BIROKRASI PROFESIONAL, SUDAHKAH?
Saat ini reformasi memasuki tahun ke delapan, sejak orde baru tumbang pada 1998. Era reformasi menjadi tumpuan harapan banyak kalangan agar kondisi republik yang penuh kemajemukan ini menjadi lebih cerah pada masa akan datang.
Reformasi sedikit banyak membawa angin perubahan dalam berbagai aspek kehidupan dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Tak terkecuali pada jajaran birokrasi, yang juga harus mengikuti perubahan yang terjadi dengan mereformasi diri, agar terwujud birokrasi profesional yang selalu siap memberikan pelayanan prima kepada masyarakat. Keinginan untuk mewujudkan birokrasi yang profesional pun semakin mengemuka.
Birokrasi yang profesional masih menjadi isu aktual sampai saat ini. Hal ini tidak lain karena banyak kalangan yang masih mempunyai harapan agar birokrasi mampu menampilkan perfomance yang baik, mau tampil profesional dalam melaksanakan pelayanan publik, dapat mengedepankan kepentingan masyarakat dan tidak berada di bawah tekanan kelompok politik tertentu. Apalagi peluang saat ini sangat terbuka lebar akibat terjadinya pergeseran sistem politik kita, yang tidak menutup kehadiran parpol dalam jumlah cukup banyak. Juga akibat perubahan paradigma sistem pemerintahan dari sentralistis ke desentralisasi yang memberikan peluang kepada birokrasi khususnya di daerah untuk lebih kreatif, inovatif dan profesional.
Sebelum reformasi bergulir, birokrasi seolah hanya menjadi mesin salah satu parpol yang segala tindakannya selalu membawa visi misi parpol tertentu yang memegang tampuk kekuasaan. Birokrasi tidak lagi independen dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pada era reformasi ini, banyak peluang bagi birokrasi untuk bersikap netral dan hanya menjalankan tugas administratif. Birokrasi sebagai satu lembaga yang melaksanakan kebijaksanaan yang dibuat politisi, sudah saatnya dibangun dengan menganut prinsip rasional dan efisien. Dengan prinsip ini, birokrasi dapat berkembang dan tampil profesional.
Terlepas dari berbagai permasalahan yang mewarnai birokrasi itu, harus diyakini bahwa untuk menjadikan birokrasi profesional itu tidak mudah. Tetapi, bagaimana ide ini harus dilakukan. Jika birokrasi tidak era reformasi dirinya untuk tampil sebagai sosok profesional, maka ia akan kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Birokrasi bisa jadi akan sampai kondisi tidak berdaya dan tidak berguna. Oleh karena itu, birokrasi harus mampu mereformasi diri, menjadi sosok profesional dengan pelayanan prima dan berlaku sebagai abdi negara dan masyarakat, siap
atau tidak siap.
Untuk mewujudkan birokrasi profesional yang mampu memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, tidak memihak pada kepentingan parpol tertentu, memang tidak mudah. Ini karena, parpol yang menjadi penguasa di negeri ini juga memiliki kepentingan terhadap birokrasi.
Hal lain yang juga menjadi penghambat upaya mewujudkan birokrasi profesional
adalah adanya penyakit dalam tubuh birokrasi yang disebut patologi birokrasi. Patologi birokrasi ini yang menyebabkan imej masyarakat negatif tentang birokrasi. Menurut Siagian (1995), patologi birokrasi dapat muncul karena beberapa hal. Yaitu: persepsi dan gaya manajerial pejabat, kurangnya pengetahuan dan keterampilan, tindakan birokrat yang melanggar norma hukum, manifestasi perilaku birokrasi yang bersifat disfungsional, akibat situasi internal dalam berbagai instansi dalam lingkungan pemerintahan. Patologi birokrasi ini harus dicermati untuk mewujudkan birokrasi profesional. Jika hal ini terus berlangsung, akan tercipta kondisi pemerintahan yang buruk (bad reputation of bureaucracy).
Untuk menuju birokrasi profesional, birokrasi harus menjadi profesi mandiri. Dengan demikian, peluang kemampuan birokrasi semakin terbuka lebar sehingga tercipta birokrasi profesional. Kemandirian profesi bisa menciptakan panggilan tugas. Dalam menjalankan tugas, birokrasi bukan semata mencari uang.
Profesi juga mengajarkan untuk berbakti kepada masyarakat, mengurangi proseduralisme atau formalisme, mendorong orang melakukan sesuatu pada organisasi. Dengan kemandirian profesi birokrasi juga akan memperkecil kesenjangan antara teori dan praktik. Pengembangan praktik harus didukung teori keilmuan dan dapat memperkecil informasi kesenjangan terhadap masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat ditipu.
Di samping perlunya birokrasi menjadi profesi mandiri, menjaga netralitas birokrasi juga perlu dipertimbangkan dalam rangka mewujudkan birokrasi profesional. Dengan kata lain, birokrasi harus mampu menghindarkan diri menjadi mesin parpol tertentu. Pejabat politik yaitu menteri dan staf ahli politiknya berkewajiban merumuskan kebijakan politik yang akan dilaksanakan selama memimpin departemen. Jabatan bersifat politis ini sebagai wakil rakyat yang ikut menentukan berbagai kebijakan departemen, sekaligus ikut mengontrol seberapa jauh kebijakan yang dibuat telah dilaksanakan birokrasi. Namun demikian, kedudukan jabatan politis ini tidak strukturalis masuk ke tatanan birokrasi. Jabatan politik ini tidak ada hubungan hirarki dengan jabatan birokrasi.
Alternatif lain yang dapat ditempuh dalam upaya mewujudkan birokrasi profesional adalah menempatkan dan mengembangkan peran media massa sebagai sarana pengawasan publik terhadap kinerja birokrasi. Media massa mempunyai kemampuan dan peluang sangat besar untuk melakukan investigasi dan pelaporan terhadap pelanggaran yang dilakukan birokrasi. Keluhan, kritik dan masukan masyarakat melalui media akan sangat memengaruhi birokrasi untuk menjadi sosok yang lebih baik, karena ada rasa malu kekurangannya diekpose secara luas oleh media massa.
Dalam rangka mendorong terciptanya birokrasi profesional, juga perlu ditekankan adanya mekanisme punish and reward serta insentif dan disintensif. Penghargaan diberikan kepada yang berprestasi dan sanksi kepada yang melanggar norma hukum. Selama ini, sistem penilaian terhadap birokrasi masih mengandalkan DP3 yang dibuat setahun sekali. Pola ini, perlu ditinjau ulang dalam kondisi saat ini. Begitu pula sistem penggajian yang kurang memperhatikan sosok birokrasi bekerja. Semua disamaratakan antara yang berprestasi dan tidak, antara yang rajin dan malas, antara yang beban pekerjaannya banyak dan kurang. Semestinya hal ini juga dijadikan parameter utama dalam sistem penggajian maupun karier. Hal itu akan mendorong birokrasi menjadi lebih profesional dalam melakukan tugasnya.
Alternatif tersebut tidak akan ada artinya, kalau tidak ada upaya mereformasi atau memperbaharui mental birokrasi itu sendiri. Perlu disadari, tugas yang diemban birokrasi adalah amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan, masyarakat, bangsa dan negara. Sayang sekali jika sebagai bangsa yang sering mengklaim diri sebagai bangsa yang religius, mengakui adanya Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi tidak bisa menjaga amanah tersebut dengan baik.
Bagaimana pun susahnya mewujudkan birokrasi profesional, ide mulia ini harus tetap didukung. Apalagi 'bola' good governance telah digelindingkan di negeri ini termasuk di Kalsel yang berani membuat kesepakatan (MoU) tentang Good Governance Pilot project pada 2005 lalu. Birokrasi bagian dari pemerintah yang merupakan salah satu dari tiga pilar dalam good governance. Slogan tentang good governance juga bertebaran menghiasi berbagai instansi dan kantor pemerintahan. Mampukah kita mewujudkan birokrasi profesional seperti yang diharapkan banyak kalangan? Wallahu alam bi shawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar