Advertising

Senin, 07 Juli 2008

ONE STOP SERVICE ALA SRAGEN

ONE STOP SERVICE ALA SRAGEN


Sudah menjadi fenomena umum dalam masyarakat bahwa ketika mereka harus berurusan dengan birokrasi hampir dipastikan akan berhadapan dengan banyak meja, memerlukan waktu yang panjang, dan sangat terbuka peluang terjadinya korupsi kolusi nepotisme dan sebagainya. Dan hal inilah yang ternyata menjadi salah satu penyebab utama atau sumber keengganan masyarakat dan dunia usaha untuk mengurus perijinan usaha yang ujung-ujungnya hanya menambah biaya produksi dan high cost economy. Hal ini ternyata kemudian menjadi penghambat produktifitas atau bahkan investasi di berbagai wilayah di negeri ini.

Kondisi tersebut di atas ternyata bukan retorika belaka. Banyak survey dan riset yang dilakukan oleh lembaga riset, para akademisi dan praktisi yang membuktikan hal ini yang menunjukkan betapa pelayanan publik yang telah diberikan oleh aparatur pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. Sebut saja laporan dari World Competitiveness Report, yang menempatkan pada rangking ke 59 dari 60 negara yang disurvey. Atau survey Transparancy International yang menempatkan Indonesia di peringkat 133 untuk index anti korupsi lebih buruk dari Vietnam. Sementara itu menurut Kwik Kian Gie korupsi di negeri ini diperkirakan mencapai 444 triliun rupiah (melebihi APBN 2002-2003). Yang tidak kalah pentingnya adalah hasil survey yang dilakukan oleh UGM menunjukkan bahwa pelayanan buruk, berbelit-belit dan pungli dianggap wajar.

Beberapa hal tersebut di atas menunjukkan bahwa reformasi di bidang pelayanan publik belum berhasil. Namun demikian ternyata tidak semua kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kondisi buruk. Beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mulai bangkit dari buruknya kinerja pelayanan, dan mulai menepis image negatif yang selama ini menerpa kinerja pelayanan aparatur pemerintah selama ini. Salah satunya adalah inovasi one stop service yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sragen yang dapat dijadikan referensi bagi daerah lain untuk mereformasi kinerja pelayanan publik.

Dituangkannya pelayanan prima dalam visi dan misi nasional Indonesia, menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap pelayanan prima oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan keharusan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. UU No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa tujuan otonomi adalah untuk memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang makin baik kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Dengan demikian kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.
Berbakal pada semangat otonomi daerah dimana seharusnya aparatur pemerintah dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, Bupati Sragen melakukan serangkaian langkah-langkah guna membangun sebuah pelayanan perijinan usaha yang baik, yaitu pelayanan perijinan usaha yang cepat, murah dan transparan namun tetap dalam koridor tertib administrasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas Pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang operasionalisasinya dilaksanakan 1 Oktober 2002 oleh Bupati Sragen. Kebijakan mendapat dukungan penuh legislatif. Namun UPT tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya. Karena yang terjadi kemudian adalah UPT hanya berfungsi sebagai pintu masuk awal berkas perijinan, selanjutnya berkas tersebut disalurkan ke berbagai meja, artinya pelayanan belum dapat diberikan dengan cepat, prosesnya masih berbelit dan panjang.

Selanjutnya pada tahun 2003 statusnya dinaikkan menjadi Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). KPT Kabupaten Sragen telah dapat memberikan layanan perijinan yang lebih baik dibandingkan statusnya ketika masih dalam bentuk UPT. Pada umumnya setiap proses perijinan dapat diselesaikan 30% lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. Misalnya untuk pengurusan IMB dibutuhkan waktu 12 hari kerja, ternyata dapat diselesaikan dalam 10 hari kerja. Yang lainnya staf KPT memberikan layanan dengan lebih profesional mulai dari penampilan fisik hingga layanan pelanggan yang baik.
Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik serta memudahkan koordinasi dengan stakeholder, pada tanggal 20 Juli 2006 status KPT ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Terpadu (BPT).

Maksud didirikannya instansi ini adalah menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non perizinan yang prima dan satu pintu. Dengan demikian dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat Kabupaten Sragen. Sedangkan tujuannya adalah mewujudkan pelayanan prima, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat serta dalam rangka mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya masyarakat dapat terdorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Berikut ini adalah beberapa langkah yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan membangun one stop service. Pertama, dengan membentuk tim kecil yang berfungsi menentukan konsep dan memberikam masukan-masukan sehubungan dengan pembentukan lembaga yang mewadahi one stop service yang bertugas mencari bentuk ideal dengan melakukan perbandingan ke daerah lain. Sebelum membangun sistem layanan yang baik, diperlukan gambaran ideal dalam arti telah berjalan dengan baik.

Kedua, menyusun disain atau konsep pelayanan terpadu yang sesuai dengan kondisi di Kabupaten Sragen. Setelah melakukan serangkaian studi banding, tim kecil mulai merancang atau mendisain sistem yang bagaimana yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sragen karena pasti tidak akan dapat menerapkan bulat-bulat disain dari daerah lain.

Ketiga, rekruitmen sumber daya manusia aparatur yang kompeten dan profesional. Misalnya untuk perijinan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dipilih staf dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU), untuk Ijin Gangguan (HO) dipilih dari Dinas Lingkungan Hidup, dan seterusnya. Sebelum aparatur terpilih ini menjalankan tugasnya mereka juga dibekali dengan kegiatan magang untuk melihat dan mempelajari dari dekat mengenai pelaksaan kegiatan sehari-hari dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat.

Keempat, mengkondisikan semua instansi teknis mendukung one stop service. Kebijakan ini awalnya merupakan kebijakan yang kurang menarik bagi instansi teknis sehingga ada keengganan bagi para pimpinan instansi teknis untuk mendukungnya. Oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat dari top managemen untuk mengkondisikan agar kebijakan ini mendapatkan dukungan dari pimpinan instansi teknis. Diantaranya melalui penyerahan pelayanan perijinan kepada Bupati. Selanjutnya Bupati mendelegasikan kewenangan perijinan tersebut kepada tim teknis perijinan.

Kelima, tetap menjaga eksistensi tugas substantif instansi teknis yaitu instansi teknis tetap memiliki kewenangan membina dan mengawasai perijinan, bertanggung jawab atas target dan realisasi PAD serta memberikan pertimbangan dan kajian teknis pelayanan perijinan.

Keenam, membangun paradigma baru pelayanan publik melalui merubah dari dilayani menjadi melayani tulus dan ikhlas, pelanggan adalah orang terpenting yang harus dihormati, dilayani dan dipuaskan keinginannya, membangun tata nilai dan budaya kerja baru sebagaimana pelayanan profesional swasta dan pengembangan sumber daya manusia aparatur secara kontinyu dengan trainer profesional swasta, yang diukur seberapa jauh perubahan sikap perilaku dan kemampuan.

Ketujuh, membangun sistem yang akuntabel diantaranya adalah Standar ISO 9001 semua proses dan produk dijamin sesuai mutu yang ditetapkan, double control system (saling mengawasi antara instansi teknis dengan lembaga pengelola one stop service, masyarakat yang menilai dan mengawasi dengan berbagai fasilitas layanan pengaduan, monitoring kualitas dengan survey kepuasan pelanggan setiap 6 bulan sekali, pengawasan internal dengan audit Internal oleh auditor bersertifikat setiap 6 bulan dan evaluasi dengan mengundang stakeholder.

Kedelapan, memanfaatkan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat, saling terhubung, murah, dengan sumber daya manusia yang terbatas, diperlukan sebuah sistem teknologi informasi yang baik sampai level pemerintahan paling bawah yaitu desa. Dengan sistem ini pelayanan yang diberikan dapat lebih cepat, efisien, murah, dan transparan. Teknologi Informasi di Kabupaten Sragen dikembangkan sejak awal tahun 2002 yaitu dimulai dari koneksi jaringan komputer dan integrasi sistem pada kompleks perkantoran Sekretariat Daerahdan pada tahun 2008 ini sudah terkoneksi sampai level desa.

Hasil yang nyata yang diperoleh melalui one stop service di Kabupaten Sragen adalah proses perijinan lebih mudah, cepat dan transparan, berkurangnya keluhan keterlambatan, pungutan liar, realisasi perijinan lebih cepat dari standar (60%), meningkatnya kesadaran masyarakat mengurus ijin dan image positif terhadap aparatur pemerintah meningkat.

Disamping itu kebijakan yang dilaksanakan sejak tahun 2002 tersebut juga menimbulkan dampak positif yang sangat signifikan. Multiplayer efek setelah konsep one stop service dilaksanakan antara lain adalah peningkatan investasi (219%), peningkatan penyerapan tenaga kerja (147,3%), kenaikan jumlah perusahaan yang memiliki perijinan (27%), peningkatan potensi fiskal (250%), peningkatan PAD (1.000%), peningkatan PDRB (57,46%), pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Atas karya nyatanya tersebut Pemerintah Kabupaten Sragen juga mendapatkan berbagai macam penghargaan dari tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Tidak ada komentar: