Sulitnya Memberantas “Illegal Logging”
Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh sektor kehutanan Indonesia adalah percepatan laju deforestasi. Penebangan liar yang kemudian lebih populer dengan istilah illegal logging merupakan salah satu pemicu deforestasi yang melanda sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. Menurut MS. Kaban (2005), kerugian yang diderita negara akibat illegal logging mencapai kurang lebih 30 triliun rupiah per tahun atau kurang lebih 83 miliar rupiah per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan sejak tahun 1999, yaitu kurang lebih 29,5 juta meter kubik kayu yang beredar berasal dari hasil aktivitas illegal logging.
Tidak hanya itu saja, illegal logging juga sering dituding sebagai biang keladi bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda beberapa wilayah di negeri ini. Sebut saja bencana banjir dan tanah longsor di Jember, Banjarnegara, Trenggalek, Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Banjar dan sebagainya. Bencana ini telah memakan korban jiwa dan harta benda serta memporakporandakan perumahan penduduk dan sarana prasarana lainnya. Disinyalir bencana ini terjadi karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, hutan gundul yang semakin meluas yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas illegal logging.
Konon praktek pencurian kayu di Pulau Jawa telah terjadi sejak tiga abad lampau yaitu sejak dilarangnya masyarakat menebang jati oleh kongsi dagang Belanda. Pelarangan tersebut tidak menyurutkan masyarakat lokal memanfaatkan hasil hutan kayu tersebut dan terus menimbulkan konflik antara pihak penguasa hutan dan masyarakat. Sedemikian klise dan rutinnya, sehingga pencurian kayu menjadi suatu tradisi yang berlangsung sampai sekarang. Aktivitas ini tidak hanya melibatkan sekelompok masyarakat saja, tetapi melibatkan jaringan mafia yang cukup rapi, yang cakupan arealnya semakin luas. Sumatra, Kalimantan, Sulawesi juga Papua yang memiliki kawasan hutan juga tidak pernah terlewatkan dari aktivitas ini.
Seiring dengan perjalanan waktu pencurian kayu yang kemudian populer dengan istilah illegal logging berkembang luas dan menimbulkan dampak multidimensi yaitu berhubungan dengan aspek sosial, ekonomi dan ekologi. Hal ini tidak lain karena aktivitas illegal logging tidak melalui perencanaan yang komprehensif sehingga berpotensi merusak hutan yang kemudian berdampak pada perusakan lingkungan.Aktivitas illegal logging telah tejadi hampir di seluruh tipe kawasan hutan, baik pada kawasan hutan produksi, hutan lindung, taman nasional, dan kawasan konservasi lainnya.
Aktivitas illegal logging terjadi di beberapa yang memiliki potensi hutan dan mengandalkannya sebagai salah satu modal dasar dalam kegiatan pembangunan. Illegal logging menjadi masalah yang sangat kompleks, karena banyaknya aktor yang terlibat di dalamnya dengan kepentingan masing-masing, dengan jaringan pasar lokal, nasional maupun global. Oleh karena itu berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pusat daerah untuk menghabisi aktivitas illegal logging baik yang bersifat preventif, persuasif maupun represif.
Upaya preventif dilakukan dengan pembuatan portal di kawasan hutan produksi (yang dikuasai HPH maupun eks HPH), pada kawasan konservasi seperti cagar alam, suaka margasatwa, taman hutan raya dan sebagainya. Peningkatan kinerja HPH dalam pengamanan hutan juga dilakukan dengan menjalin kerja sama dengan pihak kehutanan dan kepolisian sesuai dengan SK Menteri Kehutanan No. 523/Kpts-II/93 serta pemberdayaan penebang liar dengan merekrut penebang liar menjadi penebang resmi di HPH.
Upaya persuasif dilakukan melalui pembentukan kelompok mitra sepaham sebagai basis pengamanan hutan swakarsa. Ada juga yang dilakukan melalui upaya menyerukan dan mensosialisasikan seruan ulama bahwa aktivitas illegal logging adalah perbuatan merusak lingkungan sehingga hasil kegiatan illegal logging adalah haram. Upaya ini dimotori oleh MUI (Majelis Ulama Indonesia) dan instansi kehutanan setempat.
Sementara itu upaya represif dilakukan melalui kegiatan operasi pengamanan hutan secara fungsional kehutanan maupun gabungan. Operasi ini dilaksanakan dengan berbagai sandi operasi dengan dukungan instansi-instansi terkait. Berbagai pola operasi pemberantasan illegal logging dilakukan sesuai konsep TPHT, TKK, TKPH, Wana Bahari, Wana Laga, Wana Lestari dan sebagainya. Bentuk-bentuk kegiatan represif berupa razia, penyitaan barang bukti hasil dan alat kejahatan illegal logging, penangkapan pelaku dan sebagainya.
Banyak sudah upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meniadakan atau setidak-tidaknya mengurangi aktivitas tersebut. Terakhir adalah dikeluarkannya Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 4 Tahun 2005 yang merupakan payung hukum dalam pemberantasan penebangan liar sampai ke akar-akarnya. Keluarnya peraturan tersebut merupakan bukti nyata bahwa pemerintah menganggap bahwa illegal logging merupakan ancaman besar bagi kelangsungan hutan Indonesia sehingga perlu kesungguhan untuk memberantasnya dengan didukung oleh payung hukum setingkat Inpres.
Sayangnya berbagai upaya tersebut belumlah cukup untuk menghentikan aktivitas penebangan liar. Dana yang dialirkan untuk upaya pemberantasan penebangan liarpun juga tidak sedikit baik dana yang dari pemerintah sendiri maupun dana yang dikucurkan oleh pihak lain. Tidak hanya pemerintah, tetapi lembaga-lembaga non pemerintah di tingkat lokal, nasional maupun internasional juga tidak bosan-bosannya dalam mengkampanyekan anti illegal logging. Rupanya berbagai upaya tersebut belumlah cukup untuk meredam aktivitas illegal logging. Mengapa hal itu bisa terjadi ?
Illegal logging harus dilihat dari perspektif yang komprehensif dengan segala aspeknya. Antara lain adalah aspek legal, aspek supply demand kayu, aspek sosial ekonomi, dan aspek penegakkan supremasi hukum. Dari aspek legal adalah banyak kalangan yang menilai meskipun ketentuan tentang kehutanan yang baru (UU No. 41 Tahun 1999) jauh lebih baik dari UU sebelumnya, tetapi keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat terhadap hutan masih berupa retorika. Pengelolaan hutan baik pada kawasan produksi maupun kawasan konservasi masih belum melihat masyarakat lokal sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari hutan itu sendiri.
Menurut CIFOR (2004), sebanyak 48,8 juta orang penduduk Indonesia tinggal di dalam dan sekitar kawasan hutan. Dari jumlah tersebut kurang lebih 10,2 juta orang di antaranya tergolong masyarakat miskin, sehingga perlu segera dilakukan langkah strategis untuk meningkatkan kesejahteraannya. Dari sepek sosial ekonomi masyarakat sekitar hutan dapat dijelaskan bahwa tingkat sosial ekonomi yang rendah akan memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal. Kegiatan ini dilakukan baik sekedar untuk membangun tempat tinggal, mengambil lahannya untuk berladang atau yang memang semata-mata mempunyai tujuan komersial dengan memperjualbelikan kayu yang diperoleh.
Tidak adanya kesempatan dan akses terhadap mata pencaharian lain yang lebih menguntungkan selain dengan menebang kayu juga dapat memicu masyarakat lokal melakukan penebangan kayu secara illegal. Sebagian masyarakat merasa tidak terbantu dengan keberadaan hutan produksi yang dikelola oleh HPH maupun kawasan hutan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi, ditambah lagi dengan kesalahan pemaknaan konsep hutan milik negara yang diterjemahkan hutan sebagai milik masyarakat dalam arti masyarakat bebas memperlakukannya sekehendak hati juga mendorong aktivitas penebangan kayu secara membabi buta. Apalagi HPH sendiri kadang-kadang juga terlibat dalam illegal logging di arealnya maupun di luar konsesinya karena berbagai tuntutan baik yang dilakukan secara langsung atau sekedar memfasilitasi pihak lain.
Adanya kesenjangan antara supply dan demand kayu juga mempunyai pengaruh terhadap intensitas illegal logging. Kesenjangan ini terjadi sebagai akibat konsumsi kayu untuk kebutuhan industri maupun pemenuhan kebutuhan masyarakat cukup tinggi. Secara nasional, menurut Suripto (2005) kebutuhan bahan baku kayu bulat pada saat ini setiap tahunnya mencapai kurang lebih 63 juta meter kubik. Sedangkan produksi kayu bulat dari hutan produksi adalah sekitar 22 juta meter kubik per tahun sehingga terdapat kesenjangan antara supply dan demand kayu bulat sebesar 30-40 juta meter kubik per tahun.
Pertumbuhan industri pengolahan kayu di luar negeri seperti Malaysia, Taiwan, Korea, dan RRC yang juga membutuhkan bahan baku kayu bulat dan kayu gergajian dari Indonesia menambah kesenjangan yang memacu kegiatan penebangan liar. Begitu juga dengan konsumsi kayu untuk rumah tinggal yang cukup tinggi juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya permintaan kayu untuk konsumsi masyarakat lokal. Betapa tidak, sampai saat ini kayu masih tetap diperlukan sebagai salah satu unsur pokok dalam membangun rumah tinggal. Kondisi seperti ini juga berdampak pada semakin tingginya kesenjangan supply dan demand kayu sehingga kebutuhan kayu selain dipenuhi dari kayu-kayu legal juga harus dipenuhi dari kayu hasil aktivitas illegal logging.
Lemahnya penegakkan supremasi hukum juga berpengaruh terhadap semakin meningkatnya aktivitas illegal logging. Upaya penegakkan hukum biasanya terhambat dengan berbagai alasan seperti BAP tidak lengkap, tidak cukup bukti, tidak ada saksi yang menguatkan dan sebagainya sehingga proses hukum tidak dapat dilanjutkan, meskipun semua pihak mengetahui bahwa fakta di lapangan memang terjadi illegal logging baik yang dilakukan oleh perorangan, perusahan skala kecil maupun perusahaan skala besar.
Upaya penegakkan hukum juga belum sepenuhnya menyentuh seluruh pihak yang terlibat dalam illegal logging. Biasanya hanya pelaku di lapangan yang seperti penebang kayu atau sopir truk, yang sering tertangkap dan diproses hukum. Sementara itu sang cukong pemilik modal masih banyak yang belum tersentuh hukum. Bahkan karena kepiawaiannya cukong dapat melepaskan pelaku di lapangan untuk tidak diproses hukum. Lemahnya proses penegakkan hukum disinyalir karena ada oknum aparat penegak hukum ada yang bermain, baik langsung maupun tidak langsung. Misalnya terlibat suap, ikut menggerakkan dan memberi modal kepada masyarakat, menjadi backing dan pengawalan aparat serta menggeser isu-isu kejahatan pidana kehutanan menjadi isu sosial dan politik untuk pembenaran. Juga penyalahgunaan wewenang yang diantaranya meliputi kolusi dalam penerbitan izin penebangan dan pengangkutan, pelanggaran izin, manipulasi penggunaan peralatan, penyalahgunaan dokumen, penyelundupan dan sebagainya.
Beberapa kasus illegal logging yang memang sudah diproses secara hukum, tetapi sanksi yang dikenakan tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan akibat illegal logging. Sanksi seperti ini tidak memberikan efek jera bagi pihak-pihak yang terlibat dalam illegal logging. Diskriminasi dalam penegakkan hukum juga menimbulkan memicu kecemburuan masyarakat lokal sehingga mereka semakin berani melakukan aktivitas illegal logging. Syukurlah dalam beberapa waktu terakhir cukong-cukong illegal logging mulai diburu meskipun sampai saat ini masih banyak yang belum tertangkap dan diadili.
Pada hakekatnya illegal logging tidak sekedar tindakan kriminal biasa tetapi merupakan kejahatan lingkungan yang luar biasa merugikan. Bila berlangsung secara terus menerus bukan hanya negara yang dirugikan dari segi penerimaan pendapatan negara tetapi juga berupa kerusakan lingkungan yang tidak ternilai dengan rupiah. Dampak illegal logging akan dirasakan oleh masyarakat secara luas karena kerusakan kawasan hutan yang berdampak pada menurunnya fungsi-fungsi ekonomi dan konservasi. Lantas bagaimana solusinya ?
Pertama, model pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang selama ini masih menjadi wacana harus selekasnya direalisasikan, sehingga masyarakat merasa untuk ikut memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian hutan yang ada di sekitarnya. Dengan demikian akses masyarakat terhadap hutan tidak tertutup sama sekali ditopang oleh regulasi yang berjalan secara legal. Pemanfaatan hutan tidak hanya menguntungkan pemerintah dan swasta saja, tetapi juga harus menguntungkan masyarakat, khususnya dalam meningkatkan status sosial ekonominya sehingga tidak ada istilah masyarakat marginal mereka. Dengan demikian masyarakat akan merasa memiliki dan terciptalah pengamanan hutan berbasis masyarakat.
Kedua, pengembangan produk dan peningkatan rendemen kayu olahan di industri agar bahan baku kayu dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Pemanfaatan limbah kayu di hilir dan hulu pada prinsipnya adalah untuk meminimalkan kayu yang terbuang sehingga kesenjangan supply demand kayu untuk industri dapat dikurangi. Disamping itu untuk menambah kemampuan supply bahan baku, program hutan tanaman yang dilakukan oleh masyarakat, swasta, masyarakat atau merupakan sinergi antara ketiganya harus benar-benar dilaksanakan, tidak sekedar sebagai sarana guna mendapatkan dana segar. Impor kayu juga tidak ada salahnya diperluas karena selama ini impor kayu memang telah berlangsung dalam skala terbatas.
Ketiga, pola kemitraan dalam upaya penanggulangan illegal logging perlu ditingkatkan sehingga masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan tidak menjadi semakin terasing dan tertekan dari lingkungannya sendiri. Pada hakekatnya masyarakat adalah merupakan komponen yang juga harus diperhatikan dalam pengelolaan sumber daya hutan, karena masyarakat sesungguhnya merupakan bagian dari ekosistem hutan.
Keempat, dalam penegakkan hukum diperlukan peningkatan kualitas mental aparat dan penegak hukum dengan menegakkan perilaku disiplin yang disertai sistem kontrol yang ketat baik oleh pemerintah sendiri, masyarakat maupun pihak swasta sehingga tidak ada diskriminasi hukum. Dalam hal ini perlu diberikan sanksi bagi yang pelaku illegal logging Sebaliknya perlu juga diberikan penghargaan kepada pihak-pihak yang berupaya mendorong upaya membersihkan pengelolaan hutan dari aktivitas illegal logging.***
2 komentar:
Mas, Hubungannya apa bakpiajogja dengan illegal logging? :-)
BAKPIAJOGJA = mencoBA menuangKan Pemikiran, Idealisme, Angan-angan, geJOlak dan Gelora JiwA
Posting Komentar