Advertising

Jumat, 05 September 2008

KAPAN KRISIS BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS BERAKHIR ?

Krisis Bahan Bakar Minyak dan Gas Berakhir Kapan Berakhir ?


Beberapa waktu terakhir kita sering disuguhi tentang fenomena kelangkaan bahan baker minyak dan gas yang melanda Kalimantan Selatan. Sudah bukan barang baru lagi ketika kita menyaksikan deretan kendaraan roda dua dan roda empat antri sampai ratusan meter, bahkan kadang-kadang sampai kiloan meter di berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Tidak jarang ketika SPBU belum dibuka antrean sudah mulai kelihatan. Antrean ternyata juga terjadi di berbagai minyak tanah dan juga distributor gas. Sungguh ironis negeri yang konon kabarnya sebagai eksportir bahan bakar minyak dan gas ternyata mengalami kelangkaan barang tersebut. Tak heran jika barang tersebut harganya menjadi semakin melambung, belum ada kenaikan daya beli masyarakat yang signifikan.



Hati ini akan semakin bertanya-tanya juga ketika di berbagai media cetak dan elektronik juga hari-hari menyajikan fenomena kelangkaan minyak dan gas. Artinya fenomena ”menghilangnya” minyak dan gas juga terjadi di kawasan lain di negeri ini. Apa yang terjadi di negeri ini, sehingga fenomena kelangkaan minyak dan gas tidak kunjung usai, tidak kunjung ada solusinya. Padahal bahan bakar minyak dan gas adalah merupakan barang yang sangat vital bagi masyarakat luas, tetapi masyarakat luas semakin sulit saja untuk mengaksesnya. Dalam beberapa waktu terakhir pemerintah pusat memprogramkan konversi minyak tanah ke gas. Tetapi ternyata gas sulit didapat dan minyak tanah juga sudah mulai hilang dari pasaran. Lagi-lagi kita harus bilang sungguh ironis.


Sementara itu di di level elit politik kita disuguhi saling lempar tanggung jawab dan saling menyalahkan. Pemerintah SBY-JK misalnya telah menuding kontrak penjualan gas Tangguh ke Cina yang ditandatangani pada era Megawati adalah kontrak yang paling merugikan dalam sepanjang sejarah kontrak gas di negeri ini. Kontrak tersebut yang dilakukan untuk tenggang waktu 25 tahun. Kontrak tersebut diperkirakan akan merugikan negara sebesar 750 triliun(Kompas.com, 29/8/2008). Sebuah angka yang cukup fantastis. Megawati-pun berkilah bahwa ketika itu ketika ditandatangani kontrak, SBY, JK dan Purnomo Yusgiantoro (Menteri ESDM) juga duduk di kabinet Mega. Kenapa baru diungkit sekarang ? Begitu kira-kira Megawati berkilah, pasti ada unsur politis untuk mengurangi popularitas Megawati yang mau mencalonkan lagi sebagai RI-1 pada 2009 mendatang..


Masyarakat selama ini dengan berat hati harus menerima kenaikan harga bahan bakar minyak dan gas yang bertubi-tubi terjadi. Konon kabarnya pemerintah menaikkan harga minyak dan gas karena semakin terbatasnya anggaran untuk subsidi minyak dan gas. Ya mestinya, dengan diberlakukannya kenaikan harga ini masyarakat bukan semakin sulit mengakses minyak gas tetapi semakin mudah. Tetapi apa yang terjadi, ......


Minyak dan gas merupakan salah satu merupakan salah satu hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak sehingga dikuasai oleh negara, yang pada hakekatnya negara diminta untuk mengelola, untuk memanajemen untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Penulis tidak antipati terhadap investor asing. Tetapi penulis dalam hati bertanya-tanya, tidak mampukah negeri ini mengelola aset yang strategis ini secara mandiri sehingga keuntungannya lebih dinikmati oleh masyarakat luas di negeri ini.


Sebuah sumber menyebutkan bahwa tidak kurang dari 85% ladang minyak dan gas dikuasai asing. Jangan-jangan kita sudah terjerembab dalam liberalisasi energi. Menurut Irsyanuddin Norsy liberalisasi sektor minyak dan gas itu perannya ADB, USAID dan Bank Dunia(Republika, 5/9/08). Tentu saja keuntungan akhirnya menjadi lebih banyak dinikmati mereka. Tidak usah jauh-jauh masyarakat yang berada di sekitar lumbung minyak dan gas tidak juga terangkat dari predikit kemiskinannya. Sebut saja data BPS Jatim (2003)yang menyebutkan bahwa daerah yang kaya minyak dan gas penduduknya banyak yang miskin. Kabupaten Sumenep yang kaya minyak dan gas ternyata termiskin nomor dua se Jatim. Juga Bojonegoro yang memiliki kandungan minyak cukup pontensial msyarakat msikin menduduki peringkat ke-empat se Jatim. Dan masih banyaki fenomena serupa lainnya.


Terlepas dari kemelut politik yang terjadi di tingkat elit dan liberalisasi sektor minyak dan gas serta pengelolaan ladang minyak dan gas oleh investor asing, solusi yang sangat ditunggu-tunggu olah masyarakat luas adalah agar masyarakat luas tetap dapat mengakses kebutuhan bahan bakar minyak dan gas dengan mudah. Beberapa hal yang mungkin dapat dilakukan oleh pemerintah diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, melakukan negosiasi ulang seluruh kontrak minyak dan gas dengan investor asing. Kedua, pemerintah lebih konsentrasi pada pengelolaan minyak dan gas untuk keperluan dalam negeri. Ekspor dapat dilakukan setelah kebutuhan dalam negeri tercukupi. Ketiga, membudayakan hemat bahan bakar, baik di kalangan pemerintah, swasta maupun masyarakat. Keempat, memberdayakan energi alternatif yang berasal dari non minyak dan gas. Misalnya energi nabati, energi surya, energi angin dan sebagainya.


Pada hakekatnya solusi atas kelangkaan bahan bakar minyak dan gas ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah. Tetapi menjadi tanggung jawab kita bersama antara tiga komponen dalam sebuah negara yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat sesuai dengan porsinya masing-masing. Sehingga perlu adanya sinergi antara ketiga komponen tersebut. Namun paling tidak pemerintah bisa memfasilitasi pengelolaan sumber daya minyak dan gas yang lebih pro masyarakat luas. Sebagaimana diamanahkan oleh Pasal 33 UUD 1945 bahwa hasil bumi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Tidak perlu mencari biang kesalahan, tetapi bersama-sama kita memperbaiki kesalahan yang pernah kita perbuat. Insya Allah kita segera keluar dari fenomena kelangkaan bahan bakar minyak dan gas. Semoga, ................

Tidak ada komentar: