Advertising

Selasa, 11 Maret 2008

MENGULANG KEJAYAAN INDUSTRI PERKAYUAN, MUNGKINKAH ?

Mengulang Kejayaan Industri Perkayuan Mungkinkah?

Semakin menurunnya potensi hutan, jelas akan semakin memperparah ketimpangan supply dan demand bahan baku industri perkayuan.

Dua dasa warsa lalu, industri perkayuan masih kokoh berdiri. Industri perkayuan merupakan salah satu primadona yang menjadi kebanggaan tersendiri baik bagi pemerintah, masyarakat maupun pelaku usaha. Betapa tidak, industri perkayuan ini telah memberikan kontribusi tidak sedikit bagi berlangsungnya proses pembangunan, khususnya terkait dengan besarnya devisa yang dihasilkan dari produk yang diekspor ke manca negara. Di samping, kemampuannya menyediakan lapangan kerja. Produk ekspor yang dihasilkan industri perkayuan, didominasi plywood dan derivatnya.

Dalam perkembangannya saat ini, industri perkayuan mengalami perubahan luar biasa. Ada yang memprediksikan, keruntuhan industri pengolahan kayu baik skala besar maupun kecil tinggal menunggu waktu. Beberapa pengusaha di bidang perkayuan disibukan memikirkan langkah efisiensi dan rasionalisasi, seperti pengurangan shift kerja, PHK, dan sebagainya. Lebih parah lagi, banyak industri perkayuan yang memang benar-benar tidak mampu memutar mesinnya alias gulung tikar. Salah satu penyebabnya, adanya kesenjangan antara supply dan demand bahan baku kayu.

MENANAM POHON UNTUK KEHIDUPAN

Banjarmasin Post, 28 Juni 2007

MENANAM POHON UNTUK KEHIDUPAN

Hutan merupakan sebuah bioekosistem yang memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan ekonomi, sekaligus penyedia pelayanan berbasis lingkungan. Beberapa waktu lalu LSM internasional ternama Green Peace mengeluarkan pernyataan yang cukup memerahkan telinga. Bagaimana tidak, ketika itu Indonesia disebut-sebut direkomendasikan sebagai pemecah rekor perusak hutan tercepat di dunia.
Seiring dinamika pembangunan di negeri ini, sumber daya hutan (SDH) memang telah mengalami penurunan dari kualitas dan kuantitas. Hal ini diakibatkan adanya akses terhadap SDH yang memang tidak bisa dihindarkan. Aktivitas itu berlangsung secara legal dan illegal, untuk keperluan sektor kehutanan maupun nonkehutanan. Perlahan tapi pasti, keanekaragaman hayati yang dikandung hutan dihadapkan pada penurunan. Bahkan ada kekhawatiran suatu saat keanekaragaman hayati akan sampai pada ketegori paling kritis, yaitu musnahnya spesies flora dan fauna. Fungsi ekonomi dan nonekonomi juga ikut hilang seiring musnahnya SDH.

Tidaklah berlebihan kalau hutan kemudian sering disebut sebagai paru-paru dunia. Hutan menjadi salah satu komponen utama dalam mendukung siklus alami dan berbagai proses berlangsungnya kehidupan organisme di muka bumi ini. Dasar Ilmu Alam yang kita pelajari menegaskan, tumbuhan hijau adalah produsen oksigen.
Meskipun banyak yang menyadari betapa pentingnya SDH, degradasi dan deforestasi dengan berbagai tujuan adalah sesuatu yang tidak mungkin terhindarkan. Sejak lama ahli menyatakan, hutan punya peran sangat penting dalam menjaga ketersediaan oksigen dan zat lain yang dibutuhkan organisme yang hidup di bumi.

Berdasarkan uraian tersebut, tanaman hijau memiliki andil cukup besar dalam mendukung aktivitas kehidupan organisme di muka bumi. Hutan punya andil yang signifikan dalam menyuplai oksigen bagi seluruh organisme di muka bumi. Sementara manusia yang konon disebut sebagai organisme atau makhluk hidup paling beradab dan top manajement dalam pengelolaan SDH, memiliki peran kunci dalam menentukan keberlangsungan SDA. Manusia sebagai konsumen utama bisa saja menjadi penghancur utama (destroyer), atau sebaliknya pelindung SDH.

Sebagai makhluk yang memiliki kemampuan berpikir dan bernalar, maka manusia menjadi komponen penentu dalam sebuah ekosistem. Baik buruknya eksosistem sangat ditentukan oleh perilaku manusia. Oleh karena itu, semestinya kita menunjukkan kepedulian dengan berperan aktif menjaga berbagai siklus alam agar tetap berlangsung dengan azas alaminya dan keseimbangannya tetap terjaga. Kita bisa melakukan gerakan rehabilitasi dan konservasi hutan, mengurangi polusi udara dan air, penghematan pemanfaatan SDH, menanam pohon dan sebagainya. Upaya itu bisa dilakukan baik secara perorangan maupun kolektif. Upaya lembaga pemerintah dan nonpemerintah yang selama ini mendorong, memfasilitasi dan menjadi teladan dalam menyukseskan gerakan ini harus kita dukung sepenuh hati.

Seandainya, satu manusia di muka bumi ini melakukan gerakan menanam pohon, cukup satu pohon. Berarti, satu manusia telah menyumbangkan sebuah mesin/produsen oksigen. Dengan asumsi di muka bumi ini terdapat sekitar lima miliar manusia, maka akan ada lima miliar pohon baru yang nantinya otomatis berfungsi sebagai penyuplai oksigen bagi semua organisme di muka bumi.

Juga, seandainya saja hutan di muka bumi ini dipertahankan sekitar 40% dari luas daratan, pepohonan yang ditanam manusia dapat membuat kita sedikit bernafas lega. Satu pohon yang kita tanam itu, akan menghasilkan oksigen bersama pohon lainnya. Secara tidak langsung kita juga memberikan kontribusi nyata dalam memperbaiki kualitas lingkungan dan atmosfer, serta siklus air dan alam lainnya. Bahkan bukan itu saja. Secara ekonomis di masa akan datang, pohon itu dapat diambil manfaat ekonomisnya. Jadi, menanam pohon untuk kehidupan, mengapa tidak!

ORANG MISKIN DILARANG SEKOLAH ?

Orang Miskin Dilarang Sekolah?


SAAT tulisan ini dibuat, masih berlangsung Penerimaan Siswa Baru (PSB) dan Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) di berbagai lembaga penyelenggara pendidikan. Saat-saat yang cukup menegangkan bagi para orang tua. Mereka disibukkan dengan berbagai urusan agar anak-anak yang baru saja lulus dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Bukan rahasia lagi bahwa otak yang jenius atau cemerlang saja, tidak cukup menjamin mereka bisa masuk atau melanjutkan pendidikan ke jenjang berikutnya. Masih ada faktor lain yang memberikan pengaruh signifikan. Antara lain adalah faktor finansial yang masih mendominasi dan masih dijadikan sebagai salah satu pertimbangan utama dalam menentukan alternatif pilihan lembaga pendidikan yang akan dimasuki. Apakah seorang anak harus masuk sebuah lembaga pendidikan yang diunggulkan atau tidak. Apakah seorang anak bisa masuk jurusan yang bergengsi atau sebaliknya.

Kebahagiaan sesaat mungkin akan muncul ketika sang anak akhirnya diterima di sebuah lembaga pendidikan yang diunggulkan. Namun rasa was-was juga menyelimuti saat menunggu kabar lebih jauh berapa besar komponen-komponen biaya yang harus disetor lagi ke lembaga pendidikan tersebut. Mungkin bukan sebuah masalah yang perlu dipusingkan bagi kalangan yang berkecukupan. Bagaimana halnya dengan kalangan yang termasuk dalam kategori berkekurangan atau miskin? Seolah-olah ada hidden message bagi mereka, ngapain mesti sekolah tinggi-tinggi kalau uang tidak ada, apalagi di lembaga pendidikan yang diunggulkan dan jurusan diunggulkan pula. ”Orang miskin dilarang sekolah”, barangkali itu sebuah ungkapan yang tepat. Padahal rata-rata orangtua menginginkan anak-anaknya masuk lembaga pendidikan yang diunggulkan. Untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan dalam rangka mempersiapkan masa depan yang lebih baik pula.

Para orangtua harus membayar mahal untuk sebuah biaya pendidikan yang bermutu, khususnya di wilayah perkotaan. Ada yang melukiskan bahwa untuk bisa masuk di lembaga pendidikan yang diunggulkan harus mengeluarkan ratusan ribu, hingga puluhan juta rupiah bahkan bisa lebih. Atau terkadang harus merelakan sebuah ”kunci kijang”, atau ”selembar sertifikat”. Padahal pelayanan pendidikan sering disebut-sebut sebagai salah satu jenis pelayanan dasar yang yang menjadi program pemerintah yang tentu saja juga merupakan hak dasar seluruh lapisan masyarakat.

Kondisi tersebut di atas sangat ironis apabila kalangan tertentu terpaksa tidak bisa ikut menikmati salah satu layanan dasar dari pemerintah ini. Siapakah mereka? Tidak lain adalah anak-anak orang-orang miskin atau kurang berkecukupan. Padahal mereka juga mempunyai potensi yang luar biasa untuk dikembangkan. Sehingga potensi yang ada kadang-kadang tidak bisa dikembangkan karena terbentur masalah keuangan.

Mahalnya biaya pendidikan yang bermutu, dapat ditelusuri lebih jauh melalui besarnya uang pangkal yang harus dibayarkan seorang anak diterima di sebuah lembaga pendidikan khususnya lembaga pendidikan tinggi. Semua seolah berlomba-lomba bersaing dalam hal biaya. Tidak jarang juga terjadi pada lembaga-lembaga pendidikan pada level TK samai SLTA. Lagi-lagi para orangtua tidak berkutik dalam hal ini, karena didorong keinginannya untuk memberikan yang terbaik bagi anak-anaknya untuk masa depan yang cemerlang melalui pendidikan yang bermutu. Untuk apa sebenarnya sejumlah uang yang besarannya bervariasi tersebut? Bukankah sudah ada dana-dana yang dialirkan oleh pemerintah untuk program pendidikan, untuk mendukung proses berlangsungnya pendidikan yang bermutu bagi semua?

Banyak alasan yang kadang-kadang menjadi pembenar atau dalih pihak lembaga pendidikan untuk memungut sejumlah uang yang kadang-kadang diluar jangkauan semua kalangan. Alasan klasik yang sering disampaikan terkait dengan hal tersebut adalah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan konon akan diwujudkan dalam bentuk pengembangan berbagai sarana prasarana seperti gedung, laboratorium, komputer, pengembangan perpustakaan, serta berbagai fasilitas belajar mengajar lainnya. Lantas kemanakah dana-dana yang setiap tahun dipungut secara rutin entah itu dalam bentuk uang pangkal, uang registrasi, uang gedung, sumbangan pendidikan dan atau bentuk-bentuk pungutan lainnya? Mengapa setiap tahun alasan klasik ini masih saja ada? Ada pula lembaga pendidikan yang berdalih, mana ada yang gratis di era sekarang ini. Segala sesuatu pasti ada konsekuensinya yaitu keluar biaya. Ada uang, maka ada barang, ada jasa dan sebaliknya. Kalau ingin pintar ya, konsekuensinya harus berani bayar mahal.

Pro dan kontra terkait dengan mahalnya biaya pendidikan tampaknya masih terus berlanjut. Jawaban dari lembaga pendidikan sering sama sekali tidak menyentuh substansi persoalan. Komite sekolah pun kadang-kadang cenderung memposisikan sebagai bamper kebijakan sekolah. Akibatnya masyarakat dapat menyaksikan dan bahkan ikut terlibat dalam berbagai konflik antara pengguna dan produsen jasa pendidikan. Tindakan mengutip sejumlah biaya dengan berbagai alibi sering dilakukan oleh beberapa lembaga pendidikan diunggulkan, baik negeri maupun swasta. Mereka memiliki kecenderungan otoriter dalam menentukan besarnya sumbangan, sehingga orangtua pun kembali tidak berkutik. Siapa sih yang tidak mau, kalau anaknya masuk lembaga pendidikan diunggulkan.

Otoritas lembaga-lembaga pendidikan yang diunggulkan sering dijustifikasi dengan fakta, bahwa sebagian besar peserta didik yang lolos masuk pada lembaga pendidikan tersebut pada umumnya adalah dari kalangan berkecukupan. Sehingga lembaga pendidikan di maksud sepertinya diberikan peluang untuk membebankan biaya-biaya pendidikan anak-anak kepada para orangtua murid. Lembaga pendidikan yang diunggulkan ini juga sering menyombongkan prestasi murid sebagai keunggulan yang semata-mata diciptakan oleh lembaga pendidikan. Akhirnya kalangan yang kurang berkecukupan harus berfikir berulang kali untuk memasukkan anak-anaknya ke lembaga pendidikan semacam ini atau lebih tragis lagi terpaksa membenamkan dalam-dalam keinginannya.

Tidak tertutup kemungkinan peserta didik sudah punya potensi unggul yang beruntung mendapat fasilitas penunjang pendidikan yang lengkap dari orang tuanya. Ditambah berbagai upaya orangtua untuk mengembangkan potensi peserta didik di lembaga-lembaga bimbingan belajar di luar lembaga pendidikan formal. Bukankah semua itu tidak hanya karena prestasi sebuah lembaga pendidikan? Oleh karena itu tidak selalu tepat kalau lembaga pendidikan yang diunggulkan lantas memungut biaya relatif tinggi dengan mengabaikan kemampuan keuangan masyarakat. Sehingga sudah saatnya hal-hal tersebut dikaji ulang.

Dengan demikian tidak ada lagi yang mempertanyakan mengapa begitu sulitnya orang tidak berkecukupan atau miskin mengakses fasilitas pendidikan yang bermutu. Atau paling, kalau mahalnya biaya pendidikan bermutu tidak bisa terhindarkan, harus ada solusi bagi kalangan tidak berkecukupan agar mereka juga bisa menikmati pendidikan yang bermutu. Bukankah pendidikan adalah salah satu layanan dasar pemerintah yang menjadi hak semua kalangan? Wallahu alam bi shawab.***

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

PENDIDIKAN ANTI KORUPSI

Berbagai survei yang dilakukan lembaga nasional maupun internasional menunjukan, Indonesia masih berada dalam kategori negara paling korup. Pada 2001 misalnya, hasil survai oleh sebuah lembaga internasional ternama Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang bermarkas di Hongkong, mengategorikan Indonesia sebagai terkorup ketiga di dunia bersama Uganda. Pada 2003, Indonesia menyandang negara terkorup keempat bersama Kenya. Pada 2005 Indonesia juga tidak bergeser jauh dari predikat negara korup di dunia.

Meskipun reformasi memasuki tahun ke delapan, ternyata tidak begitu saja mampu membumihanguskan korupsi. Saat ini masih banyak kalangan elit yang duduk di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif, BUMN juga partai politik dan organisasi nonpemerintah yang kesandung korupsi baik di tingkat lokal maupun nasional. Korupsi tampaknya masih merupakan penyakit kronis yang mewabah di berbagai wilayah. Mafia peradilan di lingkungan penegak hukum konon dicurigai masih menodai mekanisme penegakkan hukum di negeri ini. Beberapa petinggi di lingkungan penegak hukum yang seharusnya menjadi panutan bagi masyarakat, justru terlibat kasus korupsi. Dampaknya, kepercayaan terhadap lembaga penegak hukum semakin merosot dan proses penegakan hukum menjadi tidak menentu.

Senin, 10 Maret 2008

SULITNYA MEMBERANTAS ILLEGAL LOGGING

Radar Banjarmasin, Senin, 16 Oktober 2006
Sulitnya Memberantas “Illegal Logging”

Salah satu masalah besar yang dihadapi oleh sektor kehutanan Indonesia adalah percepatan laju deforestasi. Penebangan liar yang kemudian lebih populer dengan istilah illegal logging merupakan salah satu pemicu deforestasi yang melanda sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. Menurut MS. Kaban (2005), kerugian yang diderita negara akibat illegal logging mencapai kurang lebih 30 triliun rupiah per tahun atau kurang lebih 83 miliar rupiah per hari. Perkiraan ini berdasarkan perhitungan Departemen Kehutanan sejak tahun 1999, yaitu kurang lebih 29,5 juta meter kubik kayu yang beredar berasal dari hasil aktivitas illegal logging.

Tidak hanya itu saja, illegal logging juga sering dituding sebagai biang keladi bencana banjir dan tanah longsor yang sempat melanda beberapa wilayah di negeri ini. Sebut saja bencana banjir dan tanah longsor di Jember, Banjarnegara, Trenggalek, Janeponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Banjar dan sebagainya. Bencana ini telah memakan korban jiwa dan harta benda serta memporakporandakan perumahan penduduk dan sarana prasarana lainnya. Disinyalir bencana ini terjadi karena kondisi lingkungan yang semakin rusak, hutan gundul yang semakin meluas yang salah satunya disebabkan oleh aktivitas illegal logging.

SAATNYA BELAJAR DARI BENCANA

Rabu, 18 April 2007

Saatnya Belajar dari Bencana
(Refleksi Menyongsong Hari Bumi 2007)
Oleh: Alip Winarto SHut MSi*

BUMI merupakan habitat bagi semua makhluk hidup yang semakin lama semakin berat bebannya. Kebutuhan manusia yang semakin banyak dan beragam yang antara lain hanya bisa dipenuhi melalui pemanfaatan sumber daya alam menyebabkan bumi sebagai tempat berpijak seolah-olah semakin sempit saja. Pemanfaatan sumber daya alam yang ada di permukaan maupun di dalam perut bumi yang kurang bijak telah menyebabkan terjadi perubahan yang mengarah kepada kerusakan. Padahal semestinya manusia berkewajiban mengelola sumber daya alam yang ada di bumi, agar bermanfaat untuk semua makhluk hidup dalam jangka waktu yang panjang.

Saat ini perilaku arif manusia dalam merubah dan mewujudkan kualitas bumi agar menjadi lebih baik, merupakan sebuah keharusan. Karena itu diperlukan adanya kebersamaan untuk mewujudkan perubahan tersebut. Salah satu bentuk kebersamaan itu adalah ditetapkannya Hari Bumi yang diperingati setiap tanggal 22 April. Momentum Hari Bumi ini diharapkan seluruh bangsa di dunia menyadari bahwa kondisi bumi semakin lama semakin memprihatinkan. Beban yang harus ditanggung bumi sebagai habitat semua makhluk hidup, semakin lama semakin berat.

Semakin tingginya kebutuhan ekonomi, dan juga gagalnya kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah, membawa konsekuensi bumi terus-menerus mendapatkan tekanan yang cukup berat, dicemari dan dirusak. Meskipun berbagai kebijakan dan regulasi telah dikeluarkan pemerintah dan berbagai upaya penegakan hukum juga telah ditempuh untuk berbagai aktivitas pemanfaatan sumber daya alam yang tidak ramah lingkungan, yang mangabaikan kerusakan lingkungan tetap saja berlangsung baik oleh individu, kelompok masyarakat, kelompok elit, badan usaha milik swasta dan sebagainya. Salah satu dampak yang ditimbulkan dari ketidakramahan tersebut adalah berbagai bencana lingkungan yang sangat merugikan bagi umat manusia.

Pertumbuhan ekonomi memang menjadi sasaran utama pembangunan. Namun demikian faktor pertumbuhan ekonomi saja tidak cukup sebagai dasar pengambilan kebijakan pengelolaan sumber daya alam. Aspek lingkungan yang sebenarnya memegang peranan cukup penting juga tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Di sektor kehutanan misalnya, karena alasan peningkatan devisa negara, peningkatan pendapatan daerah, penyediaan lapangan kerja, atau peningkatan pendapatan masyarakat lokal sering dijadikan dalih pembenaran aktivitas eksploitasi hutan atau alih fungsi kawasan hutan untuk kegiatan ekonomi lainnya. Padahal sebagaimana dikemukakan Kartodiharjo (2004) yang dikutip oleh Marinus Kristiadi Harun, peneliti pada Balai Penelitian Kehutanan Banjarbaru, secara ekonomi nilai kayu hanya memberi peran 5 persen dari seluruh manfaat hutan. Sedangkan fungsi hutan sebagai daya dukung lingkungan justru memberi peran lebih besar antara 93 sampai 95 persen.

Kerusakan hutan sebenarnya tidak hanya menjatuhkan aktivitas nilai ekonomi hutan. Lebih jauh dari itu juga menjadi salah satu penyebab terjadinya bencana lingkungan yang memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap kerusakan infrastruktur sosial dan ekonomi masyarakat. Sudah cukup banyak anggaran yang dalokasikan oleh pemerintah pusat maupun daerah akibat terjadinya bencana lingkungan semacam banjir, tanah longsor, teror asap maupun kekeringan di tengah-tengah kondisi perekonomian yang belum pulih pasca krisis. Sementara itu kawasan hutan yang tersisa terus saja terdegradasi kualitas dan kuantitasnya. Tidak sebanding dengan laju keberhasilan rehabilitasi kawasan hutan.

Barangkali masih belum hilang dari ingatan kita, bencana lingkungan secara bertubi-tubi melanda negeri ini. Mulai dari banjir, semburan lumpur dan gas, tanah longsor, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan, teror asap dan sebagainya. Salah satu dari sekian banyak bencana lingkungan yang terjadi akhir-akhir ini adalah banjir di Jakarta. Banjir yang terjadi pada awal tahun ini merendam hampir sebagian besar kawasan ibukota. Dampak yang ditimbulkan juga tidak main-main. Kerugian yang ditimbulkan konon mencapai tidak kurang dari Rp4 triliun. Belum termasuk kerugian lainnya yang tak dapat diukur dengan nilai rupiah, seperti hilangnya harta benda, nyawa, munculnya penyakit pasca banjir, dan sebagainya.

Iklim, curah hujan, kapasitas sungai menampung air, sifat-sifat tanah dan sebagainya merupakan faktor-faktor alam yang tidak dapat dikendalikan oleh umat manusia sering dijadikan kambing hitam. Padahal sesungguhnya kalau dikaji lebih jauh, disinyalir terjadinya banjir tidak terlepas dari perilaku kurang arif dalam memperlakukan alam. Misalnya alih fungsi kawasan konservasi menjadi kawasan hunian yang menyebabkan hilangnya fungsi tangkapan air (catchment area). Menurut data-data foto satelit LAPAN (Kompas, 3 Pebruari 2007), telah terjadi perubahan penggunaan lahan di Bogor, terutama di daerah tangkapan air hulu Sungai Ciliwung, dari kawasan hijau bervegetasi menjadi kawasan terbangun. Kawasan terbangun yang pada 1992 hanya mencapai seluas 101.363 hektare, pada 2006 naik dua kali lipat menjadi 225.171 hektare. Sedangkan kawasan tidak terbangun yang semula 665.035 hektare menyusut menjadi 541.227 hektare.

Lebih lanjut Tedjasukmana, Deputi Bidang Penginderaan Jauh LAPAN (Kompas, 3 Pebruari 2007), mengemukakan bahwa permukiman di sepanjang daerah tangkapan air Sungai Ciliwung semakin meluas. Limpahan penduduk dan aktivitas dari Jakarta menyebabkan perumahan, kawasan jasa dan perdagangan, serta industri terus menyebar ke Citeureup, sampai ke Depok. Sementara itu di hulu, air hujan yang seharusnya terserap ke tanah justru mengalir ke sungai. Tidak ada lagi pepohonan yang menyimpan air di dalam tanah. Tidak ada lagi tanah yang terbuka untuk menyimpan air. Kawasan yang semula diperuntukkan untuk kawasan hijau telah beralih fungsi seiring tuntutan perkembangan ekonomi kota. Fungsi konservasi lingkungan tidak lagi diperhatikan.

Sayangnya fenomena di atas belum cukup untuk menyadarkan kita semua untuk lebih ramah kepada bumi. Bisa jadi gempa bumi dan tsunami, juga merupakan peringatan Yang Kuasa atas ketidaksadaran dan ketertutupan hati kita, atas berbagai pelajaran yang seharusnya kita ambil dari fenomena alam. Memang kesadaran muncul sesaat setelah bencana lingkungan terjadi tetapi masih bersifat parsial dan temporary. Artinya setelah bencana terjadi, kita sibuk melakukan penghijauan, rehabilitasi lahan kritis, mengkaji ulang tata ruang wilayah dan sebagainya, tetapi hanya bersifat sementara dan berhenti ketika bencana lingkungan telah berlalu. Di di pihak lain masih banyak individu, kelompok masyarakat, kelompok elit, atau badan hukum yang sibuk dengan aktivitas perusakan lingkungan baik secara legal maupun illegal tanpa menghiraukan dampak yang mungkin ditimbulkan.

Dalam pengelolaan sumber daya alam sering terjadi pertentangan antara kelompok yang menganut paham antroposentris dan ekosentris. Paham antroposentris sering menjadi acuan kelompok developmentalis dan biasanya menjadi pilihan intelektual birokrat dengan dukungan lembaga internasional seperti FAO, IMF, World Bank, ITTO dan lembaga sejenis lainnya. Kelompok ini cenderung menggunakan indikator ekonomi sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan. Sementara itu NGO lingkungan lebih banyak mewakili kelompok yang menganut paham ekosentris yang sangat idealis dalam mempelopori dan memperjuangkan gerakan penyelamatan lingkungan. Dua paham ini ibarat dua kutub yang saling berlawanan. Kelompok yang menganut paham antroposentris sering menganggap paham ekosentris merupakan penghambat pembangunan. Sebaliknya kelompok penganut paham ekosentris menganggap pembangunan menjadi ancaman penyelamatan lingkungan.

Kedua paham ini memang sama-sama memiliki kekurangan dan kelebihan, sehingga lebih pas kalau terjadi perpaduan di antara keduanya. Di sektor kehutanan, pengelolaan taman nasional merupakan salah satu contoh bentuk perpaduan dari kedua paham ini.

Taman nasional dikembangkan menjadi beberapa zona. Zona inti yang tidak boleh dijamah sama sekali (full conservation), zona rimba yang dipergunakan untuk penyelidikan, buffer zone sebagai kawasan penyangga dan zona pemanfaatan dimana pada zona ini dapat dilakukan pemanfaatan ekonomi secara terbatas. Konsep pengelolaan taman nasional seperti ini mestinya juga dapat diadopsi untuk model pengelolaan sumber daya alam yang lain. Dengan perpaduan ini diharapkan pembangunan tetap berjalan tetapi kerusakan lingkungan dapat ditekan pada nadir.

Saatnya kita memetik hikmah dari berbagai bencana yang telah terjadi pada Hari Bumi ini. Keramahan umat manusia kepada bumi paling tidak dapat mengurangi dampak bencana lingkungan yang lebih parah. Upaya menyelamatkan bumi harus disadari bersama sebagai sebuah tanggung jawab bersama. Jangan sampai Yang Kuasa kembali menyadarkan umat manusia dengan bencana lainnya. Wallahu alam bi shawab.***

*) Staf Badan Diklat Daerah Provinsi Kalimantan Selatan

MAHALNYA PENDIDIKAN BERKUALITAS (2)

Radar Banjarmasin, Sabtu, 24 Maret 2007

Mahalnya Pendidikan yang Bekualitas(Bagian Akhir dari Dua Tulisan)
Oleh: Alip Winarto SHut Msi*

LEMBAGA pendidikan tampaknya dari tahun ke tahun masih saja memarjinalkan masyarakat kurang mampu, sehingga peluang untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas bagi kalangan ini semakin rendah alias pendidikan yang berkualitas tidak terdistribusi secara merata. Padahal seperti yang diatur dalam UUD 1945 (pasal 31) pendidikan merupakan salah satu tanggung jawab negara. Bahkan dalam UU Sisdiknas (pasal 49) juga merekomendasikan pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus mengalokasikan dana minimal 20 persen dari APBN dan APBD di luar gaji pendikan dan biaya kedinasan. Dengan jaminan berbagai regulasi yang mengatur tentang penyelenggaraan sistem pendidikan di Indonesia seperti disebutkan di atas, diharapkan kebodohan di Indonesia dapat ditekan pada angka yang paling bawah tanpa memandang apakah itu masyarakat kurang mampu atau masyarakat yang mampu.

Pendidikan adalah merupakan jantung utama pembangunan dan kebutuhan seluruh lapisan masyarakat. Betapa pentingnya pendidikan, sehingga para orang tua berani melakukan apa saja demi terpenuhinya kebutuhan pendidikan yang berkualitas bagi anak-anak mereka. Pendidikan seperti siklus darah yang mengalir tanpa henti dalam tubuh manusia, dimana kehidupan seseorang diantaranya sangat tergantung dari apakah aliran darah itu dapat berjalan dengan baik atau tidak. Pendidikan juga menjadi salah satu parameter dalam menentukan keberhasilan pembangunan, karena pendidikan sangat terkait dengan kualitas sumber daya manusia sebagai aktor utama pembangunan.

MAHALNYA PENDIDIKAN BERKUALITAS (1)

Radar Banjarmasin, Jumat, 23 Maret 2007
Mahalnya Pendidikan yang Berkualitas
Oleh: Alip Winarto SHut Msi*

UJIAN Akhir Nasional (UAN) sejak diluncurkan beberapa tahun lalu sampai saat ini masih menjadi pembicaraan hangat, baik yang pro maupun yang kontra. UAN dianggap saat ini sebagai tolok ukur keberhasilan studi seorang siswa dalam sebuah lembaga pendidikan yang diikutinya. Para orang tua murid sering dihantui dengan kecemasan, mampu apa tidak anaknya “lolos dari lubang jarum UAN”. Berbagai upaya ditempuh oleh orang tua murid meskipun harus mengeluarkan biaya ekstra, misalnya dengan mengikutsertakan anak-anak belajar private di luar sekolah.

Ternyata permasalahan yang dihadapi para orang tua tidak berhenti sampai UAN berakhir. Hampir semua orang tua yang anaknya “ lolos dari lubang jarum UAN ” juga akan dihadapkan pada permasalahan baru lagi yaitu problema biaya pendidikan yang semakin tinggi di jenjang berikutnya. Hampir sebagian besar orang tua menginginkan anak dapat mengenyam pendidikan tinggi yang berkualitas meskipun banyak komponen yang harus dibayar ketika seorang anak masuk ke jenjang pendidikan tinggi.

MENGGAGAS BIROKRASI MASA DEPAN

Banjarmasin Post, 23 Mei 2007

MENGGAGAS BIROKRASI MASA DEPAN

PNS berkinerja buruk, sudah semestinya diberi sanksi (punish). Sebaliknya perlu diberi penghargaan (reward) kepada PNS yang berkinerja baik atau berprestasi.
Lebih 60 tahun sejak kemerdekaan Bangsa Indonesia, birokrasi memiliki andil cukup besar dalam berbagai dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara. Upaya pembaharuan manajemen dan sistem pemerintahan terus dilakukan. Begitu juga keberlangsungan fungsi pemerintahan seperti pelayanan publik, regulator, protektor, fasilitator dan sebagainya sangat ditopang oleh birokrasi.

Kelemahan utama kelembagaan birokrasi Indonesia terletak pada strukturnya yang gemuk, atau lebih pas lagi disebut ‘kaya struktur miskin fungsi’. Ketika otonomi daerah (Otda) diberlakukan, struktur ini bertambah gemuk dengan lahirnya sejumlah kabupaten/provinsi baru. Sementara itu, pemerintah pusat membentuk berbagai badan/komisi yang semestinya merupakan bagian dari tugas pokok fungsi departemen yang ada. Selain itu, pemerintah pusat terkesan setengah hati memberikan kewenangan kepada daerah, dengan tetap mempertahankan beberapa instansi vertikal di daerah atau kembali memekarkan struktur organisasi birokrasi pada beberapa departemen. Hal ini sangat ironis dengan kebijakan pemerintah pusat yang dituangkan dalam beberapa peraturan, agar pemerintah daerah melakukan efisiensi dan perampingan struktur organisasi.