Advertising

Kamis, 12 Februari 2009

IRONI OPSPEK

Ironi OPSPEK

Kegembiraan orang tua salah seorang mahasiswa setelah anaknya diterima di dan menjalani kulaih di salah satu universitas negeri terkemuka di Bandung mendadak sirna, berubah menjadi rasa duka dan kesedihan yang tak pernah terbayangkan. Betapa tidak karena putra kesayangan mereka ketika “terpaksa” mengikuti program pengenalan kampus, harus rela menyabung nyawa. Berbagai usaha untuk menyelamatkan jiwanya tak mampu menolongnya. Mahasiswa Jurusan Fakultas Teknik Geodesi dan Geomatika, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan itu pun meninggal dunia. Berbagai dugaan pun merebak, diantaranya adalah karena fisik si mahasiswa memang tidak mendukung untuk mengikuti kegiatan tersebut.

Lagi-lagi kita harus menyaksikan, kegiatan yang seharusnya bernuansa akademik telah harus berakhir tragis dengan kematian pesertanya. Seperti diketahui, Rektor ITB, Djoko Santoso, telah mencopot Ketua Program Studi Geodesi dan Geomatika, Wedyanto Kuntjoro, menyusul meninggalnya mahasiswa Geodesi, Dwiyanto Wisnu Nugroho saat mengikuti orientasi studi pada akhir pekan lalu (Tempo Interaktif, 11 Pebruari 2009). Meskipun salah satu petinggi di Fakultas Teknis Geodesi telah dicopot tetapi tentu saja ini tidak cukup menyelesaiakan masalah dan mengobati kegeraman orang tua mahasiswa yang menjadi korban.


Kita patut mempertanyakan apa sih sebenarnya ide-ide atau kemauan yang ada pikiran mahasiswa dan mungkin juga sebagian dosen yang menjadi panitia program pengenalan kampus, apapun kemasan dan tema kegiatannya. Para mahasiswa baru berbagai perguruan tinggi baik swasta maupun di negeri termasuk di Kalimantan Selatan masih menggunakan cara-cara “klasik”, aneh dengan macam-macam ketentuan dan atribut yang dibuat Panitia “ospek” di kampusnya. Beberapa atribut aneh yang diwajibkan panitia memang bisa dibeli di depan kampus sehari sebelumnya. Misalnya, bagi mahasiswa perempuan, rambutnya harus dikucir menjadi enambelas dan dipasang pita-pita dengan warna berbeda, atau pakai kaos kaki yang berbeda kiri dan kanan, Mereka juga harus memakai tas dari karung gandum, mencari perangko gambar monyet, membuat surat cinta dan lain sebagainya. Tak heran ada anak kecil atau masyarakat yang nyeletuk, mahasiswa sekarang kok seperti orang gila ya, ….

Kita patut juga mempertanyakan, tahun 1988 lalu mahasiswa mendapat gelar pioneer reformasi. Namun ternyata sebagian dari mereka justru kembali ke era lalu, memberangus reformasi yang tercermin pada perilaku dan cara berpikir mereka sendiri. Mereka dapat dianggap belum berhasil memposisikan diri di lingkungan masyarakat kampus yang diklaim sebagai sesuatu yang intelek, obyektif, menuntut sebuah kerja keras, kejujuran, rendah-hati, dan selalu mengedepankan etika dan dedikasi tinggi. Ternyata sebagian mereka gagal menghargai dan menghormati hak-hak dasar yang seharusnya mutlak dimiliki para mahasiswa baru.

Saya berpendapat bahwa mahasiswa senior tidak memiliki hak apapun untuk mengatur apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh yuniornya. Kalaupun mereka bertugas dalam panitia penyambutan mahasiswa baru, seharusnya yang dilakukan adalah sebuah upaya membimbing, mengarahkan dan memfasilitasi, agar yuniornya mampu beradaptasi dengan dunia baru, siap memasuki dunia mahasiswa. Karena memaksa mereka “berdisiplin” mereka dalam waktu satu minggu tidaklah cukup. Adalah sebuah ironi kalau mahasiswa senior kemudian berniat mengajarkan nilai-nilai demokrasi tetapi melalui cara-cara yang anarkis dan tidak demokratis, mengenalkan kepekaan sosial tetapi melalui tindakan kekerasan, penghinaan yang justru tidak rasional. Bisa jadi demo anarkisme dan kebrutalan yang terjadi akhir-akhir ini salah satunya adalah buah kegagalan dari kegiatan orientasi pengenalan kampus.

Memang tidak semua perguruan tinggi menggelar ritual yang aneh-aneh dalam menyambut masuknya mahasiswa baru. Ternyata masih banyak perguruan tinggi berhati nurani dengan merancang dan mendisain berbagai program yang memotivasi dan memfasilitasi mahasiswa baru agar menjadi manusia berkadar intelektual, religius, semangat kerakyatan, demokratis, kritis, inovatif, humanis, dan partisipatif melalui kegiatan-kegiatan yang dalam bahasa mereka anti militerisme dan nir kekerasan. Penyambutan mahasiswa baru didisain secara matang untuk memuluskan transisi dari seorang siswa SMA menjadi seorang mahasiswa sebuah perguruan tinggi, sehingga kemahasiswaannya benar-benar optimal. Hal inilah yang tentu saja diinginkan oleh semua orang tua.

Sebagai bahan masukan barangkali adalah mengenalkan mahasiswa baru pada prinsip-prinsip belajar di tingkat universitas yang agak berbeda dengan belajar di SMA, yang menuntut kemandirian, keuletan, dan kerja keras. Daripada mengajari mereka dengan sesuatu yang kadang tidak rasional seperti memakai kaos kaki tidak sama kiri dan kanan (karena bukan pasangannya), menguncir rambut dengan pita berwarna-warni, membuat surat cinta atau bahkan tidak membolehkan mengenakan jilbab, mengapa tidak mengajak mereka dengan kegiatan mencintai lingkungan, kegiatan kerohanian, mengunjungi fasilitas pendukung belajar di perguruan tinggi, perpustakaan, laboratorium, lingkungan hunian sementara mahasiswa, dan sebagainya ? Bisa jadi hal-hal seperti ini kan lebih bermanfaat.

1 komentar:

Citra Amongraga mengatakan...

Kenapa seh pada saat OPSPEK mahasiswa baru mesti pake atribut yang aneh-aneh ?