Advertising

Selasa, 02 September 2008

PILKADAL ANTARA HARAPAN DAN REALITAS


Pilkadal Antara Harapan dan Realitas

Sudah tidak asing lagi bagi kita ketika kita menyaksikan tayangan iklan para calon kepala daerah di media cetak dan elektronik. Mereka mencoba menarik simpati dan perhatian masyarakat dengan program-program unggulan yang diharapkan akan terealisasi ketika sang calon terpilih. Ini hanya salah satu dari sekian banyak efek diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 yang mewajibkan Pilkada Langsung (Pilkadal) dalam pemilihan kepala daerah. Sampai saat ini Pilkadal telah dilaksanakan silih berganti dari tahun ke tahun di hampir seluruh wilayah Indonesia baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.

Substansi pemilihan kepala daerah telah mengalami perubahan yang cukup mendasar yaitu telah berubah ke arah yang lebih demokratis. Sejak diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang lalu pemilihan kepala daerah langsung mulai digelar di berbagai daerah. Negeri ini kemudian menggelar hajatan akbar yang berupa pemilihan kepala daerah secara langsung baik di tingkat provinsi maupun tingakt kabupaten/kota pasca perubahan undang-undang pemerintahan daerah tersebut.

Beberapa hal telah melatarbelakangi berubah dan dipilihnya mekanisme Pilkadal. Diantaranya adalah pengalaman buruk pada masa lalu ketika hak memilih kepala daerah hanya menjadi milik dan menjadi kewenangan anggota DPRD. Di era lalu ada image bahwa anggota DPRD cenderung memanfaatkan kewenangan yang dimiliki untuk kepentingan individu dan partainya. Disinyalir hanya kepala daerah yang mampu membeli suara itulah yang dipastikan akan memenangkan proses pemilihan.

Dalam perkembangannya muncul adanya pemikiran mengenai pemilihan kepala daerah secara langsung yang kemudian pokok-pokok pikirannya dituangkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, sebagai revisi terakhir UU No. 22 Tahun 1999. Konsep pemikiran tentang pemilihan kepala daerah langsung tersebut dianggap lebih mencerminkan kedaulatan rakyat sejati, karena rakyat sendiri yang secara langsung memilih kepala daerah sesuai hati nuraninya. Pemilihan kepala daerah secara langsung diharapkan lebih dapat dipertanggungjawabkan karena kepentingan individu atau kelompok dan partai dapat diputus, mutu proses pilkada lebih meningkat, KKN dan money politics dapat ditekan sekecil mungkin, dan lebih mencerminkan aspirasi dan memperdulikan rakyat, serta lebih legitimate.

Ketika Pilkadal mulai dilaksanakan di berbagai provinsi, kabupaten/kota sejak Juni 2005 yang lalu, berbagai lapisan kelompok masyarakat berharap-harap cemas apakah benar pemilihan kepala daerah secara langsung bisa mengubur berbagai keburukan proses pemilihan kepala daerah pada masa lalu. Pertanyaan besar dan keragu-raguan mulai muncul di berbagai lapisan masyarakat. Apakah benar Pilkadal bisa menjadi solusi bagi banyak permasalahan di daerah selama ini ?.

Pemilihan kepala daerah langsung telah dilaksanakan di berbagai daerah dengan kerangka sistim politik demokrasi yang sering di gemborkan oleh sejumlah kalangan sebagai sistim yang paling baik. Sistim yang paling peduli dan aspiratif kepada rakyat. Minimal prosesnya dianggap lebih baik daripada sistim pemilihan kepala daerah pada masa lampau. Walaupun tidak sepenuhnya menjamin kualitas calon kepala daerah yang terpilih. Beberapa hal tampaknya perlu dikritisi dalam pelaksanaan Pilkadal.

Pertama, Pilkadal ternyata memerlukan alokasi dana yang cukup besar yang ditengah berbagai permasalahan besar di daerah yang menyangkut hajat hidup rakyat yang memerlukan dana yang cukup besar pula untuk menanganinya. Proses Pilkadal harus tetap dilangsungkan ketika problematika kehidupan rakyat yang seharusnya perlu diberikan perhatian khusus dan perlu alokasi dana yang cukup besar. Kasus penanganan lumpur lapindo, gempa bumi di Aceh dan Jogja dan beberapa wilayah lainnya, kasus krisis energi litrik, krisis BBM, dan sebagainya adalah beberapa permasalahan mendasar di daerah juga menjadi agenda mendesak dan perlu alokasi dana cukup besar. Pilkadal juga harus berhadapan dengan masalah kemiskinan yang lain secara signifikan meningkat sejak krisis ekonomi melanda negeri ini beberapa tahun silam.

Kedua, Pilkadal bukan tidak mungkin memicu terjadinya konflik, instabilitas dan kerusuhan sosial. Hal ini terjadi karena beberapa hal. Kecurangan dalam proses pemilihan kepala daerah langsung, misalnya terkait dengan money politics, manipulasi data pemilih, penggelembungan jumlah suara, netralitas birokrasi dan lain-lain sehingga terjadi penolakan hasil akhir pemilihan kepala daerah langsung oleh beberapa kelompok masyarakat.Kampanye negatif, mobilisasi masa pendukung calon dengan mengatasnamakan suku bangsa, agama, etnis, ras, pendatang atau putera daerah, dan lain-lain tidak jarang menghasilkan konflik diantaranya kelompok masyarakat. Premanisme politik, yaitu suatu proses atau hasil yang tidak sesuai dengan keinginan kelompok tertentu sehingga mereka melakukan kekerasan dan pemaksaan kehendak mereka. Misalnya aksi-aksi perusakan dan pendudukan kantor KPUD karena calon kepala daerah dari kelompok tertentu tidak lolos verifikasi atau karena calonnya tidak terpilih. KPUD dan DPRD kemudian terpaksa merekomendasikan penolakan hasil pemilihan dan akan melakukan pemilihan ulang. Kedewasaan berpolitik para calon kepala daerah yang masih rendah. Banyak calon kepala daerah hanya siap untuk menang dan tidak siap menerima kekalahan. Hal ini terjadi dengan adanya penolakan hasil pemilihan kepala daerah dengan berbagai cara baik dengan kekerasan maupun dengan menciptakan opini baru yang berdampak pada konflik yang berkepanjangan dalam masyarakat.

Dalam Pilkadal, seorang calon yang berasal dari kader partai ataupun non kader partai hanya bisa melenggang untuk bisa mengikuti bursa pemilihan kepala daerah melalui partai politik. Pada tahap ini ada asumsi bahwa partai politik akan menjaring calon dengan kualitas yang terbaik. Akhir-akhir ini saja ada peluang calon dari independen. Pada kenyataanya tidaklah bukan rahasia lagi untuk mencalonkan diri dalam bursa pemilihan kepala daerah, seseorang yang akan ingin mencalonkan sebagai kepala daerah harus membayar sejumlah uang kepada pihak-pihak tertentu dengan dalih untuk dana operasional sebuah partai, biaya tim kampanye dan biaya ”tetek bengek” lainnya, dengan nilai bukan lagi jutaan rupiah, tetapi milyar rupiah. Dengan demikian berkualitas saja tidak cukup tetapi harus juga berduit atau minimal didukung oleh kelompok yang bermodal. Dampak lebih jauh rakyat terpaksa memilih calon kepala daerah yang tidak secara otomatis memperjuangkan aspirasi rakyat. Sangat boleh jadi calon kepala daerah terpilih hanya cenderung memperjuangkan kepentingan sendiri dan kelompok pemodal yang mendukungnya.

Akhirnya Pilkadal mungkin hanya memberikan sebuah kepastian bahwa kepala daerah terpilih adalah dipilih secara langsung. Tidak ada jaminan bahwa kualitas mereka yang terpilih jauh lebih baik. Karena tidak ada sistim di dunia ini yang bisa menjamin segala-galanya. Namun demikian apapun yang terjadi, sebagai sebuah proses pembelajaran, proses pemilihan kepala daerah langsung ini harus tetap dihargai. Tidak ada sistim pemilihan kepala daerah di dunia ini yang menjamin segala-galanya. Mampukan Pilkadal ini menjadi solusi paling ampuh terhadap berbagai permasalahan besar di daerah ini ? Semoga.

Tidak ada komentar: