkat, promosi, besaran gaji dan tunjangan, bantuan-bantuan sosial dan sebagainya. Intinya SPSI memiliki peran sangat dominan dalam mendukung kuantitas dan kualitas kesejahteraan para para anggota. Penulis sedikit bertanya-tanya ketika memasuki dunia PNS dan sempat membayangkan bahwa peran KORPRI adalah seperti SPSI yang sangat peduli pada para anggotanya. Ibaratnya KORPRI adalah ”SPSI”nya PNS, ternyata yang ada tidak seperti yang penulis bayangkan.