Advertising

Rabu, 09 Juli 2008

MENGELOLA BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

MENGELOLA BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

Tidak terasa era otonomi daerah telah memasuki tahun ke tujuh. Dalam konteks sumber daya manusia, salah satu kekhawatiran yang sejak awal sering dilontarkan dan sering dianggap sebagai faktor penghambat otonomi daerah adalah belum siapnya sumber daya manusia daerah dalam melaksanakan otonomi. Terhadap opini tersebut penulis tidak sepenuhnya sepakat. Kalau dikaji secara mendalam, ada banyak faktor lain yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja birokrasi di daerah. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut adalah sebagai berikut.

Pertama, proses penataan kelembagaan di daerah yang belum juga rampung pasca diberlakukan otonomi daerah ditambah dengan melimpahnya kuantitas pegawai daerah sebagai dampak pelimpahan eks pegawai pusat ke daerah. Terbitnya PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 41 Tahun 2007, sebenarnya merupakan langkah pemerintah untuk menuntaskan proses penataan kelembagaan di daerah. Ternyata terbitnya kedua PP tersebut bukan tanpa masalah. Kedua PP tersebut ternyata meresahkan para pejabat di daerah. Bagaimana tidak, kedua PP tersebut mengisyaratkan adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Akibatnya perhatianpun tersedot ke program restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi lama. Ironisnya di sisi lain struktur organisasi pemerintah pusat justru diberi peluang untuk memekarkan diri yang menyebabkan “kecemburuan” tersendiri bagi pemerintah daerah. Akhirnya beberapa daerah enggan untuk segera mengadopsi PP tersebut dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Kedua, pasca otonomi daerah di beberapa daerah terjadi pembengkaan struktur organisasi di daerah dengan menambah instansi-instansi yang sebenarnya kurang diperlukan. Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah maka di beberapa daerah ditemui lembaga atau instansi yang sebenarnya tidak perlu ada tetapi diada-adakan. Ditambah lagi pola ”juklak dan juknis” dari pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi di era lalu yang membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah, khususnya bila dikaitkan dengan masalah pembiayaan. Sehingga ada gagasan dari sebagian komunitas di daerah, lebih baik semuanya diatur pusat tetapi ada petunjuk yang jelas disertai dana yang cukup, daripada kita mandiri tetapi tidak ada dana. Kondisi ini tentu saja juga akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Kebebasan dan kewenangan daerah yang lebih luas bagi daerah untuk melakukan pembenahan dan perubahan dalam manajemen birokrasi merupakan jiwa dari otonomi daerah. Dengan tetap berpijak pada jalur hukum yang ada, pemerintah daerah dituntut aktif, kreatif dan inovatif dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia secara lebih profesional. Dalam konteks ini penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting. Di dalam suatu organisasi manusia adalah modal atau asset, manusialah yang melakukan semua aktivitas dan menggerakkan organisasi sehingga organisasi dapat mencapai tujuan.

Simmamora (2001) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah rangkaian kegiatan mulai dari pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Senada dengan hal tersebut, Mangkuprawira (2002) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah merupakan serangkaian tugas yang terkait dengan upaya-upaya memperoleh karyawan, mendidik dan melatih, mengembangkan, memotivasi, mengorganisasikan, dan memelihara karyawan sebuah perusahaan sampai suatu ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.

Benang merah yang dapat ditarik dari pernyataan tersebut adalah bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan berbagai upaya yang harus dilakukan pimpinan unit kerja agar kinerja karyawan menjadi lebih optimal. Langkah kongkrit yang bisa diambil diantaranya adalah proses rekruitmen yang tepat, analisa kebutuhan pegawai, pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan, pemberian insentif kompensasi materiil dan non materiil secara proporsional, perencanaan pola karir yang mampu mengakomodasi para pegawai dalam mengembangkan potensi dan sebagainya. Jika semua proses ini diterapkan dengan baik dalam suatu organisasi, niscaya produktifitas kerja organisasi tersebut akan meningkat.

Beberapa fungsi manajemen sumber daya manusia menurut beberapa literatur antara lain dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, human resource planning. Perencanaan sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia terdiri dari analisa kebutuhan sumber daya manusia pada suatu organisasi khususnya untuk memastikan proses kerja yang efektif dan efisien.

Kedua, recruitmen and selection. Ketangguhan sebuah organisasi dalam merespon tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah merupakan refleksi dari kualitas pegawainya. Oleh karena itu, langkah awal dalam pengisian formasi pegawai adalah harus dipastikan bahwa hanya sumber daya manusia yang tepat dapat menduduki posisi yang tepat. Artinya, latar belakang pendidikan, bakat, dan keahlian calon pegawai yang akan diseleksi harus cocok dengan klasifikasi posisi yang akan mereka duduki.

Ketiga, compensation and benefits. Maksudnya adalah adanya imbalan yang proporsional, sesuai dengan apa yang telah dikerjakan untuk organisasi. Salah satu orientasi seorang pegawai bekerja adalah ingin mendapatkan manfat ekonomi. Oleh Karena itu setiap pimpinan ataupun pengelola sebuah organisasi juga harus mengembangkan sistem kompensasi yang proporsional atas pekerjaan atau kontribusi yang diberikan pegawai terhadap organisasi di luar gaji yang merepresentasikan kompensasi finansial. Disamping itu sebaiknya juga diberikan bentuk-bentuk penghargaan non finansial seperti liburan, asuransi jiwa, dan sebagainya.

Keempat, performance evaluation. Fungsi manajemen ini adalah untuk mengevaluasi seberapa jauh kinerja para pegawai jika diukur dengan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah cukup baik atau sebaliknya. Sebuah organisasi perlu merancang sebuah sistem evaluasi kinerja yang mampu mengukur secara tepat produktifitas masing-masing pegawai.

Kelima, human resource development. Progam pelatihan dan pengembangan adalah sebuah proses yang diharapkan akan menunjang peningkatan karir seorang pegawai sekaligus membantu mereka menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Bukan sekedar untuk memenuhi syarat-syarat formal. Melalui fungsi ini peluang bagi seorang pegawai untuk bersaing secara sehat dan memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai dinamika dalam lingkungan kerjanya akan lebih terbuka.

Keenam, career development. Pengembangan karir dapat dipahami sebagai perubahan posisi atau ranking seseorang ke posisi atau ranking yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara program pengembangan karir dengan struktur organisasi yang ada. Struktur yang ramping cenderung menghasilkan kinerja yang efisien, namun demikian hal ini berarti kesempatan pegawai untuk menduduki jabatan-jabatan struktural menjadi lebih sempit. Oleh karena itu perlu dipersiapkan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi pola karir para pegawai khususnya yang memang memiliki kapabilitas untuk meningkatkan perfomance sebuah organisasi.

Ketujuh, rewards system. Yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penghargaan baik yang bersifat finansial maupun non finansial kepada semua pegawai tanpa harus mempertimbangkan posisi dan kinerja mereka. Namun demikian pada suatu saat penghargaan hanya diberikan kepada pegawai terpilih setelah melalui seleksi dan evaluasi berdasarkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Dengan demikian kesan PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) yang melekat selama ini dapat pelan-pelan dihapuskan.

Kedelapan, employee management relations. Fungsi ini merupakan sebuah upaya untuk menciptakan interaksi yang harmonis di antara para pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat luas dapat lebih berkualitas. Ada sebuah fakta yang tidak bisa terelakkan bahwa setiap individu pegawai mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu interaksi yang harmonis tersebut juga berfungsi menjaga keseimbangan emosi sehingga etos dan semangat kerja yang tinggi senantiasa terjaga dengan baik.

Prinsip-prinsip utama dalam manajemen sumber daya manusia sebagaimana diuraikan di atas masih selama ini lebih banyak diimplementasikan pada organisasi non pemerintah khususnya yang berorientasi financial profit. Adanya anggapan bahwa aspek kapabilitas, dedikasi, loyalitas, ketaatan, prakarsa, kepatuhan, skill dan sebagainya merupakan sesuatu yang secara otomatis sudah ada dan melekat pada diri pegawai pemerintah, menjadi kendala tersendiri dalam implementasi manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah. Ketika pegawai diambil sumpahnya atau pada saat mengucapkan ikrar-ikrar lainnya seperti Panca Prasetya Korpri seolah-olah diyakini bahwa aspek-aspek tersebut di atas otomatis ada dan melekat pada diri sang pegawai. Padahal realitas menunjukkan bahwa masih banyak pegawai tidak dalam kapasitas ideal. Bisa jadi hal tersebut disebabkan akibat proses seleksi yang dilakukan belum pas, belum didasarkan pada analisa kebutuhan yang tepat. Atau mungkin juga karena program pendidikan dan pelatihan yang dirancang dan diikuti tidak secara khusus didesain guna meningkatkan dan memperkuat kapasitas mereka. Hal ini tentu saja menjadi kendala serius dalam penerapan prinsip-prinsip utama manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.

Pegawai juga masih sering dibalut dengan berbagai formalitas dan slogan yang secara empiris sangat sulit dioperasionalkan. Misalnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bekerja untuk kepentingan bangsa. Kalimant-kalimat tersebut terlalu sering diucapkan tetapi sebenarnya masih sangat abstrak dan sulit untuk mengoperasionalkannya. Manajemen sumber daya manusia menjadi sesuatu hal sangat strategis bagi upaya penguatan kapasitas pegawai yang diharapkan selanjutnya mampu memperkuat eksistensi kelembagaan sebuah organisasi pemerintah. Oleh karena itu sudah saatnya prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia dapat diterapkan secara lebih profesional. Lantas harus bagaimanakah untuk meningkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah ?

Untuk meingkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah dapat ditempuh dengan banyak cara. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dengan mengadopsi prinsip-prinsip good governance pada birokrasi pemerintah. Yaitu kegiatan pemerintahan harus mengadopsi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, penegakan hukum, visioner ke depan, kesetaraan dan sebagainya. Konsep ini sebenarnya sudah terlalu sering disebut-sebut telah diimplementasikan di lingkungan organisasi pemerintah yang secara formal ditandai dengan penandatanganan kesepakatan tentang good governance. Sayangnya sampai saat ini hal tersebut belum terlalu kelihatan outputnya. Good governance masih seperti ”makhluk asing” yang abstrak dan simbolis. Kedua, melalui identifikasi dan penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia mulai dari perencanaan, mekanisme rekruitmen dan seleksi, insentif dan disinsentif, evaluasi kinerja, pengembangan sumber daya manusia, pola mutasi dan karir yang jelas, pola sistem insentif dan penghargaan seperti yang diuraikan di atas.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sosok sumber daya manusia memegang peranan strategis. Di era transisi ini sumber daya aparatur merupakan motor penggerak roda pemerintahan. Keberhasilan atau keagagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya aparatur. Kualitas sumber daya aparatur juga merupakan faktor utama di dalam pemberdayaan ekonomi daerah, karena potensi sumber aya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terdapat sinergi dengan sumber daya aparatur yang berkualitas.

Membangun birokrasi yang efisien tetapi sekaligus berorientasi ke pasar merupakan kata kunci dalam konteks otonomi daerah, sehingga daerah bersangkutan memiliki daya saing tinggi. Adalah tugas kita bersama untuk membenahi semua permasalahan di atas. Yang antara lain adalah dengan upaya menerapkan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia sebagaimana secara profesional untuk mewujudkan sumber daya manusia birokrasi yang profesional pula. Semoga, ................

Tidak ada komentar: