Advertising

Jumat, 18 Juli 2008

MENYELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA

MENYELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA
Refleksi Menyambut Hari Bhakti Dephut)

Sementara itu analisis World Bank, setelah hutan alam di Sumatera, hutan alam di Kalimantan akan habis pada 2010.

Proses berlangsungnya kehidupan manusia sangat bergantung pada bumi dengan berbagai sumberdaya yang dimilikinya baik hayati maupun nonhayati, yang ada di permukaan maupun terkandung di dalamnya. Bumi, ditakdirkan Nya untuk menyediakan syarat bagi berlangsungnya kehidupan manusia.

Meskipun ilmu dan teknologi berkembang pesat, begitu juga dengan berbagai eksperimen dan rekayasa teknologi yang memberikan sinyal bahwa manusia bisa hidup di planet lain, tetapi bumi tetap menjadi tempat hidup paling ideal bagi manusia. Oleh itu karena itu, memanfaatkan sumberdaya yang ada di bumi dalam mendukung berlangsungnya kehidupan harus hati-hati, agar bumi tetap menjadi tempat hidup yang ideal bagi manusia.

Senin, 14 Juli 2008

MENGGUGAT NETRALITAS BIROKRASI

MENGGUGAT NETRALITAS BIROKRASI


”Suhu Politik Memanas, SKPD Jangan Terlena”. Inilah salah satu judul berita pada koran ini yang mengilustrasikan betapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) sedikit banyak akan mempengaruhi perilaku dan kinerja birokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Kekhawatiran sejumlah anggota dewan terhadap kemungkinan keterlenaan SKPD ini mendapat perhatian serius sampai-sampai Ahmad Fikry (Sekda Kabupaten Hulu Sungai Selatan) siap memberikan tindakan tegas terhadap SKPD yang terlena. Melalui koran ini juga diingatkan : ”PNS harus netral, jangan terlibat politik praktis”. (Radar Banjarmasin, 23 Oktober 2007).

Meskipun Pilkada di Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan masih akan digelar dalam hitungan bulan, para petinggi dan pengurus Parpol baik di level provinsi maupun kabupaten/kota juga disibukkan dengan mempersiapkan kandidiat yang akan diusungnya. Mereka mulai mengelus-elus sosok yang dipersiapkan diusung maju dalam pesta demokrasi tersebut, membuka pendaftaran bagi sang calon, dan unjuk gigi untuk mencari simpati dari masyarakat luas. Hal ini tentu saja akan semakin menghangatkan suhu politik menyongsong datangnya Pilkada.

Pilkada yang digelar saat ini adalah sesuai yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang berbeda dengan Pilkada sebelumnya. Sesuai UU terbaru yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah tersebut Pilkada diselenggarakan secara langsung. Artinya masyarakat luas berhak memilih siapa calon yang dikehendakinya secara langsung, bukan melalui proses dropping dari pusat atau pilihan para anggota dewan. Disatu sisi Pilkada secara langsung ini merupakan salah satu tolok ulur keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan dinamika kehidupan berdemokrasi dan berpolitik di daerah. Di sisi lain Pilkada ”era baru” juga menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, khususnya terkait dengan netralitas birokrasi.

Menurut Heady dan Wallis sebagaimana dikutip oleh Kartasasmita (1997), birokrasi pemerintahan di negara berkembang memiliki beberapa kelemahan. Salah satu diantaranya adalah aspek non birokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan primordial, golongan atau keterkaitan politik. Hubungan seperti ini sangat mempersulit birokrasi pemerintahan untuk berlaku obyektif dan rasional dalam koridor aturan dan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat luas, dapat diganti menjadi kepentingan kelompoknya.

Idealnya dalam menjalankan tugas sebagai sosok aparatur negara dan pelayan publik, birokrasi harus bebas dari berbagai pengaruh eksternal dari partai politik atau pejabat politik dari partai manapun baik yang sedang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Dengan netralitas birokrasi, diharapkan akan tetap terjaga kuantitas dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada tanpa diskriminasi. Netralitas birokrasi ini telah ditegaskan dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Bahkan sebagai langkah progresif terhadap produk hukum tersebut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui surat edarannya No. SE/04/M.PAN/03/2004 ”mengancam” akan memberikan sanksi bagi PNS yang terlibat dalam kampanye mendukung partai politik atau calon pejabat politik tertentu. Mampukah birokrasi menjaga netralitasnya ? Atau justru birokrasi ikut terbawa dahsyatnya arus politik di tingkat lokal dan dimanfaatkan sebagai tunggangan politik calon kepala daerah ?

Pilkada diselenggarakan oleh KPUD. Meskipun KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang tidak lain merupakan wakil rakyat di daerah, tetap saja tidak dapat menjamin tidak akan adanya pemanfaatan struktur birokrasi untuk memuluskan kepentingan calon kepala daerah tertentu dalam Pilkada. Setiap calon kepala daerah tetap memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan hal tersebut. Dalam banyak kasus di Indonesia kecenderungan ini acap kali dilakukan oleh calon yang kebetulan masih menduduki jabatan di jajaran birokrasi menjelang dilaksanakannya pilkada langsung.

Begitu sulitnya mempertahankan netralitas birokrasi bukan tanpa sebab. Diantaranya adalah karena terbukanya akses yang cukup luas bagi kader partai politik untuk dapat menduduki jabatan publik. Sayangnya kondisi ini tidak diiringi dengan peraturan yang tegas dan mengikat yang dapat menjamin yang bersangkutan netral terhadap kekuatan politik yang ada. Bahkan pada saat ini begitu menggejala pejabat publik yang sekaligus menjadi pengurus di parpol tertentu.

Kekhawatiran terhadap pemanfaatan jejaring birokrasi untuk mendukung pemenangan salah satu calon memang bukan tanpa alasan. Kalau dikaji lebih jauh ternyata sebagian besar kepala daerah yang masih aktif atau baru menjalani periode pertama sebagai kepala daerah, sebagian besar akan kembali mencalonkan diri lagi dan siap bersaing dengan calon lawan-lawannya dalam Pilkada yang akan datang. Artinya peluang bagi mereka untuk memanfaatkan jaringan dan struktur birokrasi untuk pemenangan dirinya semakin terbuka lebar.

Memanfaatkan struktur birokrasi untuk kepentingan pemenangan calon yang didukung dalam Pilkada dapat dilakukan oleh calon yang berasal kepala daerah atau calon lain yang berasal dari kalangan birokrasi. Kesempatan ini dapat juga dilakukan oleh para calon yang berasal dari kalangan non birokrasi. Yang dimaksud dalam hal ini adalah para calon yang memiliki akses kuat terhadap para aktor penting dalam struktur birokrasi. Calon kepala daerah yang saat ini masih aktif dalam jabatannya, memiliki peluang mengintervensi birokrasi semakin terbuka dan kemudian memanfaatkannya sebagai sarana untuk menggalang dukungan. Pola-pola yang dapat dilaksanakan antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, menggunakan sarana dan agenda kerja birokrasi secara terselubung untuk makin mempopulerkan diri dan melakukan kampanye dini. Contoh pola klasik ini misalnya, seorang kepala daerah tiba-tiba sangat intensif mendatangi masyarakat hanya untuk sebuah acara yang sebenarnya tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan kepemerintahan atau kedinasan. Acara-acara seperti peringatan keagamaan ataupun kegiatan tradisi lokal yang selama ini sedikit terabaikan oleh kepala daerah, tiba-tiba menjadi menjadi mengemuka dan menjadi agenda resmi.

Kedua, jalur birokrasi digunakan untuk memobilisasi dukungan melalui aktor-aktor birokrasi di tingkat lokal. Untuk tingkat kabupaten misalnya, para petinggi di tingkat kecamatan atau kelurahan mendapatkan beban ganda. Disamping tugas rutinnya sehari-hari mereka juga mendapatkan tugas tambahan untuk dekat kepada masyarakat tentu saja dengan membawa misi terpilihnya calon tertentu. Aparatur birokrasi pemerintahan yang tidak menduduki jabatan struktural juga sering dibebani tanggung jawab non formal untuk memaksimalkan dukungan masyarakat melalui mata rantai birokrasi.

Pemanfaatan birokrasi untuk kepentingan penguasa memang sesuatu hal yang tak terhindarkan dan bukanlah sesuatu hal yang baru. Era orde baru adalah era yang sering menjadikan birokrasi sebagai mesin politik dan kepanjangan tangan suara politik dari atas yang agak dipaksakan. Kuatnya budaya patron client yang sudah melembaga dalam birokrasi Indonesia, dimana dalam budaya pimpinan ditempatkan sebagai bapak dan para staf sebagai anak buah baik dalam urusan kedinasan maupun non kedinasan. Hal ini biasanya seringkali diikuti dengan kesulitan untuk membuat pemisahan antara kedua urusan yang sebenarnya harus dipilah tersebut. Artinya, seorang staf atau bawahan tidak hanya semata-mata harus patuh dan melaksanakan tugas-tugas resmi sesuai tupoksinya. Disisi lain juga berkewajiban membantu sang “bapak” urusan-urusan non kedinasan.

Dari berbagai hal di atas, netralitas birokrasi dalam hajatan Pilkada Langsung agaknya perlu dipertanyakan. Netralitas birokrasi bisa jadi menjadi sesuatu hal yang langka dan agak sulit untuk menghindarkannya. Yang dapat dilakukan selanjutnya adalah hanya sebatas meminimalisir berbagai kemungkinan penyalahgunaan struktur birokrasi secara luas. Lantas apak yang bisa dilakukan untuk membantu menjaga netralitas birokarasi ? Bagaimana agar masyarakat luas juga ikut berpartisipasi aktif dalam menciptakan netralitas birokrasi ? Ada beberapa langkah yang mungkin dapat dilakukan sebagai berikut.

Pertama, adalah dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat yang memungkinkan masyarakat luas memiliki akses yang kuat terhadap berbagai proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi. Hal ini hanya dapat terwujud apabila ada kehendak dari pemerintah untuk membuka dan memberi akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas berbagai dinamika kebijakan yang terjadi dalam birokrasi. Masyarakat luas juga harus pro aktif menjemput bola guna memanfaatkan terbukanya akses informasi tersebut untuk selalu mengkritisi dan ikut mengendalikan policy maker yang tidak lain adalah para aktor dalam birokrasi.

Kedua, masyarakat sipil maupun masyarakat politik harus berkolaborasi, bekerjasama, bahu membahu untuk mencegah berbagai kemungkinan penyalahgunaan birokrasi oleh kekuatan ekstra birokrasi baik yang berasal dari luar maupun dari dalam birokrasi sendiri. Masyarakat mampu menempatkan diri dan berperan secara aktif serta mengembangkan model partisipatif dalam perumusan kebijakan. Masyarakat seharusnya tidak hanya menunggu sampai terbuka peluang dan akses terhadap birokrasi, tetapi secara aktif berusaha membuka akses dan peluang tersebut.

Dengan menjaga netralitas birokrasi berarti ikut mengamankan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dimana dalam hal ini birokrasi berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggarana tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan profesionalisme, birokrasi harus dijaga dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif kepada masyarakat. Dengan kata lain netralitas birokrasi adalah sebuah keharusan. Semuanya berpulang kepada kita semua. Menjadi tugas kita untuk menjaga netralitas birokrasi dalam rangka mewujudkan sosok birokrasi yang ideal sebagai abdi negara dan masyarakat. Wallahu alam bi shawab, ..............

Jumat, 11 Juli 2008

BIROKRASI PROFESIONAL, SUDAHKAH ?

BIROKRASI PROFESIONAL, SUDAHKAH?

Saat ini reformasi memasuki tahun ke delapan, sejak orde baru tumbang pada 1998. Era reformasi menjadi tumpuan harapan banyak kalangan agar kondisi republik yang penuh kemajemukan ini menjadi lebih cerah pada masa akan datang.

Reformasi sedikit banyak membawa angin perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali pada jajaran birokrasi, yang juga harus mengikuti perubahan yang terjadi dengan mereformasi diri, agar terwujud birokrasi profesional yang selalu siap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Keinginan untuk mewujudkan birokrasi yang profesional pun semakin mengemuka.

Birokrasi yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional.

Rabu, 09 Juli 2008

MENGELOLA BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

MENGELOLA BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

Tidak terasa era otonomi daerah telah memasuki tahun ke tujuh. Dalam konteks sumber daya manusia, salah satu kekhawatiran yang sejak awal sering dilontarkan dan sering dianggap sebagai faktor penghambat otonomi daerah adalah belum siapnya sumber daya manusia daerah dalam melaksanakan otonomi. Terhadap opini tersebut penulis tidak sepenuhnya sepakat. Kalau dikaji secara mendalam, ada banyak faktor lain yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja birokrasi di daerah. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut adalah sebagai berikut.

Pertama, proses penataan kelembagaan di daerah yang belum juga rampung pasca diberlakukan otonomi daerah ditambah dengan melimpahnya kuantitas pegawai daerah sebagai dampak pelimpahan eks pegawai pusat ke daerah. Terbitnya PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 41 Tahun 2007, sebenarnya merupakan langkah pemerintah untuk menuntaskan proses penataan kelembagaan di daerah. Ternyata terbitnya kedua PP tersebut bukan tanpa masalah. Kedua PP tersebut ternyata meresahkan para pejabat di daerah. Bagaimana tidak, kedua PP tersebut mengisyaratkan adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Akibatnya perhatianpun tersedot ke program restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi lama. Ironisnya di sisi lain struktur organisasi pemerintah pusat justru diberi peluang untuk memekarkan diri yang menyebabkan “kecemburuan” tersendiri bagi pemerintah daerah. Akhirnya beberapa daerah enggan untuk segera mengadopsi PP tersebut dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Kedua, pasca otonomi daerah di beberapa daerah terjadi pembengkaan struktur organisasi di daerah dengan menambah instansi-instansi yang sebenarnya kurang diperlukan. Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah maka di beberapa daerah ditemui lembaga atau instansi yang sebenarnya tidak perlu ada tetapi diada-adakan. Ditambah lagi pola ”juklak dan juknis” dari pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi di era lalu yang membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah, khususnya bila dikaitkan dengan masalah pembiayaan. Sehingga ada gagasan dari sebagian komunitas di daerah, lebih baik semuanya diatur pusat tetapi ada petunjuk yang jelas disertai dana yang cukup, daripada kita mandiri tetapi tidak ada dana. Kondisi ini tentu saja juga akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Kebebasan dan kewenangan daerah yang lebih luas bagi daerah untuk melakukan pembenahan dan perubahan dalam manajemen birokrasi merupakan jiwa dari otonomi daerah. Dengan tetap berpijak pada jalur hukum yang ada, pemerintah daerah dituntut aktif, kreatif dan inovatif dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia secara lebih profesional. Dalam konteks ini penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting. Di dalam suatu organisasi manusia adalah modal atau asset, manusialah yang melakukan semua aktivitas dan menggerakkan organisasi sehingga organisasi dapat mencapai tujuan.

Simmamora (2001) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah rangkaian kegiatan mulai dari pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Senada dengan hal tersebut, Mangkuprawira (2002) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah merupakan serangkaian tugas yang terkait dengan upaya-upaya memperoleh karyawan, mendidik dan melatih, mengembangkan, memotivasi, mengorganisasikan, dan memelihara karyawan sebuah perusahaan sampai suatu ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.

Benang merah yang dapat ditarik dari pernyataan tersebut adalah bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan berbagai upaya yang harus dilakukan pimpinan unit kerja agar kinerja karyawan menjadi lebih optimal. Langkah kongkrit yang bisa diambil diantaranya adalah proses rekruitmen yang tepat, analisa kebutuhan pegawai, pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan, pemberian insentif kompensasi materiil dan non materiil secara proporsional, perencanaan pola karir yang mampu mengakomodasi para pegawai dalam mengembangkan potensi dan sebagainya. Jika semua proses ini diterapkan dengan baik dalam suatu organisasi, niscaya produktifitas kerja organisasi tersebut akan meningkat.

Beberapa fungsi manajemen sumber daya manusia menurut beberapa literatur antara lain dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, human resource planning. Perencanaan sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia terdiri dari analisa kebutuhan sumber daya manusia pada suatu organisasi khususnya untuk memastikan proses kerja yang efektif dan efisien.

Kedua, recruitmen and selection. Ketangguhan sebuah organisasi dalam merespon tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah merupakan refleksi dari kualitas pegawainya. Oleh karena itu, langkah awal dalam pengisian formasi pegawai adalah harus dipastikan bahwa hanya sumber daya manusia yang tepat dapat menduduki posisi yang tepat. Artinya, latar belakang pendidikan, bakat, dan keahlian calon pegawai yang akan diseleksi harus cocok dengan klasifikasi posisi yang akan mereka duduki.

Ketiga, compensation and benefits. Maksudnya adalah adanya imbalan yang proporsional, sesuai dengan apa yang telah dikerjakan untuk organisasi. Salah satu orientasi seorang pegawai bekerja adalah ingin mendapatkan manfat ekonomi. Oleh Karena itu setiap pimpinan ataupun pengelola sebuah organisasi juga harus mengembangkan sistem kompensasi yang proporsional atas pekerjaan atau kontribusi yang diberikan pegawai terhadap organisasi di luar gaji yang merepresentasikan kompensasi finansial. Disamping itu sebaiknya juga diberikan bentuk-bentuk penghargaan non finansial seperti liburan, asuransi jiwa, dan sebagainya.

Keempat, performance evaluation. Fungsi manajemen ini adalah untuk mengevaluasi seberapa jauh kinerja para pegawai jika diukur dengan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah cukup baik atau sebaliknya. Sebuah organisasi perlu merancang sebuah sistem evaluasi kinerja yang mampu mengukur secara tepat produktifitas masing-masing pegawai.

Kelima, human resource development. Progam pelatihan dan pengembangan adalah sebuah proses yang diharapkan akan menunjang peningkatan karir seorang pegawai sekaligus membantu mereka menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Bukan sekedar untuk memenuhi syarat-syarat formal. Melalui fungsi ini peluang bagi seorang pegawai untuk bersaing secara sehat dan memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai dinamika dalam lingkungan kerjanya akan lebih terbuka.

Keenam, career development. Pengembangan karir dapat dipahami sebagai perubahan posisi atau ranking seseorang ke posisi atau ranking yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara program pengembangan karir dengan struktur organisasi yang ada. Struktur yang ramping cenderung menghasilkan kinerja yang efisien, namun demikian hal ini berarti kesempatan pegawai untuk menduduki jabatan-jabatan struktural menjadi lebih sempit. Oleh karena itu perlu dipersiapkan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi pola karir para pegawai khususnya yang memang memiliki kapabilitas untuk meningkatkan perfomance sebuah organisasi.

Ketujuh, rewards system. Yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penghargaan baik yang bersifat finansial maupun non finansial kepada semua pegawai tanpa harus mempertimbangkan posisi dan kinerja mereka. Namun demikian pada suatu saat penghargaan hanya diberikan kepada pegawai terpilih setelah melalui seleksi dan evaluasi berdasarkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Dengan demikian kesan PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) yang melekat selama ini dapat pelan-pelan dihapuskan.

Kedelapan, employee management relations. Fungsi ini merupakan sebuah upaya untuk menciptakan interaksi yang harmonis di antara para pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat luas dapat lebih berkualitas. Ada sebuah fakta yang tidak bisa terelakkan bahwa setiap individu pegawai mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu interaksi yang harmonis tersebut juga berfungsi menjaga keseimbangan emosi sehingga etos dan semangat kerja yang tinggi senantiasa terjaga dengan baik.

Prinsip-prinsip utama dalam manajemen sumber daya manusia sebagaimana diuraikan di atas masih selama ini lebih banyak diimplementasikan pada organisasi non pemerintah khususnya yang berorientasi financial profit. Adanya anggapan bahwa aspek kapabilitas, dedikasi, loyalitas, ketaatan, prakarsa, kepatuhan, skill dan sebagainya merupakan sesuatu yang secara otomatis sudah ada dan melekat pada diri pegawai pemerintah, menjadi kendala tersendiri dalam implementasi manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah. Ketika pegawai diambil sumpahnya atau pada saat mengucapkan ikrar-ikrar lainnya seperti Panca Prasetya Korpri seolah-olah diyakini bahwa aspek-aspek tersebut di atas otomatis ada dan melekat pada diri sang pegawai. Padahal realitas menunjukkan bahwa masih banyak pegawai tidak dalam kapasitas ideal. Bisa jadi hal tersebut disebabkan akibat proses seleksi yang dilakukan belum pas, belum didasarkan pada analisa kebutuhan yang tepat. Atau mungkin juga karena program pendidikan dan pelatihan yang dirancang dan diikuti tidak secara khusus didesain guna meningkatkan dan memperkuat kapasitas mereka. Hal ini tentu saja menjadi kendala serius dalam penerapan prinsip-prinsip utama manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.

Pegawai juga masih sering dibalut dengan berbagai formalitas dan slogan yang secara empiris sangat sulit dioperasionalkan. Misalnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bekerja untuk kepentingan bangsa. Kalimant-kalimat tersebut terlalu sering diucapkan tetapi sebenarnya masih sangat abstrak dan sulit untuk mengoperasionalkannya. Manajemen sumber daya manusia menjadi sesuatu hal sangat strategis bagi upaya penguatan kapasitas pegawai yang diharapkan selanjutnya mampu memperkuat eksistensi kelembagaan sebuah organisasi pemerintah. Oleh karena itu sudah saatnya prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia dapat diterapkan secara lebih profesional. Lantas harus bagaimanakah untuk meningkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah ?

Untuk meingkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah dapat ditempuh dengan banyak cara. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dengan mengadopsi prinsip-prinsip good governance pada birokrasi pemerintah. Yaitu kegiatan pemerintahan harus mengadopsi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, penegakan hukum, visioner ke depan, kesetaraan dan sebagainya. Konsep ini sebenarnya sudah terlalu sering disebut-sebut telah diimplementasikan di lingkungan organisasi pemerintah yang secara formal ditandai dengan penandatanganan kesepakatan tentang good governance. Sayangnya sampai saat ini hal tersebut belum terlalu kelihatan outputnya. Good governance masih seperti ”makhluk asing” yang abstrak dan simbolis. Kedua, melalui identifikasi dan penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia mulai dari perencanaan, mekanisme rekruitmen dan seleksi, insentif dan disinsentif, evaluasi kinerja, pengembangan sumber daya manusia, pola mutasi dan karir yang jelas, pola sistem insentif dan penghargaan seperti yang diuraikan di atas.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sosok sumber daya manusia memegang peranan strategis. Di era transisi ini sumber daya aparatur merupakan motor penggerak roda pemerintahan. Keberhasilan atau keagagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya aparatur. Kualitas sumber daya aparatur juga merupakan faktor utama di dalam pemberdayaan ekonomi daerah, karena potensi sumber aya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terdapat sinergi dengan sumber daya aparatur yang berkualitas.

Membangun birokrasi yang efisien tetapi sekaligus berorientasi ke pasar merupakan kata kunci dalam konteks otonomi daerah, sehingga daerah bersangkutan memiliki daya saing tinggi. Adalah tugas kita bersama untuk membenahi semua permasalahan di atas. Yang antara lain adalah dengan upaya menerapkan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia sebagaimana secara profesional untuk mewujudkan sumber daya manusia birokrasi yang profesional pula. Semoga, ................

Senin, 07 Juli 2008

ONE STOP SERVICE ALA SRAGEN

ONE STOP SERVICE ALA SRAGEN


Sudah menjadi fenomena umum dalam masyarakat bahwa ketika mereka harus berurusan dengan birokrasi hampir dipastikan akan berhadapan dengan banyak meja, memerlukan waktu yang panjang, dan sangat terbuka peluang terjadinya korupsi kolusi nepotisme dan sebagainya. Dan hal inilah yang ternyata menjadi salah satu penyebab utama atau sumber keengganan masyarakat dan dunia usaha untuk mengurus perijinan usaha yang ujung-ujungnya hanya menambah biaya produksi dan high cost economy. Hal ini ternyata kemudian menjadi penghambat produktifitas atau bahkan investasi di berbagai wilayah di negeri ini.

Kondisi tersebut di atas ternyata bukan retorika belaka. Banyak survey dan riset yang dilakukan oleh lembaga riset, para akademisi dan praktisi yang membuktikan hal ini yang menunjukkan betapa pelayanan publik yang telah diberikan oleh aparatur pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. Sebut saja laporan dari World Competitiveness Report, yang menempatkan pada rangking ke 59 dari 60 negara yang disurvey. Atau survey Transparancy International yang menempatkan Indonesia di peringkat 133 untuk index anti korupsi lebih buruk dari Vietnam. Sementara itu menurut Kwik Kian Gie korupsi di negeri ini diperkirakan mencapai 444 triliun rupiah (melebihi APBN 2002-2003). Yang tidak kalah pentingnya adalah hasil survey yang dilakukan oleh UGM menunjukkan bahwa pelayanan buruk, berbelit-belit dan pungli dianggap wajar.

Beberapa hal tersebut di atas menunjukkan bahwa reformasi di bidang pelayanan publik belum berhasil. Namun demikian ternyata tidak semua kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kondisi buruk. Beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mulai bangkit dari buruknya kinerja pelayanan, dan mulai menepis image negatif yang selama ini menerpa kinerja pelayanan aparatur pemerintah selama ini. Salah satunya adalah inovasi one stop service yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sragen yang dapat dijadikan referensi bagi daerah lain untuk mereformasi kinerja pelayanan publik.

Dituangkannya pelayanan prima dalam visi dan misi nasional Indonesia, menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap pelayanan prima oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan keharusan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. UU No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa tujuan otonomi adalah untuk memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang makin baik kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Dengan demikian kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.
Berbakal pada semangat otonomi daerah dimana seharusnya aparatur pemerintah dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, Bupati Sragen melakukan serangkaian langkah-langkah guna membangun sebuah pelayanan perijinan usaha yang baik, yaitu pelayanan perijinan usaha yang cepat, murah dan transparan namun tetap dalam koridor tertib administrasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas Pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang operasionalisasinya dilaksanakan 1 Oktober 2002 oleh Bupati Sragen. Kebijakan mendapat dukungan penuh legislatif. Namun UPT tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya. Karena yang terjadi kemudian adalah UPT hanya berfungsi sebagai pintu masuk awal berkas perijinan, selanjutnya berkas tersebut disalurkan ke berbagai meja, artinya pelayanan belum dapat diberikan dengan cepat, prosesnya masih berbelit dan panjang.

Selanjutnya pada tahun 2003 statusnya dinaikkan menjadi Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). KPT Kabupaten Sragen telah dapat memberikan layanan perijinan yang lebih baik dibandingkan statusnya ketika masih dalam bentuk UPT. Pada umumnya setiap proses perijinan dapat diselesaikan 30% lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. Misalnya untuk pengurusan IMB dibutuhkan waktu 12 hari kerja, ternyata dapat diselesaikan dalam 10 hari kerja. Yang lainnya staf KPT memberikan layanan dengan lebih profesional mulai dari penampilan fisik hingga layanan pelanggan yang baik.
Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik serta memudahkan koordinasi dengan stakeholder, pada tanggal 20 Juli 2006 status KPT ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Terpadu (BPT).

Maksud didirikannya instansi ini adalah menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non perizinan yang prima dan satu pintu. Dengan demikian dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat Kabupaten Sragen. Sedangkan tujuannya adalah mewujudkan pelayanan prima, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat serta dalam rangka mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya masyarakat dapat terdorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Berikut ini adalah beberapa langkah yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan membangun one stop service. Pertama, dengan membentuk tim kecil yang berfungsi menentukan konsep dan memberikam masukan-masukan sehubungan dengan pembentukan lembaga yang mewadahi one stop service yang bertugas mencari bentuk ideal dengan melakukan perbandingan ke daerah lain. Sebelum membangun sistem layanan yang baik, diperlukan gambaran ideal dalam arti telah berjalan dengan baik.

Kedua, menyusun disain atau konsep pelayanan terpadu yang sesuai dengan kondisi di Kabupaten Sragen. Setelah melakukan serangkaian studi banding, tim kecil mulai merancang atau mendisain sistem yang bagaimana yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sragen karena pasti tidak akan dapat menerapkan bulat-bulat disain dari daerah lain.

Ketiga, rekruitmen sumber daya manusia aparatur yang kompeten dan profesional. Misalnya untuk perijinan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dipilih staf dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU), untuk Ijin Gangguan (HO) dipilih dari Dinas Lingkungan Hidup, dan seterusnya. Sebelum aparatur terpilih ini menjalankan tugasnya mereka juga dibekali dengan kegiatan magang untuk melihat dan mempelajari dari dekat mengenai pelaksaan kegiatan sehari-hari dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat.

Keempat, mengkondisikan semua instansi teknis mendukung one stop service. Kebijakan ini awalnya merupakan kebijakan yang kurang menarik bagi instansi teknis sehingga ada keengganan bagi para pimpinan instansi teknis untuk mendukungnya. Oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat dari top managemen untuk mengkondisikan agar kebijakan ini mendapatkan dukungan dari pimpinan instansi teknis. Diantaranya melalui penyerahan pelayanan perijinan kepada Bupati. Selanjutnya Bupati mendelegasikan kewenangan perijinan tersebut kepada tim teknis perijinan.

Kelima, tetap menjaga eksistensi tugas substantif instansi teknis yaitu instansi teknis tetap memiliki kewenangan membina dan mengawasai perijinan, bertanggung jawab atas target dan realisasi PAD serta memberikan pertimbangan dan kajian teknis pelayanan perijinan.

Keenam, membangun paradigma baru pelayanan publik melalui merubah dari dilayani menjadi melayani tulus dan ikhlas, pelanggan adalah orang terpenting yang harus dihormati, dilayani dan dipuaskan keinginannya, membangun tata nilai dan budaya kerja baru sebagaimana pelayanan profesional swasta dan pengembangan sumber daya manusia aparatur secara kontinyu dengan trainer profesional swasta, yang diukur seberapa jauh perubahan sikap perilaku dan kemampuan.

Ketujuh, membangun sistem yang akuntabel diantaranya adalah Standar ISO 9001 semua proses dan produk dijamin sesuai mutu yang ditetapkan, double control system (saling mengawasi antara instansi teknis dengan lembaga pengelola one stop service, masyarakat yang menilai dan mengawasi dengan berbagai fasilitas layanan pengaduan, monitoring kualitas dengan survey kepuasan pelanggan setiap 6 bulan sekali, pengawasan internal dengan audit Internal oleh auditor bersertifikat setiap 6 bulan dan evaluasi dengan mengundang stakeholder.

Kedelapan, memanfaatkan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat, saling terhubung, murah, dengan sumber daya manusia yang terbatas, diperlukan sebuah sistem teknologi informasi yang baik sampai level pemerintahan paling bawah yaitu desa. Dengan sistem ini pelayanan yang diberikan dapat lebih cepat, efisien, murah, dan transparan. Teknologi Informasi di Kabupaten Sragen dikembangkan sejak awal tahun 2002 yaitu dimulai dari koneksi jaringan komputer dan integrasi sistem pada kompleks perkantoran Sekretariat Daerahdan pada tahun 2008 ini sudah terkoneksi sampai level desa.

Hasil yang nyata yang diperoleh melalui one stop service di Kabupaten Sragen adalah proses perijinan lebih mudah, cepat dan transparan, berkurangnya keluhan keterlambatan, pungutan liar, realisasi perijinan lebih cepat dari standar (60%), meningkatnya kesadaran masyarakat mengurus ijin dan image positif terhadap aparatur pemerintah meningkat.

Disamping itu kebijakan yang dilaksanakan sejak tahun 2002 tersebut juga menimbulkan dampak positif yang sangat signifikan. Multiplayer efek setelah konsep one stop service dilaksanakan antara lain adalah peningkatan investasi (219%), peningkatan penyerapan tenaga kerja (147,3%), kenaikan jumlah perusahaan yang memiliki perijinan (27%), peningkatan potensi fiskal (250%), peningkatan PAD (1.000%), peningkatan PDRB (57,46%), pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Atas karya nyatanya tersebut Pemerintah Kabupaten Sragen juga mendapatkan berbagai macam penghargaan dari tingkat lokal, nasional maupun internasional.