Advertising

Kamis, 20 November 2008

MEWIRAUSAHAKAN BIROKRASI

Mewirausahakan Birokrasi

Gerakan reformasi yang digulirkan mahasiswa bertujuan untuk menata ulang kehidupan berbangsa dan bernegara. Gerakan reformasi diharapkan menjadi jalan bagi penyelesaian permasalahan bangsa yang dihadapi dan menjadi harapan bagi masyarakat sebagai momentum untuk menemukan cara baru dalam mendesain jalannya roda pemerintahan, baik yang menyangkut dimensi kehidupan politik, sosial, ekonomi maupun kultural. Gerakan ini menuntut perubahan struktur, kultur dan paradigma penyelenggaraan pemerintahan terutama pada birokrasinya yang sedikit banyak juga mempunyai kontribusi pada saat terjadinya krisis multidimensional.

Pemerintahan reformasi yang ada selama ini dinilai masih kurang responsif dan tidak peka terhadap tuntutan perubahan, aspirasi dan dinamika yang terjadi di masyarakat. Pemerintahah masih belum mampu mengantarkan bangsa keluar dari himpitin krisis serta belum mampu menghasilkan perbaikan kehidupan yang berarti. Perebutan kekuasaan antar elit politik lebih mewarnai jalannya reformasi daripada tindakan nyata kearah perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara. Tingkat kepercayaan rakyat terhadap integritas pemerintahan sering dipertanyakan dengan banyaknya bentuk luapan ekspresi ketidakpuasan rakyat seperti main hakim sendiri, demonstrasi, protes, kecaman, caci maki terhadap birokasi publik dan sebagainya. Pemerintah dengan birokrasinya yang diharapkan menjadi jalan pemecahan masalah tetapi malah menjadi sumber masalah dari permasalahan yang dihadapi bangsa.

Senin, 06 Oktober 2008

BELAJAR DARI GORONTALO

Belajar Dari Gorontalo

Beberapa waktu lalu penulis bersama-sama para Widyaiswara Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, mendapatkan kesempatan yang sangat berharga untuk mengunjungi Provinsi Gorontalo. Selama ini Provinsi Gorontalo dinilai berhasil melaksanakan otonomi daerah dan layak menjadi referensi bagi pemerintah daerah yang lain. Tulisan ini banyak diilhami oleh kesempatan berkunjung ke Provinsi Gorontalo tersebut.

Salah satu diantaranya adalah pertemuan singkat dengan Fadel Muhammad ketika sempat menemui kami di loby Quality Hotel di Gorontalo sela-sela kesibukannya yang cukup luar biasa. Budaya Gorontalo yang menghargai orang ternyata tercermin pada sosok Fadel yang begitu bersahaja, dengan mudah menemui, menyapa dan menengok orang-orang yang memerlukannya dengan akrab. Dan ternyata hal ini menginspirasi para pembantu Gubernur mulai dari Sekretaris, Asisten, Kepala Biro dan lain-lainnya untuk melakukan hal yang sama. Secara tidak sadar rupanya Fadel telah melakukan mindsetting para birokrat di Gorontalo untuk menuju keberhasilan pemerintahan daerah.

Selasa, 30 September 2008

REFLEKSI 63 TAHUN INDONESIA MERDEKA

REFLEKSI 63 TAHUN INDONESIA MERDEKA

Tak terasa 63 tahun sudah Indonesia merdeka. Ketika itu merdeka dimaknai sebagai bebas dari belenggu penjajahan, baik dari oleh Jepang sang “Saudara Tua”, Belanda, Inggris maupun para pendahulunya yang lain. Ketika itu pula merdeka berarti dapat menentukan jalan hidup dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak tergantung pada bangsa lain. Merdeka berarti dapat mengenyam bangku sekolah, yang ketika itu hanya dapat dinikmati kalangan Eropa dan kalangan bangsawan saja yang dapat sekolah. Merdeka berarti taraf hidup menjadi lebih baik, tidak terbelit oleh kemiskinan, keterbelakangan, dan kebodohan. Singkat cerita, merdeka dimaknai sebagai kehidupan yang lebih baik.

Beberapa waktu setelah kemerdekaan dikumandangkan, Bung Karno Sang Proklamator kembali mengingatkan bahwa revolusi ini belumlah usai. Ternayata kita belum merdeka sepenuhnya. Masih ada bentuk-bentuk penjajahan yang ternyata membelenggu kita. Wujudnya memang berbeda dengan penjajahan model kolonial. Negeri ini masih dibayang-bayangi oleh penjajajahan model baru yaitu penjajajahan ekonomi juga penjajahan budaya.

Senin, 22 September 2008

MENGGAGAS DIKLAT MASA DEPAN

Menggagas Diklat Masa Depan

Faktor sumber daya manusia merupakan central figure dalam kegiatan dalam pemerintahan karena sumber daya manusia adalah merupakan pelaku manajemen dalam sebuah mekanisme kegiatan. Dalam pencapaian efektivitas dan efesiensi kerja, sumber daya manusia sebagai pelaksana mensyaratkan dimilikinya kualitas mental yang baik yang dilengkapi dengan kemampuan tinggi di bidang teknis dan manajerial yang biasa disebut kompetensi. Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya untuk menjalankan manajemen pemerintahan dituntut memiliki kompetensi. PNS dalam prakteknya belum semua memiliki kompetensi tersebut, sehingga jika hal tersebut tidak segera dipenuhi kompetensinya dapat mengganggu jalannya manajemen pemerintahan. Pengisian kompetensi tersebut salah satu caranya ditempuh melalui pendidikan dan pelatihan.

Peningkatan kualitas sumber daya aparatur juga merupakan salah satu syarat dapat terwujudnya good governance yang dalam pencapaiannya dilaksanakan dengan peningkatan profesionalisme aparatur. Perwujudan profesionalitas aparatur tersebut memerlukan pendidikan dan pelatihan aparatur yang memiliki kelembagaan mandiri, berperan dan memiliki tugas, pokok dan fungsi sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan, serta terakreditasi oleh lembaga yang berwenang. Dinamika penyelenggaraan pemerintahan dan peningkatan volume kegiatan pemerintahan serta tuntutan terhadap penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan yang lebih profesional, mengharuskan dibentuknya Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan mengemban salah satu amanah dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004 yang dalam pelaksanaannya masih mengacu pada PP No. 25 Tahun 2000. Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dibentuk dengan Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan No. 8 Tahun 2000, yang cikal bakalnya sebenarnya memang sudah ada sebelumnya. Tugas pokok, fungsi dan tata kerja unsur Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan sebagaimana diatur dengan Keputusan Gubernur Kalimantan Selatan Nomor 049 Tahun 2001.

Sesuai dengan tugas pokok dan fungsinya, Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan memiliki tanggung jawab untuk membina, mengembangkan dan mengkoordinasikan serta menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan aparatur di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten /Kota se-Kalimantan Selatan. Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki tugas pokok dan fungsi sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan aparatur. Tugas pokok dan fungsi seperti tersebut tidak dimiliki oleh instansi lainnya. Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan secara de jure memiliki kewenangan penuh menyelenggarakan semua jenis kediklatan bagi aparatur di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dan Kabupaten/Kota se-Kalimantan Selatan.

Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan mempunyai tugas membantu Kepala Daerah dalam menyusun program sekaligus melaksanakan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur dengan berpedoman pada kebijakan yang ditetapkan pemerintah sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Penyelenggaraan tugas tersebut dilakukan oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan yang mempunyai fungsi : perumusan bahan kebijakan, analisa kebutuhan pendidikan dan pelatihan, perumusan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pembinaan pelaksanaan pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan pengajaran dan pelatihan, pembinaan tenaga pengajar serta pendidikan dan pelatihan, pelaksanaan evaluasi dan pemberian rekomendasi hasil pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan karier, dan pengelolaan urusan kesekretariatan.

Tugas pokok dan fungsi Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan tersebut di atas mendasari ditetapkannya visi organisasi yaitu : “TERWUJUDNYA LEMBAGA PENDIDIKAN DAN PELATIHAN YANG MENGHASILKAN APARATUR CERDAS, KOMPETEN DAN BERKARAKTER TERPUJI”. Rumusan visi ini menggambarkan kondisi ke depan yang diinginkan berisikan cita-cita untuk mewujudkan Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan sebagai lembaga pendidikan dan pelatihan daerah yang dapat melaksanakan kegiatan-kegiatan pendidikan dan pelatihan yang efektif dan profesional menuju terwujudnya sumber daya aparatur yang unggul, dengan kualitas pendidikan dan pelayanan terbaik.

Perjalanan sejarah Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan yang diawali sejak tahun 1973 yang ketika itu masih bernama SELAPUTDA sampai sekarang, keberadaan Badan Pendidikan dan Pelatihan Provinsi Kalimantan Selatan merupakan salah satu perangkat Daerah yang vital. Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan sampai saat ini belum ditunjang oleh sarana dan prasarana pendidikan dan pelatihan yang representatif, meskipun dalam perjalanannya telah mengalami perbaikan fisik beberapa kali sehingga tidak semua jenis pendidikan dan pelatihan aparaur yang diselenggarakan dilaksanakan menggunakan sarana dan prasarana Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.

Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan menjadi tidak optimal, tidak terkoordinasi dengan baik dan menjadi hambatan tersendiri bagi pelaksanaan pendidikan dan pelatihan pada umumnya. Keterbatasan sarana dan prasarana Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan menjadi salah satu alasan berbagai instansi teknis untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sendiri dengan mengacu pada instansi vertikal terkait. Keinginan untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan satu pintu akhirnya tidak dapat dilaksanakan.

Keterbatasan yang ada pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan tidak menghalangi keberhasilan dalam melaksanakan berbagai jenis pendidikan dan pelatihan yang terbagi menjadi rumpun pendidikan dan pelatihan struktural, teknis, fungsional dan manajemen pemerintahan. Berbagai jenis pendidikan dan pelatihan yang telah diselenggarakan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, Diklat Fungsional. Kegiatan ini dimaksudkan untuk meningkatkan kemampuan para pejabat fungsional dalam melaksanakan tugasnya secara professional dan dapat menjadi persyaratan bagi PNS yang akan dan telah menduduki jabatan fungsional.

Kedua, Diklat Struktural. Kegiatan ini bertujuan untuk mengisi kompetensi dasar dalam rangka pembentukan wawasan, sikap dan kepribadian CPNS serta merupakan salah satu syarat bagi CPNS untuk diangkat menjadi PNS dan untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan para pejabat struktura. Target group Diklat Struktural adalah pejabat atau calon pejabat struktural berdasarkan strata manajemen yang dipangkunya.

Ketiga, Diklat Teknis. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan teknis penyelengaraan kegiatan dalam mengelola urusan pemerinthan yang bersifat teknis, baik teknis administratif maupun teknis substantif. Diklat Teknis dikembangkan berdasarkan kebutuhan masing-masing daerah otonom.

Keempat, Diklat Manajemen Pemerintahan. Kegiatan ini bertujuan membentuk kemampuan mengelola kegiatan dan urusan pemeritahan bagi para pejabat eksekutif, pejabat negara dan unsur legislatif. Termasuk dalam rumpun ini antara lain adalah pembentukan kader pemerintahan melalui IPDN/IIP serta kerjasama dengan Perguruan Tinggi Negeri dalam hal tugas belajar dan ijin belajar.

Sejalan kebijakan umum dan program pembangunan daerah di bidang hukum dan pemerintahan, penyelenggaraan diklat aparatur mengarah pada upaya peningkatan kompetensi sumber daya aparatur dalam mengemban tugas dan tanggung jawab. Untuk mewujudkan upaya tersebut Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan juga terus mengembangkan sistem dan kualitas penyelenggaraan diklat guna menghasilkan aparatur yang berkualitas. Kompetensi diklat secara umum mencakup 3 (tiga) ranah dasar, yaitu ranah kognitif (pengetahuan), ranah afektif (sikap dan perilaku) dan ranah psikomotorik (keterampilan).

Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan tidak hanya fokus pada penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan bagi aparatur, tetapi juga mempunyai komitmen untuk tetap mempertahankan dan memegang sertifikasi akreditasi Kegiatan Diklat Kepemimpinan Tingkat IV dan Tingkat III, Diklat Prajabatan Golongan I, II, dan III serta bertekad meraih akreditasi berbagai jenis Diklat Teknis, Diklat Manajemen Pemerintahan dan Diklat Fungsional. Hal ini akan dicapai melalui pengembangan jenis-pendidikan dan pelatihan tersebut pada tahun yang akan datang sehingga kegiatan pendidikan dan pelatihan tidak hanya didominasi salah satu rumpun diklat saja.

Penyusunan Masterplan Kampus Terpadu Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah di Gunung Kupang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan terselenggaranya kegiatan pendidikan dan pelatihan yang ideal dan didasari oleh ide mempersiapkan kampus pendidikan dan pelatihan satu pintu yang akan menjadi kampus pendidikan dan pelatihan masa depan. Penyusunan Masterplan telah diselesaikan pada tahun 2007.

Pembangunan kampus tersebut akan menempati areal seluas kurang lebih 20 ha. Kampus Terpadu Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan dirancang dengan arsitektur yang berwawasan lingkungan. Prinsip-prinsip yang selalu dipegang dalam hal ini adalah mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada serta tidak merusak ekosistem yang sudah ada, penggunaan energi yang minimal (bahan, cara bangun, rancangan arsitektur), adanya pengendalian limbah dan pencemaran, menjaga kelestarian sistim sosial budaya lokal dan peningkatan pemahaman konsep lingkungan.

Sarana prasarana Kampus Terpadu Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan di Gunung Kupang yang representatif, memiliki peran strategis bagi Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan dalam menerapkan kebijakan pendidikan dan pelatihan aparatur satu pintu. Kegiatan pendidikan dan pelatihan aparatur yang selama ini dilaksanakan oleh instansi teknis atau yang menggunakan sarana prasarana di luar Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan tidak perlu terjadi lagi. Sarana prasarana yang representatif ini dapat digunakan dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan aparatur maupun non-aparatur seperti pengembangan organisasi masyarakat, perekonomian masyarakat, organisasi pemuda, diklat untuk legislatif, dan lain-lain.

Keberadaan Kampus Terpadu Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan dapat membuka peluang untuk kalangan umum dalam rangka menuju dan mewujudkan kemandirian Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Kampus pendidikan dan pelatihan yang baru ini didisain memiliki berbagai fasilitas yang memenuhi persyaratan profesional, sehingga dapat digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang bersifat masal (seminar, rapat akbar, resepsi pernikahan, konsolidasi massa dan lain-lain) atau kegiatan-kegiatan yang bersifat rekreatif partisipatif pada area di luar ruangan (outbond, camping ground dan lain-lain). Pengelolaan fasilitas Kampus Terpadu Badan Pendidikan dan Pelatihan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan secara profesional dapat memberikan income yang dapat dipergunakan untuk membiayai kegiatan pendidikan dan pelatihan itu sendiri dan memberikan kontribusi terhadap PAD Provinsi Kalimantan Selatan. ■

Jumat, 05 September 2008

KAPAN KRISIS BAHAN BAKAR MINYAK DAN GAS BERAKHIR ?

Krisis Bahan Bakar Minyak dan Gas Berakhir Kapan Berakhir ?


Beberapa waktu terakhir kita sering disuguhi tentang fenomena kelangkaan bahan baker minyak dan gas yang melanda Kalimantan Selatan. Sudah bukan barang baru lagi ketika kita menyaksikan deretan kendaraan roda dua dan roda empat antri sampai ratusan meter, bahkan kadang-kadang sampai kiloan meter di berbagai stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU). Tidak jarang ketika SPBU belum dibuka antrean sudah mulai kelihatan. Antrean ternyata juga terjadi di berbagai minyak tanah dan juga distributor gas. Sungguh ironis negeri yang konon kabarnya sebagai eksportir bahan bakar minyak dan gas ternyata mengalami kelangkaan barang tersebut. Tak heran jika barang tersebut harganya menjadi semakin melambung, belum ada kenaikan daya beli masyarakat yang signifikan.

Selasa, 02 September 2008

PILKADAL ANTARA HARAPAN DAN REALITAS


Pilkadal Antara Harapan dan Realitas

Sudah tidak asing lagi bagi kita ketika kita menyaksikan tayangan iklan para calon kepala daerah di media cetak dan elektronik. Mereka mencoba menarik simpati dan perhatian masyarakat dengan program-program unggulan yang diharapkan akan terealisasi ketika sang calon terpilih. Ini hanya salah satu dari sekian banyak efek diberlakukannya UU No. 32 Tahun 2004 yang mewajibkan Pilkada Langsung (Pilkadal) dalam pemilihan kepala daerah. Sampai saat ini Pilkadal telah dilaksanakan silih berganti dari tahun ke tahun di hampir seluruh wilayah Indonesia baik di level provinsi maupun kabupaten/kota.

Substansi pemilihan kepala daerah telah mengalami perubahan yang cukup mendasar yaitu telah berubah ke arah yang lebih demokratis. Sejak diundangkannya UU No. 32 Tahun 2004 yang lalu pemilihan kepala daerah langsung mulai digelar di berbagai daerah. Negeri ini kemudian menggelar hajatan akbar yang berupa pemilihan kepala daerah secara langsung baik di tingkat provinsi maupun tingakt kabupaten/kota pasca perubahan undang-undang pemerintahan daerah tersebut.

Sabtu, 09 Agustus 2008

TEROR ASAP KAPANKAH BERAKHIR ?

“Teror Asap”, Kapankah Berakhir?

Tidak seperti biasanya memasuki bulan Agustus, tahun ini Kalimantan Selatan dan Kalimantan pada umumnya, tidak disebut-sebut sebagai penghasil asap akibat kebakaran hutan dan lahan. Ya, tahun ini memang sangat menguntungkan karena di wilayah ini cuaca di musim kemarau yang tidak terlalu kering. Bahkan curah hujan di musim kemarau masih lumayan banyak sehingga asap yang timbul akibat kebakaran hutan dan lahan tidak sempat terakumulasi dalam jumlah besar seperti tahun-tahun terdahulu. Berbeda dengan beberapa wilayah di Sumatera yang saat ini dilanda kebakaran hutan dan lahan yang cukup hebat. Sebut saja di sebagian wilayah ini seperti di Riau, Sumatera Selatan, dan Jambi yang dampaknya cukup dirasakan di tingkat lokal. Tidak menutup kemungkinan apabila hal ini berlanjut maka seperti biasanya Negara tetangga akan berteriak karena mendapat asap kiriman dari Indonesia. Masalah klasik ini hampir dapat dipastikan muncul ketika musim kemarau. Kebakaran hutan dan lahan juga melanda sebagian kawasa hutan jati yang dikelola oleh Perum Perhutani di Jawa.

Jumat, 18 Juli 2008

MENYELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA

MENYELAMATKAN HUTAN YANG TERSISA
Refleksi Menyambut Hari Bhakti Dephut)

Sementara itu analisis World Bank, setelah hutan alam di Sumatera, hutan alam di Kalimantan akan habis pada 2010.

Proses berlangsungnya kehidupan manusia sangat bergantung pada bumi dengan berbagai sumberdaya yang dimilikinya baik hayati maupun nonhayati, yang ada di permukaan maupun terkandung di dalamnya. Bumi, ditakdirkan Nya untuk menyediakan syarat bagi berlangsungnya kehidupan manusia.

Meskipun ilmu dan teknologi berkembang pesat, begitu juga dengan berbagai eksperimen dan rekayasa teknologi yang memberikan sinyal bahwa manusia bisa hidup di planet lain, tetapi bumi tetap menjadi tempat hidup paling ideal bagi manusia. Oleh itu karena itu, memanfaatkan sumberdaya yang ada di bumi dalam mendukung berlangsungnya kehidupan harus hati-hati, agar bumi tetap menjadi tempat hidup yang ideal bagi manusia.

Senin, 14 Juli 2008

MENGGUGAT NETRALITAS BIROKRASI

MENGGUGAT NETRALITAS BIROKRASI


”Suhu Politik Memanas, SKPD Jangan Terlena”. Inilah salah satu judul berita pada koran ini yang mengilustrasikan betapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) sedikit banyak akan mempengaruhi perilaku dan kinerja birokrasi dalam menjalankan roda pemerintahan dan pembangunan. Kekhawatiran sejumlah anggota dewan terhadap kemungkinan keterlenaan SKPD ini mendapat perhatian serius sampai-sampai Ahmad Fikry (Sekda Kabupaten Hulu Sungai Selatan) siap memberikan tindakan tegas terhadap SKPD yang terlena. Melalui koran ini juga diingatkan : ”PNS harus netral, jangan terlibat politik praktis”. (Radar Banjarmasin, 23 Oktober 2007).

Meskipun Pilkada di Kabupaten/Kota di Kalimantan Selatan masih akan digelar dalam hitungan bulan, para petinggi dan pengurus Parpol baik di level provinsi maupun kabupaten/kota juga disibukkan dengan mempersiapkan kandidiat yang akan diusungnya. Mereka mulai mengelus-elus sosok yang dipersiapkan diusung maju dalam pesta demokrasi tersebut, membuka pendaftaran bagi sang calon, dan unjuk gigi untuk mencari simpati dari masyarakat luas. Hal ini tentu saja akan semakin menghangatkan suhu politik menyongsong datangnya Pilkada.

Pilkada yang digelar saat ini adalah sesuai yang diamanatkan oleh UU No. 32 Tahun 2004 yang berbeda dengan Pilkada sebelumnya. Sesuai UU terbaru yang mengatur tentang Pemerintahan Daerah tersebut Pilkada diselenggarakan secara langsung. Artinya masyarakat luas berhak memilih siapa calon yang dikehendakinya secara langsung, bukan melalui proses dropping dari pusat atau pilihan para anggota dewan. Disatu sisi Pilkada secara langsung ini merupakan salah satu tolok ulur keberhasilan pemerintah dalam mengembangkan dinamika kehidupan berdemokrasi dan berpolitik di daerah. Di sisi lain Pilkada ”era baru” juga menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak, khususnya terkait dengan netralitas birokrasi.

Menurut Heady dan Wallis sebagaimana dikutip oleh Kartasasmita (1997), birokrasi pemerintahan di negara berkembang memiliki beberapa kelemahan. Salah satu diantaranya adalah aspek non birokratik sangat berpengaruh terhadap birokrasi. Misalnya hubungan primordial, golongan atau keterkaitan politik. Hubungan seperti ini sangat mempersulit birokrasi pemerintahan untuk berlaku obyektif dan rasional dalam koridor aturan dan hukum yang berlaku. Bahkan orientasi birokrasi yang seharusnya untuk kepentingan negara dan masyarakat luas, dapat diganti menjadi kepentingan kelompoknya.

Idealnya dalam menjalankan tugas sebagai sosok aparatur negara dan pelayan publik, birokrasi harus bebas dari berbagai pengaruh eksternal dari partai politik atau pejabat politik dari partai manapun baik yang sedang berkuasa ataupun tidak berkuasa. Dengan netralitas birokrasi, diharapkan akan tetap terjaga kuantitas dan kualitas pelayanan yang diberikan kepada tanpa diskriminasi. Netralitas birokrasi ini telah ditegaskan dalam UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Bahkan sebagai langkah progresif terhadap produk hukum tersebut Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara melalui surat edarannya No. SE/04/M.PAN/03/2004 ”mengancam” akan memberikan sanksi bagi PNS yang terlibat dalam kampanye mendukung partai politik atau calon pejabat politik tertentu. Mampukah birokrasi menjaga netralitasnya ? Atau justru birokrasi ikut terbawa dahsyatnya arus politik di tingkat lokal dan dimanfaatkan sebagai tunggangan politik calon kepala daerah ?

Pilkada diselenggarakan oleh KPUD. Meskipun KPUD bertanggung jawab kepada DPRD yang tidak lain merupakan wakil rakyat di daerah, tetap saja tidak dapat menjamin tidak akan adanya pemanfaatan struktur birokrasi untuk memuluskan kepentingan calon kepala daerah tertentu dalam Pilkada. Setiap calon kepala daerah tetap memiliki peluang yang cukup besar untuk melakukan hal tersebut. Dalam banyak kasus di Indonesia kecenderungan ini acap kali dilakukan oleh calon yang kebetulan masih menduduki jabatan di jajaran birokrasi menjelang dilaksanakannya pilkada langsung.

Begitu sulitnya mempertahankan netralitas birokrasi bukan tanpa sebab. Diantaranya adalah karena terbukanya akses yang cukup luas bagi kader partai politik untuk dapat menduduki jabatan publik. Sayangnya kondisi ini tidak diiringi dengan peraturan yang tegas dan mengikat yang dapat menjamin yang bersangkutan netral terhadap kekuatan politik yang ada. Bahkan pada saat ini begitu menggejala pejabat publik yang sekaligus menjadi pengurus di parpol tertentu.

Kekhawatiran terhadap pemanfaatan jejaring birokrasi untuk mendukung pemenangan salah satu calon memang bukan tanpa alasan. Kalau dikaji lebih jauh ternyata sebagian besar kepala daerah yang masih aktif atau baru menjalani periode pertama sebagai kepala daerah, sebagian besar akan kembali mencalonkan diri lagi dan siap bersaing dengan calon lawan-lawannya dalam Pilkada yang akan datang. Artinya peluang bagi mereka untuk memanfaatkan jaringan dan struktur birokrasi untuk pemenangan dirinya semakin terbuka lebar.

Memanfaatkan struktur birokrasi untuk kepentingan pemenangan calon yang didukung dalam Pilkada dapat dilakukan oleh calon yang berasal kepala daerah atau calon lain yang berasal dari kalangan birokrasi. Kesempatan ini dapat juga dilakukan oleh para calon yang berasal dari kalangan non birokrasi. Yang dimaksud dalam hal ini adalah para calon yang memiliki akses kuat terhadap para aktor penting dalam struktur birokrasi. Calon kepala daerah yang saat ini masih aktif dalam jabatannya, memiliki peluang mengintervensi birokrasi semakin terbuka dan kemudian memanfaatkannya sebagai sarana untuk menggalang dukungan. Pola-pola yang dapat dilaksanakan antara lain adalah sebagai berikut.

Pertama, menggunakan sarana dan agenda kerja birokrasi secara terselubung untuk makin mempopulerkan diri dan melakukan kampanye dini. Contoh pola klasik ini misalnya, seorang kepala daerah tiba-tiba sangat intensif mendatangi masyarakat hanya untuk sebuah acara yang sebenarnya tidak berhubungan secara langsung dengan kegiatan kepemerintahan atau kedinasan. Acara-acara seperti peringatan keagamaan ataupun kegiatan tradisi lokal yang selama ini sedikit terabaikan oleh kepala daerah, tiba-tiba menjadi menjadi mengemuka dan menjadi agenda resmi.

Kedua, jalur birokrasi digunakan untuk memobilisasi dukungan melalui aktor-aktor birokrasi di tingkat lokal. Untuk tingkat kabupaten misalnya, para petinggi di tingkat kecamatan atau kelurahan mendapatkan beban ganda. Disamping tugas rutinnya sehari-hari mereka juga mendapatkan tugas tambahan untuk dekat kepada masyarakat tentu saja dengan membawa misi terpilihnya calon tertentu. Aparatur birokrasi pemerintahan yang tidak menduduki jabatan struktural juga sering dibebani tanggung jawab non formal untuk memaksimalkan dukungan masyarakat melalui mata rantai birokrasi.

Pemanfaatan birokrasi untuk kepentingan penguasa memang sesuatu hal yang tak terhindarkan dan bukanlah sesuatu hal yang baru. Era orde baru adalah era yang sering menjadikan birokrasi sebagai mesin politik dan kepanjangan tangan suara politik dari atas yang agak dipaksakan. Kuatnya budaya patron client yang sudah melembaga dalam birokrasi Indonesia, dimana dalam budaya pimpinan ditempatkan sebagai bapak dan para staf sebagai anak buah baik dalam urusan kedinasan maupun non kedinasan. Hal ini biasanya seringkali diikuti dengan kesulitan untuk membuat pemisahan antara kedua urusan yang sebenarnya harus dipilah tersebut. Artinya, seorang staf atau bawahan tidak hanya semata-mata harus patuh dan melaksanakan tugas-tugas resmi sesuai tupoksinya. Disisi lain juga berkewajiban membantu sang “bapak” urusan-urusan non kedinasan.

Dari berbagai hal di atas, netralitas birokrasi dalam hajatan Pilkada Langsung agaknya perlu dipertanyakan. Netralitas birokrasi bisa jadi menjadi sesuatu hal yang langka dan agak sulit untuk menghindarkannya. Yang dapat dilakukan selanjutnya adalah hanya sebatas meminimalisir berbagai kemungkinan penyalahgunaan struktur birokrasi secara luas. Lantas apak yang bisa dilakukan untuk membantu menjaga netralitas birokarasi ? Bagaimana agar masyarakat luas juga ikut berpartisipasi aktif dalam menciptakan netralitas birokrasi ? Ada beberapa langkah yang mungkin dapat dilakukan sebagai berikut.

Pertama, adalah dengan membuka ruang dialog antara pemerintah dan masyarakat yang memungkinkan masyarakat luas memiliki akses yang kuat terhadap berbagai proses pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh birokrasi. Hal ini hanya dapat terwujud apabila ada kehendak dari pemerintah untuk membuka dan memberi akses informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat atas berbagai dinamika kebijakan yang terjadi dalam birokrasi. Masyarakat luas juga harus pro aktif menjemput bola guna memanfaatkan terbukanya akses informasi tersebut untuk selalu mengkritisi dan ikut mengendalikan policy maker yang tidak lain adalah para aktor dalam birokrasi.

Kedua, masyarakat sipil maupun masyarakat politik harus berkolaborasi, bekerjasama, bahu membahu untuk mencegah berbagai kemungkinan penyalahgunaan birokrasi oleh kekuatan ekstra birokrasi baik yang berasal dari luar maupun dari dalam birokrasi sendiri. Masyarakat mampu menempatkan diri dan berperan secara aktif serta mengembangkan model partisipatif dalam perumusan kebijakan. Masyarakat seharusnya tidak hanya menunggu sampai terbuka peluang dan akses terhadap birokrasi, tetapi secara aktif berusaha membuka akses dan peluang tersebut.

Dengan menjaga netralitas birokrasi berarti ikut mengamankan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Dimana dalam hal ini birokrasi berkewajiban memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil dan merata dalam penyelenggarana tugas negara, pemerintahan dan pembangunan. Oleh karena itu dalam rangka mewujudkan profesionalisme, birokrasi harus dijaga dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif kepada masyarakat. Dengan kata lain netralitas birokrasi adalah sebuah keharusan. Semuanya berpulang kepada kita semua. Menjadi tugas kita untuk menjaga netralitas birokrasi dalam rangka mewujudkan sosok birokrasi yang ideal sebagai abdi negara dan masyarakat. Wallahu alam bi shawab, ..............

Jumat, 11 Juli 2008

BIROKRASI PROFESIONAL, SUDAHKAH ?

BIROKRASI PROFESIONAL, SUDAHKAH?

Saat ini reformasi memasuki tahun ke delapan, sejak orde baru tumbang pada 1998. Era reformasi menjadi tumpuan harapan banyak kalangan agar kondisi republik yang penuh kemajemukan ini menjadi lebih cerah pada masa akan datang.

Reformasi sedikit banyak membawa angin perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali pada jajaran birokrasi, yang juga harus mengikuti perubahan yang terjadi dengan mereformasi diri, agar terwujud birokrasi profesional yang selalu siap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Keinginan untuk mewujudkan birokrasi yang profesional pun semakin mengemuka.

Birokrasi yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional.

Rabu, 09 Juli 2008

MENGELOLA BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

MENGELOLA BIROKRASI DI ERA OTONOMI DAERAH

Tidak terasa era otonomi daerah telah memasuki tahun ke tujuh. Dalam konteks sumber daya manusia, salah satu kekhawatiran yang sejak awal sering dilontarkan dan sering dianggap sebagai faktor penghambat otonomi daerah adalah belum siapnya sumber daya manusia daerah dalam melaksanakan otonomi. Terhadap opini tersebut penulis tidak sepenuhnya sepakat. Kalau dikaji secara mendalam, ada banyak faktor lain yang diduga berpengaruh secara signifikan terhadap kinerja birokrasi di daerah. Diantaranya dapat dijelaskan sebagai berikut adalah sebagai berikut.

Pertama, proses penataan kelembagaan di daerah yang belum juga rampung pasca diberlakukan otonomi daerah ditambah dengan melimpahnya kuantitas pegawai daerah sebagai dampak pelimpahan eks pegawai pusat ke daerah. Terbitnya PP No. 8 Tahun 2003 dan PP No. 41 Tahun 2007, sebenarnya merupakan langkah pemerintah untuk menuntaskan proses penataan kelembagaan di daerah. Ternyata terbitnya kedua PP tersebut bukan tanpa masalah. Kedua PP tersebut ternyata meresahkan para pejabat di daerah. Bagaimana tidak, kedua PP tersebut mengisyaratkan adanya penggabungan beberapa instansi atau bahkan penghapusan di daerah dengan alasan efektifitas dan efisiensi. Akibatnya perhatianpun tersedot ke program restrukturisasi organisasi dan memikirkan harus dikemanakan orang-orang yang telah menduduki posisi jabatan pada struktur organisasi lama. Ironisnya di sisi lain struktur organisasi pemerintah pusat justru diberi peluang untuk memekarkan diri yang menyebabkan “kecemburuan” tersendiri bagi pemerintah daerah. Akhirnya beberapa daerah enggan untuk segera mengadopsi PP tersebut dengan berbagai alasan. Kondisi ini akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Kedua, pasca otonomi daerah di beberapa daerah terjadi pembengkaan struktur organisasi di daerah dengan menambah instansi-instansi yang sebenarnya kurang diperlukan. Untuk menampung anggaran yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah maka di beberapa daerah ditemui lembaga atau instansi yang sebenarnya tidak perlu ada tetapi diada-adakan. Ditambah lagi pola ”juklak dan juknis” dari pemerintah pusat sangat kental mewarnai kinerja birokrasi di era lalu yang membuat tingkat kemandirian daerah semakin rendah, khususnya bila dikaitkan dengan masalah pembiayaan. Sehingga ada gagasan dari sebagian komunitas di daerah, lebih baik semuanya diatur pusat tetapi ada petunjuk yang jelas disertai dana yang cukup, daripada kita mandiri tetapi tidak ada dana. Kondisi ini tentu saja juga akan menimbulkan masalah tersendiri dalam pembangunan sumber daya manusia di daerah.

Kebebasan dan kewenangan daerah yang lebih luas bagi daerah untuk melakukan pembenahan dan perubahan dalam manajemen birokrasi merupakan jiwa dari otonomi daerah. Dengan tetap berpijak pada jalur hukum yang ada, pemerintah daerah dituntut aktif, kreatif dan inovatif dalam melakukan pembangunan sumber daya manusia secara lebih profesional. Dalam konteks ini penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia menjadi sangat penting. Di dalam suatu organisasi manusia adalah modal atau asset, manusialah yang melakukan semua aktivitas dan menggerakkan organisasi sehingga organisasi dapat mencapai tujuan.

Simmamora (2001) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah rangkaian kegiatan mulai dari pendayagunaan, pengembangan, penilaian, pemberian balas jasa, dan pengelolaan individu anggota organisasi atau kelompok pekerja. Senada dengan hal tersebut, Mangkuprawira (2002) mengemukakan bahwa manajemen sumber daya manusia adalah merupakan serangkaian tugas yang terkait dengan upaya-upaya memperoleh karyawan, mendidik dan melatih, mengembangkan, memotivasi, mengorganisasikan, dan memelihara karyawan sebuah perusahaan sampai suatu ketika terjadi pemutusan hubungan kerja.

Benang merah yang dapat ditarik dari pernyataan tersebut adalah bahwa manajemen sumber daya manusia merupakan berbagai upaya yang harus dilakukan pimpinan unit kerja agar kinerja karyawan menjadi lebih optimal. Langkah kongkrit yang bisa diambil diantaranya adalah proses rekruitmen yang tepat, analisa kebutuhan pegawai, pendidikan dan pelatihan yang sesuai dengan kebutuhan, pemberian insentif kompensasi materiil dan non materiil secara proporsional, perencanaan pola karir yang mampu mengakomodasi para pegawai dalam mengembangkan potensi dan sebagainya. Jika semua proses ini diterapkan dengan baik dalam suatu organisasi, niscaya produktifitas kerja organisasi tersebut akan meningkat.

Beberapa fungsi manajemen sumber daya manusia menurut beberapa literatur antara lain dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, human resource planning. Perencanaan sumber daya manusia merupakan komponen penting dalam manajemen sumber daya manusia. Perencanaan sumber daya manusia terdiri dari analisa kebutuhan sumber daya manusia pada suatu organisasi khususnya untuk memastikan proses kerja yang efektif dan efisien.

Kedua, recruitmen and selection. Ketangguhan sebuah organisasi dalam merespon tugas-tugas yang harus dilaksanakan adalah merupakan refleksi dari kualitas pegawainya. Oleh karena itu, langkah awal dalam pengisian formasi pegawai adalah harus dipastikan bahwa hanya sumber daya manusia yang tepat dapat menduduki posisi yang tepat. Artinya, latar belakang pendidikan, bakat, dan keahlian calon pegawai yang akan diseleksi harus cocok dengan klasifikasi posisi yang akan mereka duduki.

Ketiga, compensation and benefits. Maksudnya adalah adanya imbalan yang proporsional, sesuai dengan apa yang telah dikerjakan untuk organisasi. Salah satu orientasi seorang pegawai bekerja adalah ingin mendapatkan manfat ekonomi. Oleh Karena itu setiap pimpinan ataupun pengelola sebuah organisasi juga harus mengembangkan sistem kompensasi yang proporsional atas pekerjaan atau kontribusi yang diberikan pegawai terhadap organisasi di luar gaji yang merepresentasikan kompensasi finansial. Disamping itu sebaiknya juga diberikan bentuk-bentuk penghargaan non finansial seperti liburan, asuransi jiwa, dan sebagainya.

Keempat, performance evaluation. Fungsi manajemen ini adalah untuk mengevaluasi seberapa jauh kinerja para pegawai jika diukur dengan tugas-tugas yang diberikan kepada mereka. Apakah cukup baik atau sebaliknya. Sebuah organisasi perlu merancang sebuah sistem evaluasi kinerja yang mampu mengukur secara tepat produktifitas masing-masing pegawai.

Kelima, human resource development. Progam pelatihan dan pengembangan adalah sebuah proses yang diharapkan akan menunjang peningkatan karir seorang pegawai sekaligus membantu mereka menjadi lebih efektif dalam mencapai tujuan organisasi. Bukan sekedar untuk memenuhi syarat-syarat formal. Melalui fungsi ini peluang bagi seorang pegawai untuk bersaing secara sehat dan memiliki kemampuan untuk menghadapi berbagai dinamika dalam lingkungan kerjanya akan lebih terbuka.

Keenam, career development. Pengembangan karir dapat dipahami sebagai perubahan posisi atau ranking seseorang ke posisi atau ranking yang lebih tinggi. Dalam kaitan ini, terdapat hubungan yang erat antara program pengembangan karir dengan struktur organisasi yang ada. Struktur yang ramping cenderung menghasilkan kinerja yang efisien, namun demikian hal ini berarti kesempatan pegawai untuk menduduki jabatan-jabatan struktural menjadi lebih sempit. Oleh karena itu perlu dipersiapkan sebuah sistem yang mampu mengakomodasi pola karir para pegawai khususnya yang memang memiliki kapabilitas untuk meningkatkan perfomance sebuah organisasi.

Ketujuh, rewards system. Yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya penghargaan baik yang bersifat finansial maupun non finansial kepada semua pegawai tanpa harus mempertimbangkan posisi dan kinerja mereka. Namun demikian pada suatu saat penghargaan hanya diberikan kepada pegawai terpilih setelah melalui seleksi dan evaluasi berdasarkan kontribusi mereka terhadap organisasi. Dengan demikian kesan PGPS (Pinter Goblok Penghasilan Sama) yang melekat selama ini dapat pelan-pelan dihapuskan.

Kedelapan, employee management relations. Fungsi ini merupakan sebuah upaya untuk menciptakan interaksi yang harmonis di antara para pegawai baik secara horizontal maupun vertikal. Dengan demikian pelayanan kepada masyarakat luas dapat lebih berkualitas. Ada sebuah fakta yang tidak bisa terelakkan bahwa setiap individu pegawai mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Oleh karena itu interaksi yang harmonis tersebut juga berfungsi menjaga keseimbangan emosi sehingga etos dan semangat kerja yang tinggi senantiasa terjaga dengan baik.

Prinsip-prinsip utama dalam manajemen sumber daya manusia sebagaimana diuraikan di atas masih selama ini lebih banyak diimplementasikan pada organisasi non pemerintah khususnya yang berorientasi financial profit. Adanya anggapan bahwa aspek kapabilitas, dedikasi, loyalitas, ketaatan, prakarsa, kepatuhan, skill dan sebagainya merupakan sesuatu yang secara otomatis sudah ada dan melekat pada diri pegawai pemerintah, menjadi kendala tersendiri dalam implementasi manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah. Ketika pegawai diambil sumpahnya atau pada saat mengucapkan ikrar-ikrar lainnya seperti Panca Prasetya Korpri seolah-olah diyakini bahwa aspek-aspek tersebut di atas otomatis ada dan melekat pada diri sang pegawai. Padahal realitas menunjukkan bahwa masih banyak pegawai tidak dalam kapasitas ideal. Bisa jadi hal tersebut disebabkan akibat proses seleksi yang dilakukan belum pas, belum didasarkan pada analisa kebutuhan yang tepat. Atau mungkin juga karena program pendidikan dan pelatihan yang dirancang dan diikuti tidak secara khusus didesain guna meningkatkan dan memperkuat kapasitas mereka. Hal ini tentu saja menjadi kendala serius dalam penerapan prinsip-prinsip utama manajemen sumber daya manusia pada organisasi pemerintah.

Pegawai juga masih sering dibalut dengan berbagai formalitas dan slogan yang secara empiris sangat sulit dioperasionalkan. Misalnya sebagai abdi negara dan abdi masyarakat, bekerja untuk kepentingan bangsa. Kalimant-kalimat tersebut terlalu sering diucapkan tetapi sebenarnya masih sangat abstrak dan sulit untuk mengoperasionalkannya. Manajemen sumber daya manusia menjadi sesuatu hal sangat strategis bagi upaya penguatan kapasitas pegawai yang diharapkan selanjutnya mampu memperkuat eksistensi kelembagaan sebuah organisasi pemerintah. Oleh karena itu sudah saatnya prinsip-prinsip manajemen sumber daya manusia dapat diterapkan secara lebih profesional. Lantas harus bagaimanakah untuk meningkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah ?

Untuk meingkatkan kinerja pegawai sebuah organisasi pemerintah dapat ditempuh dengan banyak cara. Diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, dengan mengadopsi prinsip-prinsip good governance pada birokrasi pemerintah. Yaitu kegiatan pemerintahan harus mengadopsi prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, partisipasi, penegakan hukum, visioner ke depan, kesetaraan dan sebagainya. Konsep ini sebenarnya sudah terlalu sering disebut-sebut telah diimplementasikan di lingkungan organisasi pemerintah yang secara formal ditandai dengan penandatanganan kesepakatan tentang good governance. Sayangnya sampai saat ini hal tersebut belum terlalu kelihatan outputnya. Good governance masih seperti ”makhluk asing” yang abstrak dan simbolis. Kedua, melalui identifikasi dan penerapan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia mulai dari perencanaan, mekanisme rekruitmen dan seleksi, insentif dan disinsentif, evaluasi kinerja, pengembangan sumber daya manusia, pola mutasi dan karir yang jelas, pola sistem insentif dan penghargaan seperti yang diuraikan di atas.

Dalam penyelenggaraan pemerintahan, sosok sumber daya manusia memegang peranan strategis. Di era transisi ini sumber daya aparatur merupakan motor penggerak roda pemerintahan. Keberhasilan atau keagagalan dalam penyelenggaraan pemerintahan akan sangat bergantung pada kualitas sumber daya aparatur. Kualitas sumber daya aparatur juga merupakan faktor utama di dalam pemberdayaan ekonomi daerah, karena potensi sumber aya ekonomi tidak dapat dikelola secara maksimal jika tidak terdapat sinergi dengan sumber daya aparatur yang berkualitas.

Membangun birokrasi yang efisien tetapi sekaligus berorientasi ke pasar merupakan kata kunci dalam konteks otonomi daerah, sehingga daerah bersangkutan memiliki daya saing tinggi. Adalah tugas kita bersama untuk membenahi semua permasalahan di atas. Yang antara lain adalah dengan upaya menerapkan fungsi-fungsi manajemen sumber daya manusia sebagaimana secara profesional untuk mewujudkan sumber daya manusia birokrasi yang profesional pula. Semoga, ................

Senin, 07 Juli 2008

ONE STOP SERVICE ALA SRAGEN

ONE STOP SERVICE ALA SRAGEN


Sudah menjadi fenomena umum dalam masyarakat bahwa ketika mereka harus berurusan dengan birokrasi hampir dipastikan akan berhadapan dengan banyak meja, memerlukan waktu yang panjang, dan sangat terbuka peluang terjadinya korupsi kolusi nepotisme dan sebagainya. Dan hal inilah yang ternyata menjadi salah satu penyebab utama atau sumber keengganan masyarakat dan dunia usaha untuk mengurus perijinan usaha yang ujung-ujungnya hanya menambah biaya produksi dan high cost economy. Hal ini ternyata kemudian menjadi penghambat produktifitas atau bahkan investasi di berbagai wilayah di negeri ini.

Kondisi tersebut di atas ternyata bukan retorika belaka. Banyak survey dan riset yang dilakukan oleh lembaga riset, para akademisi dan praktisi yang membuktikan hal ini yang menunjukkan betapa pelayanan publik yang telah diberikan oleh aparatur pemerintah masih jauh dari yang diharapkan. Sebut saja laporan dari World Competitiveness Report, yang menempatkan pada rangking ke 59 dari 60 negara yang disurvey. Atau survey Transparancy International yang menempatkan Indonesia di peringkat 133 untuk index anti korupsi lebih buruk dari Vietnam. Sementara itu menurut Kwik Kian Gie korupsi di negeri ini diperkirakan mencapai 444 triliun rupiah (melebihi APBN 2002-2003). Yang tidak kalah pentingnya adalah hasil survey yang dilakukan oleh UGM menunjukkan bahwa pelayanan buruk, berbelit-belit dan pungli dianggap wajar.

Beberapa hal tersebut di atas menunjukkan bahwa reformasi di bidang pelayanan publik belum berhasil. Namun demikian ternyata tidak semua kinerja pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur pemerintah dalam kondisi buruk. Beberapa pemerintah provinsi dan kabupaten/kota mulai bangkit dari buruknya kinerja pelayanan, dan mulai menepis image negatif yang selama ini menerpa kinerja pelayanan aparatur pemerintah selama ini. Salah satunya adalah inovasi one stop service yang dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Sragen yang dapat dijadikan referensi bagi daerah lain untuk mereformasi kinerja pelayanan publik.

Dituangkannya pelayanan prima dalam visi dan misi nasional Indonesia, menunjukkan bahwa tuntutan masyarakat terhadap pelayanan prima oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan keharusan dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. UU No. 22 Tahun 1999 yang selanjutnya digantikan oleh UU No. 32 Tahun 2004 menegaskan bahwa tujuan otonomi adalah untuk memberikan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang makin baik kepada masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan.

Dengan demikian kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah kepada masyarakat merupakan salah satu indikator keberhasilan otonomi daerah.
Berbakal pada semangat otonomi daerah dimana seharusnya aparatur pemerintah dapat memberikan pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat, Bupati Sragen melakukan serangkaian langkah-langkah guna membangun sebuah pelayanan perijinan usaha yang baik, yaitu pelayanan perijinan usaha yang cepat, murah dan transparan namun tetap dalam koridor tertib administrasi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas Pemerintah Kabupaten Sragen membentuk Unit Pelayanan Terpadu (UPT) yang operasionalisasinya dilaksanakan 1 Oktober 2002 oleh Bupati Sragen. Kebijakan mendapat dukungan penuh legislatif. Namun UPT tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya. Karena yang terjadi kemudian adalah UPT hanya berfungsi sebagai pintu masuk awal berkas perijinan, selanjutnya berkas tersebut disalurkan ke berbagai meja, artinya pelayanan belum dapat diberikan dengan cepat, prosesnya masih berbelit dan panjang.

Selanjutnya pada tahun 2003 statusnya dinaikkan menjadi Kantor Pelayanan Terpadu (KPT). KPT Kabupaten Sragen telah dapat memberikan layanan perijinan yang lebih baik dibandingkan statusnya ketika masih dalam bentuk UPT. Pada umumnya setiap proses perijinan dapat diselesaikan 30% lebih cepat dari jadwal yang ditetapkan. Misalnya untuk pengurusan IMB dibutuhkan waktu 12 hari kerja, ternyata dapat diselesaikan dalam 10 hari kerja. Yang lainnya staf KPT memberikan layanan dengan lebih profesional mulai dari penampilan fisik hingga layanan pelanggan yang baik.
Dalam rangka peningkatan kualitas pelayanan publik serta memudahkan koordinasi dengan stakeholder, pada tanggal 20 Juli 2006 status KPT ditingkatkan menjadi Badan Pelayanan Terpadu (BPT).

Maksud didirikannya instansi ini adalah menyelenggarakan pelayanan perizinan dan non perizinan yang prima dan satu pintu. Dengan demikian dapat mendorong terciptanya iklim usaha yang kondusif bagi penanaman modal dan investasi dalam pemberdayaan ekonomi masyarakat Kabupaten Sragen. Sedangkan tujuannya adalah mewujudkan pelayanan prima, meningkatkan efisiensi dan efektifitas kinerja aparatur Pemerintah Kabupaten Sragen khususnya yang terlibat langsung dengan pelayanan masyarakat serta dalam rangka mendorong kelancaran pemberdayaan ekonomi masyarakat, yang pada gilirannya masyarakat dapat terdorong untuk ikut berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan pembangunan.

Berikut ini adalah beberapa langkah yang ditempuh Pemerintah Kabupaten Sragen untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan membangun one stop service. Pertama, dengan membentuk tim kecil yang berfungsi menentukan konsep dan memberikam masukan-masukan sehubungan dengan pembentukan lembaga yang mewadahi one stop service yang bertugas mencari bentuk ideal dengan melakukan perbandingan ke daerah lain. Sebelum membangun sistem layanan yang baik, diperlukan gambaran ideal dalam arti telah berjalan dengan baik.

Kedua, menyusun disain atau konsep pelayanan terpadu yang sesuai dengan kondisi di Kabupaten Sragen. Setelah melakukan serangkaian studi banding, tim kecil mulai merancang atau mendisain sistem yang bagaimana yang sesuai dengan kondisi Kabupaten Sragen karena pasti tidak akan dapat menerapkan bulat-bulat disain dari daerah lain.

Ketiga, rekruitmen sumber daya manusia aparatur yang kompeten dan profesional. Misalnya untuk perijinan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) dipilih staf dari Dinas Pekerjaan Umum (DPU), untuk Ijin Gangguan (HO) dipilih dari Dinas Lingkungan Hidup, dan seterusnya. Sebelum aparatur terpilih ini menjalankan tugasnya mereka juga dibekali dengan kegiatan magang untuk melihat dan mempelajari dari dekat mengenai pelaksaan kegiatan sehari-hari dan yang lebih penting lagi adalah bagaimana memberikan pelayanan yang baik bagi masyarakat.

Keempat, mengkondisikan semua instansi teknis mendukung one stop service. Kebijakan ini awalnya merupakan kebijakan yang kurang menarik bagi instansi teknis sehingga ada keengganan bagi para pimpinan instansi teknis untuk mendukungnya. Oleh karena itu perlu adanya komitmen yang kuat dari top managemen untuk mengkondisikan agar kebijakan ini mendapatkan dukungan dari pimpinan instansi teknis. Diantaranya melalui penyerahan pelayanan perijinan kepada Bupati. Selanjutnya Bupati mendelegasikan kewenangan perijinan tersebut kepada tim teknis perijinan.

Kelima, tetap menjaga eksistensi tugas substantif instansi teknis yaitu instansi teknis tetap memiliki kewenangan membina dan mengawasai perijinan, bertanggung jawab atas target dan realisasi PAD serta memberikan pertimbangan dan kajian teknis pelayanan perijinan.

Keenam, membangun paradigma baru pelayanan publik melalui merubah dari dilayani menjadi melayani tulus dan ikhlas, pelanggan adalah orang terpenting yang harus dihormati, dilayani dan dipuaskan keinginannya, membangun tata nilai dan budaya kerja baru sebagaimana pelayanan profesional swasta dan pengembangan sumber daya manusia aparatur secara kontinyu dengan trainer profesional swasta, yang diukur seberapa jauh perubahan sikap perilaku dan kemampuan.

Ketujuh, membangun sistem yang akuntabel diantaranya adalah Standar ISO 9001 semua proses dan produk dijamin sesuai mutu yang ditetapkan, double control system (saling mengawasi antara instansi teknis dengan lembaga pengelola one stop service, masyarakat yang menilai dan mengawasi dengan berbagai fasilitas layanan pengaduan, monitoring kualitas dengan survey kepuasan pelanggan setiap 6 bulan sekali, pengawasan internal dengan audit Internal oleh auditor bersertifikat setiap 6 bulan dan evaluasi dengan mengundang stakeholder.

Kedelapan, memanfaatkan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Untuk dapat memberikan pelayanan yang cepat, saling terhubung, murah, dengan sumber daya manusia yang terbatas, diperlukan sebuah sistem teknologi informasi yang baik sampai level pemerintahan paling bawah yaitu desa. Dengan sistem ini pelayanan yang diberikan dapat lebih cepat, efisien, murah, dan transparan. Teknologi Informasi di Kabupaten Sragen dikembangkan sejak awal tahun 2002 yaitu dimulai dari koneksi jaringan komputer dan integrasi sistem pada kompleks perkantoran Sekretariat Daerahdan pada tahun 2008 ini sudah terkoneksi sampai level desa.

Hasil yang nyata yang diperoleh melalui one stop service di Kabupaten Sragen adalah proses perijinan lebih mudah, cepat dan transparan, berkurangnya keluhan keterlambatan, pungutan liar, realisasi perijinan lebih cepat dari standar (60%), meningkatnya kesadaran masyarakat mengurus ijin dan image positif terhadap aparatur pemerintah meningkat.

Disamping itu kebijakan yang dilaksanakan sejak tahun 2002 tersebut juga menimbulkan dampak positif yang sangat signifikan. Multiplayer efek setelah konsep one stop service dilaksanakan antara lain adalah peningkatan investasi (219%), peningkatan penyerapan tenaga kerja (147,3%), kenaikan jumlah perusahaan yang memiliki perijinan (27%), peningkatan potensi fiskal (250%), peningkatan PAD (1.000%), peningkatan PDRB (57,46%), pertumbuhan ekonomi, dan sebagainya. Atas karya nyatanya tersebut Pemerintah Kabupaten Sragen juga mendapatkan berbagai macam penghargaan dari tingkat lokal, nasional maupun internasional.

Selasa, 11 Maret 2008

MENGULANG KEJAYAAN INDUSTRI PERKAYUAN, MUNGKINKAH ?

Mengulang Kejayaan Industri Perkayuan Mungkinkah?

Semakin menurunnya potensi hutan, jelas akan semakin memperparah ketimpangan supply dan demand bahan baku industri perkayuan.

Dua dasa warsa lalu, industri perkayuan masih kokoh berdiri. Industri perkayuan merupakan salah satu primadona yang menjadi kebanggaan tersendiri baik bagi pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha. Betapa tidak, industri perkayuan ini telah memberikan kontribusi tidak sedikit bagi berlangsungnya proses pembangunan, khususnya terkait dengan besarnya devisa yang dihasilkan dari produk yang diekspor ke manca negara. Di samping, kemampuannya menyediakan lapangan kerja. Produk ekspor yang dihasilkan industri perkayuan, didominasi plywood dan derivatnya.

Dalam perkembangannya saat ini, industri perkayuan mengalami perubahan luar biasa. Ada yang memprediksikan, keruntuhan industri pengolahan kayu baik skala besar maupun kecil tinggal menunggu waktu. Beberapa pengusaha di bidang perkayuan disibukan memikirkan langkah efisiensi dan rasionalisasi, seperti pengurangan shift kerja, PHK, dan sebagainya. Lebih parah lagi, banyak industri perkayuan yang memang benar-benar tidak mampu memutar mesinnya alias gulung tikar. Salah satu penyebabnya, adanya kesenjangan antara supply dan demand bahan baku kayu.

MENANAM POHON UNTUK KEHIDUPAN

Banjarmasin Post, 28 Juni 2007

MENANAM POHON UNTUK KEHIDUPAN

Hutan merupakan sebuah bioekosistem yang memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan ekonomi, sekaligus penyedia pelayanan berbasis lingkungan. Beberapa waktu lalu LSM internasional ternama Green Peace mengeluarkan pernyataan yang cukup memerahkan telinga. Bagaimana tidak, ketika itu Indonesia disebut-sebut direkomendasikan sebagai pemecah rekor perusak hutan tercepat di dunia.
Seiring dinamika pembangunan di negeri ini, sumber daya hutan (SDH) memang telah mengalami penurunan dari kualitas dan kuantitas. Hal ini diakibatkan adanya akses terhadap SDH yang memang tidak bisa dihindarkan. Aktivitas itu berlangsung secara legal dan illegal, untuk keperluan sektor kehutanan maupun nonkehutanan. Perlahan tapi pasti, keanekaragaman hayati yang dikandung hutan dihadapkan pada penurunan. Bahkan ada kekhawatiran suatu saat keanekaragaman hayati akan sampai pada ketegori paling kritis, yaitu musnahnya spesies flora dan fauna. Fungsi ekonomi dan nonekonomi juga ikut hilang seiring musnahnya SDH.

Tidaklah berlebihan kalau hutan kemudian sering disebut sebagai paru-paru dunia. Hutan menjadi salah satu komponen utama dalam mendukung siklus alami dan berbagai proses berlangsungnya kehidupan organisme di muka bumi ini. Dasar Ilmu Alam yang kita pelajari menegaskan, tumbuhan hijau adalah produsen oksigen.
Meskipun banyak yang menyadari betapa pentingnya SDH, degradasi dan deforestasi dengan berbagai tujuan adalah sesuatu yang tidak mungkin terhindarkan. Sejak lama ahli menyatakan, hutan punya peran sangat penting dalam menjaga ketersediaan oksigen dan zat lain yang dibutuhkan organisme yang hidup di bumi.

Berdasarkan uraian tersebut, tanaman hijau memiliki andil cukup besar dalam mendukung aktivitas kehidupan organisme di muka bumi. Hutan punya andil yang signifikan dalam menyuplai oksigen bagi seluruh organisme di muka bumi. Sementara manusia yang konon disebut sebagai organisme atau makhluk hidup paling beradab dan top manajement dalam pengelolaan SDH, memiliki peran kunci dalam menentukan keberlangsungan SDA. Manusia sebagai konsumen utama bisa saja menjadi penghancur utama (destroyer), atau sebaliknya pelindung SDH.

Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir dan bernalar, maka manusia menjadi komponen penentu dalam sebuah ekosistem. Baik buruknya eksosistem sangat ditentukan oleh perilaku manusia. Oleh karena itu, semestinya kita menunjukkan kepedulian dengan berperan aktif menjaga berbagai siklus alam agar tetap berlangsung dengan azas alaminya dan keseimbangannya tetap terjaga. Kita bisa melakukan gerakan rehabilitasi dan konservasi hutan, mengurangi polusi udara dan air, penghematan pemanfaatan SDH, menanam pohon dan sebagainya. Upaya itu bisa dilakukan baik secara perorangan maupun kolektif. Upaya lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang selama ini mendorong, memfasilitasi dan menjadi teladan dalam menyukseskan gerakan ini harus kita dukung sepenuh hati.

Seandainya, satu manusia di muka bumi ini melakukan gerakan menanam pohon, cukup satu pohon. Berarti, satu manusia telah menyumbangkan sebuah mesin/produsen oksigen. Dengan asumsi di muka bumi ini terdapat sekitar lima miliar manusia, maka akan ada lima miliar pohon baru yang nantinya otomatis berfungsi sebagai penyuplai oksigen bagi semua organisme di muka bumi.

Juga, seandainya saja hutan di muka bumi ini dipertahankan sekitar 40% dari luas daratan, pepohonan yang ditanam manusia dapat membuat kita sedikit bernafas lega. Satu pohon yang kita tanam itu, akan menghasilkan oksigen bersama pohon lainnya. Secara tidak langsung kita juga memberikan kontribusi nyata dalam memperbaiki kualitas lingkungan dan atmosfer, serta siklus air dan alam lainnya. Bahkan bukan itu saja. Secara ekonomis di masa akan datang, pohon itu dapat diambil manfaat ekonomisnya. Jadi, menanam pohon untuk kehidupan, mengapa tidak!

ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH ?

Orang Miskin Dilarang Sekolah?


SAAT tulisan ini dibuat, masih berlangsung Penerimaan Siswa Baru (PSB) dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di berbagai lembaga penyelenggara pendidikan. Saat-saat yang cukup menegangkan bagi para orang tua. Mereka disibukkan dengan berbagai urusan agar anak-anak yang baru saja lulus dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bukan rahasia lagi bahwa otak yang jenius atau cemerlang saja, tidak cukup menjamin mereka bisa masuk atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Masih ada faktor lain yang memberikan pengaruh signifikan. Antara lain adalah faktor finansial yang masih mendominasi dan masih dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam menentukan alternatif pilihan lembaga pendidikan yang akan dimasuki. Apakah seorang anak harus masuk sebuah lembaga pendidikan yang diunggulkan atau tidak. Apakah seorang anak bisa masuk jurusan yang bergengsi atau sebaliknya.

Kebahagiaan sesaat mungkin akan muncul ketika sang anak akhirnya diterima di sebuah lembaga pendidikan yang diunggulkan. Namun rasa was-was juga menyelimuti saat menunggu kabar lebih jauh berapa besar komponen-komponen biaya yang harus disetor lagi ke lembaga pendidikan tersebut. Mungkin bukan sebuah masalah yang perlu dipusingkan bagi kalangan yang berkecukupan. Bagaimana halnya dengan kalangan yang termasuk dalam kategori berkekurangan atau miskin? Seolah-olah ada hidden message bagi mereka, ngapain mesti sekolah tinggi-tinggi kalau uang tidak ada, apalagi di lembaga pendidikan yang diunggulkan dan jurusan diunggulkan pula. ”Orang miskin dilarang sekolah”, barangkali itu sebuah ungkapan yang tepat. Padahal rata-rata orangtua menginginkan anak-anaknya masuk lembaga pendidikan yang diunggulkan. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan dalam rangka mempersiapkan masa depan yang lebih baik pula.

Para orangtua harus membayar mahal untuk sebuah biaya pendidikan yang bermutu, khususnya di wilayah perkotaan. Ada yang melukiskan bahwa untuk bisa masuk di lembaga pendidikan yang diunggulkan harus mengeluarkan ratusan ribu, hingga puluhan juta rupiah bahkan bisa lebih. Atau terkadang harus merelakan sebuah ”kunci kijang”, atau ”selembar sertifikat”. Padahal pelayanan pendidikan sering disebut-sebut sebagai salah satu jenis pelayanan dasar yang yang menjadi program pemerintah yang tentu saja juga merupakan hak dasar seluruh lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut di atas sangat ironis apabila kalangan tertentu terpaksa tidak bisa ikut menikmati salah satu layanan dasar dari pemerintah ini. Siapakah mereka? Tidak lain adalah anak-anak orang-orang miskin atau kurang berkecukupan. Padahal mereka juga mempunyai potensi yang luar biasa untuk dikembangkan. Sehingga potensi yang ada kadang-kadang tidak bisa dikembangkan karena terbentur masalah keuangan.

Mahalnya biaya pendidikan yang bermutu, dapat ditelusuri lebih jauh melalui besarnya uang pangkal yang harus dibayarkan seorang anak diterima di sebuah lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan tinggi. Semua seolah berlomba-lomba bersaing dalam hal biaya. Tidak jarang juga terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan pada level TK samai SLTA. Lagi-lagi para orangtua tidak berkutik dalam hal ini, karena didorong keinginannya untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya untuk masa depan yang cemerlang melalui pendidikan yang bermutu. Untuk apa sebenarnya sejumlah uang yang besarannya bervariasi tersebut? Bukankah sudah ada dana-dana yang dialirkan oleh pemerintah untuk program pendidikan, untuk mendukung proses berlangsungnya pendidikan yang bermutu bagi semua?

Banyak alasan yang kadang-kadang menjadi pembenar atau dalih pihak lembaga pendidikan untuk memungut sejumlah uang yang kadang-kadang diluar jangkauan semua kalangan. Alasan klasik yang sering disampaikan terkait dengan hal tersebut adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan konon akan diwujudkan dalam bentuk pengembangan berbagai sarana prasarana seperti gedung, laboratorium, komputer, pengembangan perpustakaan, serta berbagai fasilitas belajar mengajar lainnya. Lantas kemanakah dana-dana yang setiap tahun dipungut secara rutin entah itu dalam bentuk uang pangkal, uang registrasi, uang gedung, sumbangan pendidikan dan atau bentuk-bentuk pungutan lainnya? Mengapa setiap tahun alasan klasik ini masih saja ada? Ada pula lembaga pendidikan yang berdalih, mana ada yang gratis di era sekarang ini. Segala sesuatu pasti ada konsekuensinya yaitu keluar biaya. Ada uang, maka ada barang, ada jasa dan sebaliknya. Kalau ingin pintar ya, konsekuensinya harus berani bayar mahal.

Pro dan kontra terkait dengan mahalnya biaya pendidikan tampaknya masih terus berlanjut. Jawaban dari lembaga pendidikan sering sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan. Komite sekolah pun kadang-kadang cenderung memposisikan sebagai bamper kebijakan sekolah. Akibatnya masyarakat dapat menyaksikan dan bahkan ikut terlibat dalam berbagai konflik antara pengguna dan produsen jasa pendidikan. Tindakan mengutip sejumlah biaya dengan berbagai alibi sering dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan diunggulkan, baik negeri maupun swasta. Mereka memiliki kecenderungan otoriter dalam menentukan besarnya sumbangan, sehingga orangtua pun kembali tidak berkutik. Siapa sih yang tidak mau, kalau anaknya masuk lembaga pendidikan diunggulkan.

Otoritas lembaga-lembaga pendidikan yang diunggulkan sering dijustifikasi dengan fakta, bahwa sebagian besar peserta didik yang lolos masuk pada lembaga pendidikan tersebut pada umumnya adalah dari kalangan berkecukupan. Sehingga lembaga pendidikan di maksud sepertinya diberikan peluang untuk membebankan biaya-biaya pendidikan anak-anak kepada para orangtua murid. Lembaga pendidikan yang diunggulkan ini juga sering menyombongkan prestasi murid sebagai keunggulan yang semata-mata diciptakan oleh lembaga pendidikan. Akhirnya kalangan yang kurang berkecukupan harus berfikir berulang kali untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan semacam ini atau lebih tragis lagi terpaksa membenamkan dalam-dalam keinginannya.

Tidak tertutup kemungkinan peserta didik sudah punya potensi unggul yang beruntung mendapat fasilitas penunjang pendidikan yang lengkap dari orang tuanya. Ditambah berbagai upaya orangtua untuk mengembangkan potensi peserta didik di lembaga-lembaga bimbingan belajar di luar lembaga pendidikan formal. Bukankah semua itu tidak hanya karena prestasi sebuah lembaga pendidikan? Oleh karena itu tidak selalu tepat kalau lembaga pendidikan yang diunggulkan lantas memungut biaya relatif tinggi dengan mengabaikan kemampuan keuangan masyarakat. Sehingga sudah saatnya hal-hal tersebut dikaji ulang.

Dengan demikian tidak ada lagi yang mempertanyakan mengapa begitu sulitnya orang tidak berkecukupan atau miskin mengakses fasilitas pendidikan yang bermutu. Atau paling, kalau mahalnya biaya pendidikan bermutu tidak bisa terhindarkan, harus ada solusi bagi kalangan tidak berkecukupan agar mereka juga bisa menikmati pendidikan yang bermutu. Bukankah pendidikan adalah salah satu layanan dasar pemerintah yang menjadi hak semua kalangan? Wallahu alam bi shawab.***

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Berbagai survei yang dilakukan lembaga nasional maupun internasional menunjukan, Indonesia masih berada dalam kategori negara paling korup. Pada 2001 misalnya, hasil survai oleh sebuah lembaga internasional ternama Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, mengategorikan Indonesia sebagai terkorup ketiga di dunia bersama Uganda. Pada 2003, Indonesia menyandang negara terkorup keempat bersama Kenya. Pada 2005 Indonesia juga tidak bergeser jauh dari predikat negara korup di dunia.

Meskipun reformasi memasuki tahun ke delapan, ternyata tidak begitu saja mampu membumihanguskan korupsi. Saat ini masih banyak kalangan elit yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, BUMN juga partai politik dan organisasi nonpemerintah yang kesandung korupsi baik di tingkat lokal maupun nasional. Korupsi tampaknya masih merupakan penyakit kronis yang mewabah di berbagai wilayah. Mafia peradilan di lingkungan penegak hukum konon dicurigai masih menodai mekanisme penegakkan hukum di negeri ini. Beberapa petinggi di lingkungan penegak hukum yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, justru terlibat kasus korupsi. Dampaknya, kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum semakin merosot dan proses penegakan hukum menjadi tidak menentu.

Senin, 10 Maret 2008

SULITNYA MEMBERANTAS ILLEGAL LOGGING

Radar Banjarmasin, Senin, 16 Oktober 2006
Sulitnya Memberantas “Illegal Logging”

Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh sektor kehutanan Indonesia adalah percepatan laju deforestasi. Penebangan liar yang kemudian lebih populer dengan istilah illegal logging merupakan salah satu pemicu deforestasi yang melanda sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. Menurut MS. Kaban (2005), kerugian yang diderita negara akibat illegal logging mencapai kurang lebih 30 triliun rupiah per tahun atau kurang lebih 83 miliar rupiah per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan sejak tahun 1999, yaitu kurang lebih 29,5 juta meter kubik kayu yang beredar berasal dari hasil aktivitas illegal logging.

Tidak hanya itu saja, illegal logging juga sering dituding sebagai biang keladi bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda beberapa wilayah di negeri ini. Sebut saja bencana banjir dan tanah longsor di Jember, Banjarnegara, Trenggalek, Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Banjar dan sebagainya. Bencana ini telah memakan korban jiwa dan harta benda serta memporakporandakan perumahan penduduk dan sarana prasarana lainnya. Disinyalir bencana ini terjadi karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, hutan gundul yang semakin meluas yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas illegal logging.

SAATNYA BELAJAR DARI BENCANA

Rabu, 18 April 2007

Saatnya Belajar dari Bencana
(Refleksi Menyongsong Hari Bumi 2007)
Oleh: Alip Winarto SHut MSi*

BUMI merupakan habitat bagi semua makhluk hidup yang semakin lama semakin berat bebannya. Kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam yang antara lain hanya bisa dipenuhi melalui pemanfaatan sumber daya alam menyebabkan bumi sebagai tempat berpijak seolah-olah semakin sempit saja. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di permukaan maupun di dalam perut bumi yang kurang bijak telah menyebabkan terjadi perubahan yang mengarah kepada kerusakan. Padahal semestinya manusia berkewajiban mengelola sumber daya alam yang ada di bumi, agar bermanfaat untuk semua makhluk hidup dalam jangka waktu yang panjang.

Saat ini perilaku arif manusia dalam merubah dan mewujudkan kualitas bumi agar menjadi lebih baik, merupakan sebuah keharusan. Karena itu diperlukan adanya kebersamaan untuk mewujudkan perubahan tersebut. Salah satu bentuk kebersamaan itu adalah ditetapkannya Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April. Momentum Hari Bumi ini diharapkan seluruh bangsa di dunia menyadari bahwa kondisi bumi semakin lama semakin memprihatinkan. Beban yang harus ditanggung bumi sebagai habitat semua makhluk hidup, semakin lama semakin berat.

Semakin tingginya kebutuhan ekonomi, dan juga gagalnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, membawa konsekuensi bumi terus-menerus mendapatkan tekanan yang cukup berat, dicemari dan dirusak. Meskipun berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah dan berbagai upaya penegakan hukum juga telah ditempuh untuk berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, yang mangabaikan kerusakan lingkungan tetap saja berlangsung baik oleh individu, kelompok masyarakat, kelompok elit, badan usaha milik swasta dan sebagainya. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari ketidakramahan tersebut adalah berbagai bencana lingkungan yang sangat merugikan bagi umat manusia.

Pertumbuhan ekonomi memang menjadi sasaran utama pembangunan. Namun demikian faktor pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Aspek lingkungan yang sebenarnya memegang peranan cukup penting juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Di sektor kehutanan misalnya, karena alasan peningkatan devisa negara, peningkatan pendapatan daerah, penyediaan lapangan kerja, atau peningkatan pendapatan masyarakat lokal sering dijadikan dalih pembenaran aktivitas eksploitasi hutan atau alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi lainnya. Padahal sebagaimana dikemukakan Kartodiharjo (2004) yang dikutip oleh Marinus Kristiadi Harun, peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, secara ekonomi nilai kayu hanya memberi peran 5 persen dari seluruh manfaat hutan. Sedangkan fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar antara 93 sampai 95 persen.

Kerusakan hutan sebenarnya tidak hanya menjatuhkan aktivitas nilai ekonomi hutan. Lebih jauh dari itu juga menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana lingkungan yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan infrastruktur sosial dan ekonomi masyarakat. Sudah cukup banyak anggaran yang dalokasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah akibat terjadinya bencana lingkungan semacam banjir, tanah longsor, teror asap maupun kekeringan di tengah-tengah kondisi perekonomian yang belum pulih pasca krisis. Sementara itu kawasan hutan yang tersisa terus saja terdegradasi kualitas dan kuantitasnya. Tidak sebanding dengan laju keberhasilan rehabilitasi kawasan hutan.

Barangkali masih belum hilang dari ingatan kita, bencana lingkungan secara bertubi-tubi melanda negeri ini. Mulai dari banjir, semburan lumpur dan gas, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, teror asap dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak bencana lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah banjir di Jakarta. Banjir yang terjadi pada awal tahun ini merendam hampir sebagian besar kawasan ibukota. Dampak yang ditimbulkan juga tidak main-main. Kerugian yang ditimbulkan konon mencapai tidak kurang dari Rp4 triliun. Belum termasuk kerugian lainnya yang tak dapat diukur dengan nilai rupiah, seperti hilangnya harta benda, nyawa, munculnya penyakit pasca banjir, dan sebagainya.

Iklim, curah hujan, kapasitas sungai menampung air, sifat-sifat tanah dan sebagainya merupakan faktor-faktor alam yang tidak dapat dikendalikan oleh umat manusia sering dijadikan kambing hitam. Padahal sesungguhnya kalau dikaji lebih jauh, disinyalir terjadinya banjir tidak terlepas dari perilaku kurang arif dalam memperlakukan alam. Misalnya alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan hunian yang menyebabkan hilangnya fungsi tangkapan air (catchment area). Menurut data-data foto satelit LAPAN (Kompas, 3 Pebruari 2007), telah terjadi perubahan penggunaan lahan di Bogor, terutama di daerah tangkapan air hulu Sungai Ciliwung, dari kawasan hijau bervegetasi menjadi kawasan terbangun. Kawasan terbangun yang pada 1992 hanya mencapai seluas 101.363 hektare, pada 2006 naik dua kali lipat menjadi 225.171 hektare. Sedangkan kawasan tidak terbangun yang semula 665.035 hektare menyusut menjadi 541.227 hektare.

Lebih lanjut Tedjasukmana, Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN (Kompas, 3 Pebruari 2007), mengemukakan bahwa permukiman di sepanjang daerah tangkapan air Sungai Ciliwung semakin meluas. Limpahan penduduk dan aktivitas dari Jakarta menyebabkan perumahan, kawasan jasa dan perdagangan, serta industri terus menyebar ke Citeureup, sampai ke Depok. Sementara itu di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi tanah yang terbuka untuk menyimpan air. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk kawasan hijau telah beralih fungsi seiring tuntutan perkembangan ekonomi kota. Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan.

Sayangnya fenomena di atas belum cukup untuk menyadarkan kita semua untuk lebih ramah kepada bumi. Bisa jadi gempa bumi dan tsunami, juga merupakan peringatan Yang Kuasa atas ketidaksadaran dan ketertutupan hati kita, atas berbagai pelajaran yang seharusnya kita ambil dari fenomena alam. Memang kesadaran muncul sesaat setelah bencana lingkungan terjadi tetapi masih bersifat parsial dan temporary. Artinya setelah bencana terjadi, kita sibuk melakukan penghijauan, rehabilitasi lahan kritis, mengkaji ulang tata ruang wilayah dan sebagainya, tetapi hanya bersifat sementara dan berhenti ketika bencana lingkungan telah berlalu. Di di pihak lain masih banyak individu, kelompok masyarakat, kelompok elit, atau badan hukum yang sibuk dengan aktivitas perusakan lingkungan baik secara legal maupun illegal tanpa menghiraukan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Dalam pengelolaan sumber daya alam sering terjadi pertentangan antara kelompok yang menganut paham antroposentris dan ekosentris. Paham antroposentris sering menjadi acuan kelompok developmentalis dan biasanya menjadi pilihan intelektual birokrat dengan dukungan lembaga internasional seperti FAO, IMF, World Bank, ITTO dan lembaga sejenis lainnya. Kelompok ini cenderung menggunakan indikator ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Sementara itu NGO lingkungan lebih banyak mewakili kelompok yang menganut paham ekosentris yang sangat idealis dalam mempelopori dan memperjuangkan gerakan penyelamatan lingkungan. Dua paham ini ibarat dua kutub yang saling berlawanan. Kelompok yang menganut paham antroposentris sering menganggap paham ekosentris merupakan penghambat pembangunan. Sebaliknya kelompok penganut paham ekosentris menganggap pembangunan menjadi ancaman penyelamatan lingkungan.

Kedua paham ini memang sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga lebih pas kalau terjadi perpaduan di antara keduanya. Di sektor kehutanan, pengelolaan taman nasional merupakan salah satu contoh bentuk perpaduan dari kedua paham ini.

Taman nasional dikembangkan menjadi beberapa zona. Zona inti yang tidak boleh dijamah sama sekali (full conservation), zona rimba yang dipergunakan untuk penyelidikan, buffer zone sebagai kawasan penyangga dan zona pemanfaatan dimana pada zona ini dapat dilakukan pemanfaatan ekonomi secara terbatas. Konsep pengelolaan taman nasional seperti ini mestinya juga dapat diadopsi untuk model pengelolaan sumber daya alam yang lain. Dengan perpaduan ini diharapkan pembangunan tetap berjalan tetapi kerusakan lingkungan dapat ditekan pada nadir.

Saatnya kita memetik hikmah dari berbagai bencana yang telah terjadi pada Hari Bumi ini. Keramahan umat manusia kepada bumi paling tidak dapat mengurangi dampak bencana lingkungan yang lebih parah. Upaya menyelamatkan bumi harus disadari bersama sebagai sebuah tanggung jawab bersama. Jangan sampai Yang Kuasa kembali menyadarkan umat manusia dengan bencana lainnya. Wallahu alam bi shawab.***

*) Staf Badan Diklat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

MAHALNYA PENDIDIKAN BERKUALITAS (2)

Radar Banjarmasin, Sabtu, 24 Maret 2007

Mahalnya Pendidikan yang Bekualitas(Bagian Akhir dari Dua Tulisan)
Oleh: Alip Winarto SHut Msi*

LEMBAGA pendidikan tampaknya dari tahun ke tahun masih saja memarjinalkan masyarakat kurang mampu, sehingga peluang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi kalangan ini semakin rendah alias pendidikan yang berkualitas tidak terdistribusi secara merata. Padahal seperti yang diatur dalam UUD 1945 (pasal 31) pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab negara. Bahkan dalam UU Sisdiknas (pasal 49) juga merekomendasikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengalokasikan dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendikan dan biaya kedinasan. Dengan jaminan berbagai regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia seperti disebutkan di atas, diharapkan kebodohan di Indonesia dapat ditekan pada angka yang paling bawah tanpa memandang apakah itu masyarakat kurang mampu atau masyarakat yang mampu.

Pendidikan adalah merupakan jantung utama pembangunan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Betapa pentingnya pendidikan, sehingga para orang tua berani melakukan apa saja demi terpenuhinya kebutuhan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka. Pendidikan seperti siklus darah yang mengalir tanpa henti dalam tubuh manusia, dimana kehidupan seseorang diantaranya sangat tergantung dari apakah aliran darah itu dapat berjalan dengan baik atau tidak. Pendidikan juga menjadi salah satu parameter dalam menentukan keberhasilan pembangunan, karena pendidikan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia sebagai aktor utama pembangunan.

MAHALNYA PENDIDIKAN BERKUALITAS (1)

Radar Banjarmasin, Jumat, 23 Maret 2007
Mahalnya Pendidikan yang Berkualitas
Oleh: Alip Winarto SHut Msi*

UJIAN Akhir Nasional (UAN) sejak diluncurkan beberapa tahun lalu sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, baik yang pro maupun yang kontra. UAN dianggap saat ini sebagai tolok ukur keberhasilan studi seorang siswa dalam sebuah lembaga pendidikan yang diikutinya. Para orang tua murid sering dihantui dengan kecemasan, mampu apa tidak anaknya “lolos dari lubang jarum UAN”. Berbagai upaya ditempuh oleh orang tua murid meskipun harus mengeluarkan biaya ekstra, misalnya dengan mengikutsertakan anak-anak belajar private di luar sekolah.

Ternyata permasalahan yang dihadapi para orang tua tidak berhenti sampai UAN berakhir. Hampir semua orang tua yang anaknya “ lolos dari lubang jarum UAN ” juga akan dihadapkan pada permasalahan baru lagi yaitu problema biaya pendidikan yang semakin tinggi di jenjang berikutnya. Hampir sebagian besar orang tua menginginkan anak dapat mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas meskipun banyak komponen yang harus dibayar ketika seorang anak masuk ke jenjang pendidikan tinggi.

MENGGAGAS BIROKRASI MASA DEPAN

Banjarmasin Post, 23 Mei 2007

MENGGAGAS BIROKRASI MASA DEPAN

PNS berkinerja buruk, sudah semestinya diberi sanksi (punish). Sebaliknya perlu diberi penghargaan (reward) kepada PNS yang berkinerja baik atau berprestasi.
Lebih 60 tahun sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia, birokrasi memiliki andil cukup besar dalam berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pembaharuan manajemen dan sistem pemerintahan terus dilakukan. Begitu juga keberlangsungan fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, regulator, protektor, fasilitator dan sebagainya sangat ditopang oleh birokrasi.

Kelemahan utama kelembagaan birokrasi Indonesia terletak pada strukturnya yang gemuk, atau lebih pas lagi disebut ‘kaya struktur miskin fungsi’. Ketika otonomi daerah (Otda) diberlakukan, struktur ini bertambah gemuk dengan lahirnya sejumlah kabupaten/provinsi baru. Sementara itu, pemerintah pusat membentuk berbagai badan/komisi yang semestinya merupakan bagian dari tugas pokok fungsi departemen yang ada. Selain itu, pemerintah pusat terkesan setengah hati memberikan kewenangan kepada daerah, dengan tetap mempertahankan beberapa instansi vertikal di daerah atau kembali memekarkan struktur organisasi birokrasi pada beberapa departemen. Hal ini sangat ironis dengan kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan dalam beberapa peraturan, agar pemerintah daerah melakukan efisiensi dan perampingan struktur organisasi.