Advertising

Jumat, 18 Juli 2008

MENYELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA

MENYELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA
Refleksi Menyambut Hari Bhakti Dephut)

Sementara itu analisis World Bank, setelah hutan alam di Sumatera, hutan alam di Kalimantan akan habis pada 2010.

Proses berlangsungnya kehidupan manusia sangat bergantung pada bumi dengan berbagai sumberdaya yang dimilikinya baik hayati maupun nonhayati, yang ada di permukaan maupun terkandung di dalamnya. Bumi, ditakdirkan Nya untuk menyediakan syarat bagi berlangsungnya kehidupan manusia.

Meskipun ilmu dan teknologi berkembang pesat, begitu juga dengan berbagai eksperimen dan rekayasa teknologi yang memberikan sinyal bahwa manusia bisa hidup di planet lain, tetapi bumi tetap menjadi tempat hidup paling ideal bagi manusia. Oleh itu karena itu, memanfaatkan sumberdaya yang ada di bumi dalam mendukung berlangsungnya kehidupan harus hati-hati, agar bumi tetap menjadi tempat hidup yang ideal bagi manusia.

Sumber daya hutan (SDH) memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan bumi, sebagai penyedia syarat untuk berlangsungnya kehidupan. Hutan merupakan produsen oksigen terbesar, paru-paru dunia, pengatur tataair, penyedia bahan baku bagi industri perkayuan, sumber penghidupan sebagian masyarakat. Banyak lagi peran SDH yang sangat vital dan tidak bisa tergantikan oleh sumberdaya lain. Oleh karena itu, SDH merupakan salah satu sektor terpenting yang perlu mendapatkan perhatian khusus. Indonesia, merupakan negara yang memiliki hutan cukup luas yaitu sekitar 120 juta hektare, atau sekitar 63 persen luas daratannya.

SDH Indonesia yang konon memiliki keanekaragaman sumberdaya hayati cukup tinggi, saat ini keadaannya cukup memprihatinkan. Semakin tingginya kerusakan hutan Indonesia, menyebabkan terancamnya peran vital SDH bagi kehidupan manusia yang tidak bisa tergantikan dengan sumberdaya lain. MS Ka’ban (2005) mengemukakan, hutan alam Indonesia yang kayunya ditebang mencapai 59,3 juta hektare dari total luas hutan 120 juta hektare. Sedangkan laju kerusakannya mencapai 2,8 juta hektare per tahun dengan kerugian mencapai 41 triliun rupiah. Kalau tidak dihentikan, pada 2015 seluruh hutan alam Indonesia punah. Hutan yang rusak seluas 59,3 hektare itu, akibat proses penebangan dan pengrusakan selama 30 tahun.

Sementara itu analisis World Bank, setelah hutan alam di Sumatera, hutan alam di Kalimantan akan habis pada 2010. Menurunnya kuantitas dan kualitas SDH disebabkan oleh eksploitasi berlebihan baik yang bersifat legal maupun illegal. Kerusakan SDH juga disebabkan aktivitas perambahan hutan, perladangan berpindah dan kebakaran. Konversi kawasan kehutanan menjadi nonkehutanan seperti pertambangan, pertanian, perkebunan, permukiman juga memiliki andil cukup besar dalam kerusakan hutan.

Tugas berat forester adalah dalam mengelola hutan dituntut tidak hanya mengakomodasi kepentingan kehutanan, tetapi juga kepentingan lain di luar kehutanan. Oleh karena itu, pengelolaan hutan harus menganut azas manfaat, kelestarian, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan.

Over eksploitasi ini salah satunya terjadi karena paradigma pembangunan kehutanan belum didasarkan pada konsep pembangunan berkelanjutan yang hakiki, meskipun konsep pengelolaan hutan lestari selalu disebut-sebut dalam berbagai peraturan dan kebijakan. Pengelolaan hutan yang berlangsung selama ini, lebih berorientasi kepada pertumbuhan ekonomi dan kurang memperhitungkan biaya yang timbul akibat kerusakan SDH. Keluarnya Perpu No 1/2004, menjadi salah satu indikasi bahwa orientasi ekonomi masih menjadi nafas utama pembangunan. Perpu itu menegaskan, semua perizinan atau perjanjian di bidang pertambangan di kawasan hutan sebelum berlakunya UU No 41/1999 dinyatakan tetap berlaku sampai berakhirnya izin atau perjanjian tersebut.

Menurunnya kuantitas dan kualitas hutan, dalam perkembangannya diikuti meluasnya kawasan rawan bencana. Bencana itu antara lain kebakaran hutan, banjir dan tanah longsor. Bencana ini seolah-olah siklus rutin yang tidak terhindarkan. Kebakaran hutan terjadi di musim kemarau, sedangkan banjir dan tanah longsor di musim penghujan. Menjelang berakhirnya 2006, kebakaran hutan dan lahan melanda sebagian wilayah Indonesia khususnya Sumatera dan Kalimantan. Saat itulah Indonesia kembali menuai kritik dari berbagai kalangan baik di tingkat lokal, nasional maupun global akibat ‘teror’ asap yang berdampak sangat buruk. Sementara itu, di awal 2007 bencana banjir kembali terjadi di sejumlah wilayah terutama di Sumatera dan Kalimantan.

Tidak salahnya kita becermin dan mengambil hikmah dari berbagai bencana yang telah terjadi. Kalau kita renungkan lebih dalam, di samping disebabkan faktor alam yang tidak dapat dikendalikan oleh manusia, sebenarnya musibah yang terjadi di negeri ini sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari perilaku manusia sendiri. Perambahan dan pembakaran hutan yang semena-mena, penambangan di dalam kawasan hutan dan lainnya hanya sebagian contoh perubahan lingkungan yang secara sengaja dilakukan manusia. Faktor ini yang semestinya bisa dikendalikan.

Berbagai fakta itu menunjukkan, pengelolaan hutan secara lestari (sutainable forest management) yang selalu menjadi bahan pembicaraan birokrat, akademisi dan pemerhati hutan dalam berbagai kesempatan belum dapat diwujudkan. Sebagaimana dikemukakan San Afri Awang (2005), pembangunan hutan di Indonesia masih jalan di tempat. Sampai 2005 nyaris tidak ada cerita sukses dalam sektor pembangunan kehutanan, bahkan instansi kehutanan nyaris tidak percaya pada diri sendiri dalam melaksanakan pembangunan hutan. Banyak kritik, kegagalan, kerusakan hutan, batas hutan yang tidak jelas, konflik dan batas hutan tidak diakui masyarakat, masyarakat di sekitar hutan milik negara masih terbelit persoalan kemiskinan dan ketidakberdayaan.
Berdasarkan hal itu, banyak yang harus dilakukan untuk menyelamatkan hutan yang masih tersisa. Setidaknya ada beberapa hal yang menjadi bahan renungan bagi forester baik yang duduk di lembaga pemerintah maupun nonpemerintah.

Pertama, semakin langkanya bahan baku kayu, harus dilakukan restrukturisasi terhadap industri perkayuan yang ada agar lebih efisien dan mampu mendayagunakan limbah pembalakan maupun kayu dengan diameter kecil.

Kedua, prioritas pembangunan kehutanan sudah saatnya difokuskan pada rehabilitasi bukan eksploitasi, mengingat kerusakan hutan sudah sampai tahap yang mengkhawatirkan. Sudah saatnya memberikan kesempatan kepada hutan untuk bernafas. Beberapa program rehabilitasi yang dicanangkan Departemen Kehutanan seperti Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GNRHL), Indonesia Menanam dan sebagainya harus didukung oleh semua pihak. Begitu pula dengan kebijkan soft landing dan penetapan quota tebangan yang bertujuan mengendalikan eksploitasi hutan.

Ketiga, mengoptimalkan pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Paradigma pengelolaan hutan yang hanya tertumpu pada kayu harus ditinggalkan dan diubah dengan paradigma baru yang memandang hutan tidak semata-mata hanya kayu. HHBK merupakan bagian yang tidak kalah penting jika dibandingkan dengan kayu.

Keempat, pemanfaatan bioteknologi kehutanan dalam mempercepat pemulihan kawasan hutan dan dalam rangka mempercepat penyediaan bahan baku kayu yang mulai langka. Pengalaman menunjukkan, pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI) sering mengalami kegagalan karena lokasinya di tanah yang miskin atau marginal. Guna menekan kegagalan pembangunan HTI, perlu diterapkan bioteknologi.

Kelima, perlu ditinjau ulang kebijakan bagi hasil iuran kehutanan khususnya Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan Dana Reboisasi (DR). Selama ini, perimbangan lebih banyak didasarkan pada besarnya potensi SDH yang dieksploitasi.
Kerusakan SDH di Indonesia sudah sampai tahap sangat mengkhawatirkan. Sangat kecil kemungkinan hutan dapat dikembalikan sama persis seperti asalnya. Tetapi, jika ada kemauan dan komitmen dari semua pihak baik di pusat maupun di daerah untuk bersama membangun dan memperbaiki hutan, setidaknya dapat mencegah kerusakan hutan yang lebih parah. Dengan demikian hutan pun tetap hijau. Semoga ....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Soal pengelolaan hutan aneh juga memang. Semakin banyak PT kehutanan, litbang, diklat, sampai birokrasi kehutanan dari pusat sampai daearh, dan ... miliaran rupiah dikucurkan untuk birokrasinya ... eh hasinya satu: Hutan gundul. Hutan aja dimakan he he