Advertising

Selasa, 30 September 2008

REFLEKSI 63 TAHUN INDONESIA MERDEKA

REFLEKSI 63 TAHUN INDONESIA MERDEKA

Tak terasa 63 tahun sudah Indonesia merdeka. Ketika itu merdeka dimaknai sebagai bebas dari belenggu penjajahan, baik dari oleh Jepang sang “Saudara Tua”, Belanda, Inggris maupun para pendahulunya yang lain. Ketika itu pula merdeka berarti dapat menentukan jalan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak tergantung pada bangsa lain. Merdeka berarti dapat mengenyam bangku sekolah, yang ketika itu hanya dapat dinikmati kalangan Eropa dan kalangan bangsawan saja yang dapat sekolah. Merdeka berarti taraf hidup menjadi lebih baik, tidak terbelit oleh kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Singkat cerita, merdeka dimaknai sebagai kehidupan yang lebih baik.

Beberapa waktu setelah kemerdekaan dikumandangkan, Bung Karno Sang Proklamator kembali mengingatkan bahwa revolusi ini belumlah usai. Ternayata kita belum merdeka sepenuhnya. Masih ada bentuk-bentuk penjajahan yang ternyata membelenggu kita. Wujudnya memang berbeda dengan penjajahan model kolonial. Negeri ini masih dibayang-bayangi oleh penjajajahan model baru yaitu penjajajahan ekonomi juga penjajahan budaya.


Tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan tersebut. Bangsa ini harus berani bertindak dan mengambil sikap. Bangsa ini harus mampu berdiri di atas kaki sendiri. Berani tidak meminjam uang dari negara-negara ”donor” yang ternyata bukan ”donor” dan sarat dengan misi-misi mereka. Mungkin juga kita tidak perlu barang-barang impor dan memakai barang produksi dalam negeri yang merupakan karya bangsa sendiri. Atau paling tidak membatasi diri sehingga tidak perlu mutlak tergantung pada bangsa lain.

Penjajahan budaya juga semakin merambah negeri ini. Dunia ini seolah tanpa batas dengan era globalisasi yang siap menerjang. Kecanggihan teknologi informasi membuat semua produk, musik, tarian, budaya, juga life style begitu mudah masuk ke negeri ini. Padahal tidak semua hal tersebut pas dengan budaya ketimuran kita. Tanpa filter yang bagus maka bukan tidak mungkin budaya ketimuran kita. Bukankan kita memiliki musik dan tarian sendiri yang lebih eksotik. Kita punya irama keroncong, langgam, irama melayu, kuda lumping, jaipongan. Mengapa harus memuja irama dan tarian dari luar, sementara negeri asing sangat antusias memburu budaya kita.

Lantas sekarang bagaimana ? Sudahkah kita mencapai makna merdeka yang sejati. Yang tadi dicita-citakan oleh Sang Proklamator, oleh para pendahulu kita, yaitu bisa bebas, bisa sekolah, bisa hidup lebih baik, tidak perlu takut pada kompeni seperti masa lalu dan seterusnya. Saat ini barangkali sebagian orang di negeri ini sudah menikmatinya, tapi mungkin juga sebagian yang lain belum menikmatinya. Yang jelas fakta menunjukkan bahwa sebagian besar belum secara bebas menikmatinya. Sekolah dari TK sampai perguruan tinggi menjadi sesuatu yang mahal dan sesuatu yang mewah. Ketika penulis mengenyam bangku kuliah dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi beaya sangat terjangkau. Ibaratnya untuk sekolah atau kuliah cukup menjual ayam atau paling mahal kambing. Tapi beberapa waktu terakhir untuk mengenyam bangku sekolah atau kuliah terpaksa harus melego sebidang tanah atau setidak-tidaknya ”kijang” atau ”kuda”. Sehingga sering ada sindiran ”orang miskin dilarang sekolah ?”

Atau fakta ketika seorang warga ditolak berobat di sebuah rumah sakit karena ketiadaan uang muka atau uang jaminan. Atau sebuah operasi yang seharusnya segera dilaksanakan urung terlaksana karena ketiadaan uang jaminan, dengan alasan beaya jasa dokter, obat-obatan yang makin mahal. Tidak ada yang gratis untuk orang miskin sekalipun. Lagi-lagi ada sindiran ”Orang miskin dilarang sakit ?” disisi lain mencari kerja juga semakin sulit entah sebagai pegawai negeri mapun swasta. Koneksi, uang pelicin dan beaya tetek bengek lainnya kadang-kadang menjadi prasyarat tidak tertulis untuk mendapatkan lapangan kerja. Kalau demikian sudahkan kita merdeka ?

Kembali pada pokok persoalan di atas, merdeka = bebas ?. Sekarang merdeka ada yang memaknai bebas melakukan segala sesuatu. Bebas bicara, bicara apa saja, bebas memfitnah dan menjelekkan orang lain untuk memuluskan sebuah keinginan. Atau bebas menerobos lampu merah selama tidak ada polisi atau yang mengawasi. Bebas tidur di kala sidang, toh tidak ada sudah diwakili oleh ketua fraksi atau ketua komisi. Bebas masuk dan meninggalkan kantor meskipun sudah ada ketentuan jam kerja. Bebas mengeruk tanah dan mengambil batu bara dan membiarkannya menjadi danau-danau beracun. Atau bebas menebang dan menggunduli hutan. Toh itu semua milik Tuhan yang bebas dimanfaatkan untuk apapun dan oleh siapapun. Reklamasi no way, tidak perlu aturan main dan sebagainya. Mau gundul, mau banjir, tanah longsor peduli amat. Emang gue pikirin atau mene ke tehe (meminjam istilah Ekstravaganza Trans TV). Atau tidak perlu merasa bersalah dan bertanggung jawab lagi karena menyalahi aturan yang berlaku dan seterusnya.

Bebas mengkorupsi uang rakyat, bebas menyuap dan menerima suap, untuk meng-goal-kan sebuah bukti-bukti menunjuk pada kesalahan besar yang dibuat. Bebas menggunakan fasilitas negara dan jabatan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Bebas memanipulasi data, angka dan fakta realisasi sebuah kegiatan atau proyek. Bebas memotong hak-hak orang lain dan bebas menikmati apa-apa yang seharusnya bukan menjadi haknya. Bebas mengumbar aurat, berporno-aksi dan berpornografi. Bebas memaksakan kehendak dan bebas main hakim sendiri ketika berbeda pendapat. Bebas dari tuntutan hukum karena sedang berkuasa atau dekat dengan penguasa. Dan bebas-bebas yang lain.

Beginikah cara mengisi dan memaknai kemerdekaan yang lahir dengan cucuran darah dan linangan air mata. Dengan banyak pengorbanan yang tak ternilai harganya. Atau kita memang terlanjur salah dalam memaknai kemerdekaan ini. Saatnya kita kembali merenung akan arti merdeka. Arti merdeka yang sejati. Saatnya kita kembali, kembali bertanya pada hati nurani dan beristighfar kepada-Nya. Demi kejayaan nusa dan bangsa negri tercinta ini. Dirgahayu Republik Indonesia ke-63. Merdeka, sekali merdeka tetap merdeka, ..................

Tidak ada komentar: