Advertising

Senin, 14 Juli 2008

MENGGUGAT NETRALITAS BIROKRASI

MENGGUGAT NETRALITAS BIROKRASI


”Suhu Politik Memanas, SKPD Jangan Terlena”. Inilah salah satu judul berita pada koran ini yang mengilustrasikan betapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) sedikit banyak akan mempengaruhi perilaku dan kinerja birokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Kekhawatiran sejumlah anggota dewan terhadap kemungkinan keterlenaan SKPD ini mendapat perhatian serius sampai-sampai Ahmad Fikry (Sekda Kabupaten Hulu Sungai Selatan) siap memberikan tindakan tegas terhadap SKPD yang terlena. Melalui koran ini juga diingatkan : ”PNS harus netral, jangan terlibat politik praktis”. (Radar Banjarmasin, 23 Oktober 2007).

Meskipun Pilkada di Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan masih akan digelar dalam hitungan bulan, para petinggi dan pengurus Parpol baik di level provinsi maupun kabupaten/kota juga disibukkan dengan mempersiapkan kandidiat yang akan diusungnya. Mereka mulai mengelus-elus sosok yang dipersiapkan diusung maju dalam pesta demokrasi tersebut, membuka pendaftaran bagi sang calon, dan unjuk gigi untuk mencari simpati dari masyarakat luas. Hal ini tentu saja akan semakin menghangatkan suhu politik menyongsong datangnya Pilkada.

Pilkada yang digelar saat ini adalah sesuai yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang berbeda dengan Pilkada sebelumnya. Sesuai UU terbaru yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah tersebut Pilkada diselenggarakan secara langsung. Artinya masyarakat luas berhak memilih siapa calon yang dikehendakinya secara langsung, bukan melalui proses dropping dari pusat atau pilihan para anggota dewan. Disatu sisi Pilkada secara langsung ini merupakan salah satu tolok ulur keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan dinamika kehidupan berdemokrasi dan berpolitik di daerah. Di sisi lain Pilkada ”era baru” juga menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, khususnya terkait dengan netralitas birokrasi.

Menurut Heady dan Wallis sebagaimana dikutip oleh Kartasasmita (1997), birokrasi pemerintahan di negara berkembang memiliki beberapa kelemahan. Salah satu diantaranya adalah aspek non birokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan primordial, golongan atau keterkaitan politik. Hubungan seperti ini sangat mempersulit birokrasi pemerintahan untuk berlaku obyektif dan rasional dalam koridor aturan dan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat luas, dapat diganti menjadi kepentingan kelompoknya.

Idealnya dalam menjalankan tugas sebagai sosok aparatur negara dan pelayan publik, birokrasi harus bebas dari berbagai pengaruh eksternal dari partai politik atau pejabat politik dari partai manapun baik yang sedang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Dengan netralitas birokrasi, diharapkan akan tetap terjaga kuantitas dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada tanpa diskriminasi. Netralitas birokrasi ini telah ditegaskan dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Bahkan sebagai langkah progresif terhadap produk hukum tersebut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui surat edarannya No. SE/04/M.PAN/03/2004 ”mengancam” akan memberikan sanksi bagi PNS yang terlibat dalam kampanye mendukung partai politik atau calon pejabat politik tertentu. Mampukah birokrasi menjaga netralitasnya ? Atau justru birokrasi ikut terbawa dahsyatnya arus politik di tingkat lokal dan dimanfaatkan sebagai tunggangan politik calon kepala daerah ?

Pilkada diselenggarakan oleh KPUD. Meskipun KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang tidak lain merupakan wakil rakyat di daerah, tetap saja tidak dapat menjamin tidak akan adanya pemanfaatan struktur birokrasi untuk memuluskan kepentingan calon kepala daerah tertentu dalam Pilkada. Setiap calon kepala daerah tetap memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan hal tersebut. Dalam banyak kasus di Indonesia kecenderungan ini acap kali dilakukan oleh calon yang kebetulan masih menduduki jabatan di jajaran birokrasi menjelang dilaksanakannya pilkada langsung.

Begitu sulitnya mempertahankan netralitas birokrasi bukan tanpa sebab. Diantaranya adalah karena terbukanya akses yang cukup luas bagi kader partai politik untuk dapat menduduki jabatan publik. Sayangnya kondisi ini tidak diiringi dengan peraturan yang tegas dan mengikat yang dapat menjamin yang bersangkutan netral terhadap kekuatan politik yang ada. Bahkan pada saat ini begitu menggejala pejabat publik yang sekaligus menjadi pengurus di parpol tertentu.

Kekhawatiran terhadap pemanfaatan jejaring birokrasi untuk mendukung pemenangan salah satu calon memang bukan tanpa alasan. Kalau dikaji lebih jauh ternyata sebagian besar kepala daerah yang masih aktif atau baru menjalani periode pertama sebagai kepala daerah, sebagian besar akan kembali mencalonkan diri lagi dan siap bersaing dengan calon lawan-lawannya dalam Pilkada yang akan datang. Artinya peluang bagi mereka untuk memanfaatkan jaringan dan struktur birokrasi untuk pemenangan dirinya semakin terbuka lebar.

Memanfaatkan struktur birokrasi untuk kepentingan pemenangan calon yang didukung dalam Pilkada dapat dilakukan oleh calon yang berasal kepala daerah atau calon lain yang berasal dari kalangan birokrasi. Kesempatan ini dapat juga dilakukan oleh para calon yang berasal dari kalangan non birokrasi. Yang dimaksud dalam hal ini adalah para calon yang memiliki akses kuat terhadap para aktor penting dalam struktur birokrasi. Calon kepala daerah yang saat ini masih aktif dalam jabatannya, memiliki peluang mengintervensi birokrasi semakin terbuka dan kemudian memanfaatkannya sebagai sarana untuk menggalang dukungan. Pola-pola yang dapat dilaksanakan antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, menggunakan sarana dan agenda kerja birokrasi secara terselubung untuk makin mempopulerkan diri dan melakukan kampanye dini. Contoh pola klasik ini misalnya, seorang kepala daerah tiba-tiba sangat intensif mendatangi masyarakat hanya untuk sebuah acara yang sebenarnya tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan kepemerintahan atau kedinasan. Acara-acara seperti peringatan keagamaan ataupun kegiatan tradisi lokal yang selama ini sedikit terabaikan oleh kepala daerah, tiba-tiba menjadi menjadi mengemuka dan menjadi agenda resmi.

Kedua, jalur birokrasi digunakan untuk memobilisasi dukungan melalui aktor-aktor birokrasi di tingkat lokal. Untuk tingkat kabupaten misalnya, para petinggi di tingkat kecamatan atau kelurahan mendapatkan beban ganda. Disamping tugas rutinnya sehari-hari mereka juga mendapatkan tugas tambahan untuk dekat kepada masyarakat tentu saja dengan membawa misi terpilihnya calon tertentu. Aparatur birokrasi pemerintahan yang tidak menduduki jabatan struktural juga sering dibebani tanggung jawab non formal untuk memaksimalkan dukungan masyarakat melalui mata rantai birokrasi.

Pemanfaatan birokrasi untuk kepentingan penguasa memang sesuatu hal yang tak terhindarkan dan bukanlah sesuatu hal yang baru. Era orde baru adalah era yang sering menjadikan birokrasi sebagai mesin politik dan kepanjangan tangan suara politik dari atas yang agak dipaksakan. Kuatnya budaya patron client yang sudah melembaga dalam birokrasi Indonesia, dimana dalam budaya pimpinan ditempatkan sebagai bapak dan para staf sebagai anak buah baik dalam urusan kedinasan maupun non kedinasan. Hal ini biasanya seringkali diikuti dengan kesulitan untuk membuat pemisahan antara kedua urusan yang sebenarnya harus dipilah tersebut. Artinya, seorang staf atau bawahan tidak hanya semata-mata harus patuh dan melaksanakan tugas-tugas resmi sesuai tupoksinya. Disisi lain juga berkewajiban membantu sang “bapak” urusan-urusan non kedinasan.

Dari berbagai hal di atas, netralitas birokrasi dalam hajatan Pilkada Langsung agaknya perlu dipertanyakan. Netralitas birokrasi bisa jadi menjadi sesuatu hal yang langka dan agak sulit untuk menghindarkannya. Yang dapat dilakukan selanjutnya adalah hanya sebatas meminimalisir berbagai kemungkinan penyalahgunaan struktur birokrasi secara luas. Lantas apak yang bisa dilakukan untuk membantu menjaga netralitas birokarasi ? Bagaimana agar masyarakat luas juga ikut berpartisipasi aktif dalam menciptakan netralitas birokrasi ? Ada beberapa langkah yang mungkin dapat dilakukan sebagai berikut.

Pertama, adalah dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat yang memungkinkan masyarakat luas memiliki akses yang kuat terhadap berbagai proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi. Hal ini hanya dapat terwujud apabila ada kehendak dari pemerintah untuk membuka dan memberi akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas berbagai dinamika kebijakan yang terjadi dalam birokrasi. Masyarakat luas juga harus pro aktif menjemput bola guna memanfaatkan terbukanya akses informasi tersebut untuk selalu mengkritisi dan ikut mengendalikan policy maker yang tidak lain adalah para aktor dalam birokrasi.

Kedua, masyarakat sipil maupun masyarakat politik harus berkolaborasi, bekerjasama, bahu membahu untuk mencegah berbagai kemungkinan penyalahgunaan birokrasi oleh kekuatan ekstra birokrasi baik yang berasal dari luar maupun dari dalam birokrasi sendiri. Masyarakat mampu menempatkan diri dan berperan secara aktif serta mengembangkan model partisipatif dalam perumusan kebijakan. Masyarakat seharusnya tidak hanya menunggu sampai terbuka peluang dan akses terhadap birokrasi, tetapi secara aktif berusaha membuka akses dan peluang tersebut.

Dengan menjaga netralitas birokrasi berarti ikut mengamankan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dimana dalam hal ini birokrasi berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggarana tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan profesionalisme, birokrasi harus dijaga dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif kepada masyarakat. Dengan kata lain netralitas birokrasi adalah sebuah keharusan. Semuanya berpulang kepada kita semua. Menjadi tugas kita untuk menjaga netralitas birokrasi dalam rangka mewujudkan sosok birokrasi yang ideal sebagai abdi negara dan masyarakat. Wallahu alam bi shawab, ..............

Tidak ada komentar: