Advertising

Senin, 06 Oktober 2008

BELAJAR DARI GORONTALO

Belajar Dari Gorontalo

Beberapa waktu lalu penulis bersama-sama para Widyaiswara Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, mendapatkan kesempatan yang sangat berharga untuk mengunjungi Provinsi Gorontalo. Selama ini Provinsi Gorontalo dinilai berhasil melaksanakan otonomi daerah dan layak menjadi referensi bagi pemerintah daerah yang lain. Tulisan ini banyak diilhami oleh kesempatan berkunjung ke Provinsi Gorontalo tersebut.

Salah satu diantaranya adalah pertemuan singkat dengan Fadel Muhammad ketika sempat menemui kami di loby Quality Hotel di Gorontalo sela-sela kesibukannya yang cukup luar biasa. Budaya Gorontalo yang menghargai orang ternyata tercermin pada sosok Fadel yang begitu bersahaja, dengan mudah menemui, menyapa dan menengok orang-orang yang memerlukannya dengan akrab. Dan ternyata hal ini menginspirasi para pembantu Gubernur mulai dari Sekretaris, Asisten, Kepala Biro dan lain-lainnya untuk melakukan hal yang sama. Secara tidak sadar rupanya Fadel telah melakukan mindsetting para birokrat di Gorontalo untuk menuju keberhasilan pemerintahan daerah.


Kesimpulan awal yang kami peroleh adalah bahwa ternyata kemampuan kelembagaan, kapasitas kelembagaan, kapasitas manajemen, organisasi dan kapasitas pemerintahan daerah adalah faktor strategis yang sangat mempengaruhi kinerja pelaksanaan pemerintahan daerah. Kesimpulan lain adalah bahwa kegagalan terbesar dari pelaksanaan pemerintahan daerah adalah pada rendahnya kapasitas manajemen daerah dan bukan pada aturan soal bagaimana otonomi daerah atau undang-undang tentang otonomi daerah diterapkan.

Permasalahan penyerahan kewenangan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah (otonomi daerah) telah mengalami berbagai dinamika dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara di negeri ini. Otonomi daerah sendiri sebenarnya bukanlah merupakan barang baru. Sebagaimana kita ketahui otonomi daerah pernah diatur dalam berbagai UU yang berlaku di negeri ini. Sebut saja UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1977, UU No. 18 tahun 1965, serta UU No. 5 tahun 1974.

Pada era orde baru yang berlangsung tidak kurang dari 32 tahun otonomi daerah nyaris tenggelam. Pada era ini kewenangan pemerintah pusat sangat besar, pada era ini pula sangat kental dengan nuansa sentralisasi kewenangan dan kuatnya pemerintah pusat. Cara pandang terhadap pemerintahan desa juga kurang mendukung otonomi daerah karena walau secara formal memenuhi persyaratan sebagai daerah otonom tetapi kenyataannya pemerintah desa masih dipandang hanya sebagai sub ordinal dari pemerintahan secara nasional.

Setelah era orde baru berakhir, bergulirlah apa yang sering disebut-sebut sebagai era reformasi. Karena era ini memang lahir sebagai akumulasi keinginan untuk memperbaharui berbagai aspek yang dianggap tidak kondusif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada era ini mencuat kembali keinginan untuk berotonomi daerah sebagaimana diisyaratkan dalam UU No. 22 Tahun 1999 dan kemudian diperbaharui dengan UU No. 32 Tahun 2004. Otonomi daerah yang baru ini diberlakukan 2 (dua) tahun setelah ditetapkannya UU No. 22 Tahun 1999 yaitu pada tahun 2001, yang memberikan masukan-masukan permasalahan penyelenggaraan pemerintahan daerah dengan membagi-bagi kewenangan pemerintahan yang ada mana yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dan mana yang merupakan pemerintah daerah.

Yang terpenting daalam otonomi daerah adalah : bagaimanapun alasannya, serta bagaimanapun lemahnya aturan maupun konsep tentang otonomi daerah janganlah kita bersikap ibarat mengharapkan burung di langit, tetapi yang ada di dalam genggaman tangan dilepaskan. Atau dengan kata lain yang terpenting adalah bagaimana membuat strategi serta learning by doing and experimenting process. Dengan demikian kita dapat membuat sendiri bagaimana membangun daerah yang ideal dengan memanfaatkan apa yang ada di daerah. Proses trial and error merupakan bagian yang sangat mendasar dan penting yang harus dilalui oleh pelaksana pembangunan daerah dan otonomi itu sendiri.

Salah satu pertimbangan terpenting untuk menilai otonomi daerah yang mungkin yang mungkin tidak banyak dipahami oleh para petinggi di daerah adalah bagaimana menyiapkan sebuh flat form untuk menghadapi persaingan guna mendapatkan sumber kemakmuran daerah dan bagi masyarakat lokal. Akhirnya banyak daerah-daerah yang hanya melihat bahwa sumber kemakmuran hanyalah dari melimpahnya sumber daya alam. Sementara itu faktor sumber daya manusia tidak terperhatikan secara memadai. Padahal faktor sumber daya manusia ini punya peran yang cukup strategis dalam mengatur dan mengendalikan faktor-faktor lain yang mendukung terwujudnya kemamuran daerah dan masyarakat lokal.

Hakekat dari otonomi daerah adalah memberikan peluang yang cukup besar bagi bagi pemerintah daerah untuk lebih leluasa berkarya dan membangun daerah agar mampu mengejar berbagai ketertinggalan. Sayangnya di berbagai daerah otonomi daerah justru menjadi persolaan dan hambatan tersendiri bagi pelaksanaan roda pemerintahan daerah. Sehingga keleluasaan tersebut tidak termanfaatkan dengan baik. Sampai saat ini banyak pihak yang belum puas dengan hakekat otonomi daerah. Karena ternyata kesejahteraan masyarakat ternyata belum mengalami kemajuan yang signifikan. Yang paling kelihatan dari otonomi daerah adalah bertambahnya jumlah provinsi dan kabupaten kota di berbagai wilayah di Indonesia. SBY pernah mengomentari bahwa perlu dikaji kembali perlu dan tidaknya sebuah wilayah dimekarkan. Apalagi kalau ternyata pemekaran tidak berdampak signifikan bagi kemajuan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerjasama yang dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Dalam Negeri yang dilakukan terhadap 100 Daerah II (sebutan untuk kabupaten/kota sebelum pemberlakuan otonomi daerah tahun 2001), menunjukkan bahwa pengembangan kapasitas pemerintahan daerah dalam mendukung otonomi daerah hanya 44 % saja yang berjalan. Dengan demikian kapasitas manajemen pemerintahan di daerah untuk melaksanakan kewenangan dan fungsi pemerintahan yang diserahkan kepada daerah relatif belum tinggi dan perlu ditingkatkan (Soffian effendi, 2000).

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, ada yang sangat penting bagi pemerintah dan bagi kita semua, yaitu bahwa dalam menghadapi era globalisasi yang suka atau tidak suka harus kita hadapi adalah bagaimana meningkatkan kapasitas manajemen pemerintahan daerah. Yaitu bagaimana kapasitas manajemen pemerintahan khususnya bagi para birokrat dan para pejabat ditingkatkan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, daripada sibuk memperdebatkan dan meributkan konsep otonomi daerah dan kewenangan daerah. Dengan demikian pemerintahan daerah khususnya dapat berjalan sesuai dengan harapan dan tentu saja pada akhirnya pemerintah daerah dapat dan mampu melaksanakan legislasi, pembiayaan daerah dan kepegawaian.

Menurut Fadel Muhammad (Gubernur Gorontalo), sebagaimana juga pernah disampaikan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara bahwa penerapan good governance sesungguhnya adalah merupakan hal yang tidak dapat ditunda-tunda lagi. Good governance harus dilaksanakan pada era reformasi ini. Pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme adalah sebuah keniscayaan apabila sistem manajemen pemerintahan tidak ditata sesuai dengan tata kepemerintahan yang baik.

Salah satu cara yang dapat digunakan oleh Pemerintah Provinsi Gorontalo dalam meningkatkan kapasitas manajemen pemerintahan adalah dengan memperkokoh dan memantapkan birokrasi profesional pemerintah daerah. Hal ini tersebut di atas sebenarnya senada dengan apa yang dikemukakan oleh beberapa ahli tata pemerintahan khususnya yang pernah mengemukakan konsep tentang persoalan penguatan kapasitas. Goggin, Bowman, Lester dan O’toole (1990) sebagaimana dikutip oleh Sofian Efendi merumuskan bahwa kapasitas pemerintah daerah untuk melaksanakan preferensi kebijakannya dengan melihat 2 (dua) unsur kapasitas manajemen pemerintah daerah dan kapasitas lingkungan pemerintah daerah itu sendiri.

Yang tidak kalah pentingnya adalah, keberhasilan pemerintah daerah menyelenggarakan pemerintahan daerah merupakan sebuah keniscayaan bila tanpa dibarengi dengan peningkatan kapasitas ekonomi yang tinggi dan kapasitas politik yang baik. Kemampuan daerah untuk mengembangkan basis ekonomi yang kuat dan mandiri adalah merupakan persyaratan utama bagi terwujudnya sebuah cita-cita dan tujuan keberhasilan sebuah daerah.

Inilah sebagian yang telah dilakukan Pemerintah Provinsi Gorontalo yang telah membuahkan hasil yang dapat dinikmati olah segenap lapisan masyarakat, yang mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat seperti yang diinginkan dalam pelaksanaan otonomi daerah. Beberapa program yang dikembangkan di Provinsi Gorontalo yang berorientasi kepada masyarakat antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, penanggulangan kemiskinan, dimana perlu peran serta serius pemerintah dan masyarakat dalam bentuk kemitraan yang berwawasan kebangsaan. Kedua, penajaman program yang diarahkan pada perbaikan ekonomi serta kesejahteraan masyarakat. Ketiga, memecahkan keterbelakangan dan peningkatan kapasitas masyarakat untuk maju, mandiri serta sejahtera.

Barangkali tidak ada salahnya apabila kita mau belajar dari yang muda, Provinsi Gorontalo. Semoga, .............

1 komentar:

catatan harian mengatakan...

membangun kebijakan publik memang tidak mudah. paling tidak ada tiga pilar penting yang harus diperhatikan:
1. sistem dan aturan yang jelas, yang terkait dengan operasionalisasi semua aktivitas dan kegiatan. mental kita belum terbiasa dengan sistem dan aturan yang ketat. kita masih enjoy dengan aturan dan sistem yang apa adanya.
2. person yang handal, cakap, siap kerja keras dan ikhlas. tapi hal ini agak sulit, karena kita harus mempersiapkan generasi yang lebih baik. generasi yang ada sudah amburadul dan harus diganti. Kata kunci perubahan memang terletak di person. siapkah person itu berubah dengan cepat atau bahkan lambat seperti kura kura.
3. perangkat yang memadai, baik itu perangkat lunak maupun perangkat keras. Komputerisasi sangat banyak membantu semua program kita.

bagaimana pendapat saudara?