Advertising

Jumat, 16 Januari 2009

PELAYANAN SEBAGAI ORIENTASI PNS

Pelayanan Sebagai Orientasi PNS

Birokrasi mengandung pengertian adanya pengaturan agar sumber daya yang ada dimanfaatkan secara efektif dan efisien untuk mencapai tujuan tertentu. Birokrasi, sebagaimana dikemukakan oleh Weber merupakan sistem dalam, organisasi. Sebagai sebuah sistim dalam organisasi birokrasi haruslah diatur secara rasional, impresonal (kedinasan), bebas prasangka dan tidak memihak. Dengan pengaturan tersebut diharapkan organisasi akan dapat memanfaatkan sumber daya manusia aparatur secara maksimal untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Dalam konteks seperti yang diuraikan di atas birokrasi sebenarnya bermakna positif. Birokrasi tidak seperti yang dikenal umum seperti saat ini. Birokrasi terlalu sering dimaknai negatif dengan proses yang berbelit-belit, panjang, penuh ketidakpastian, penuh formalitas, feodal dan high cost economy, penghambat investasi dal lain sebagainya.

Birokrasi Indonesa dapat diibaratkan dengan sebuah bangunan yang mempunyai enam pilar utama. Pilar-pilar tersebut adalah individu aparatur, kepemimpinan, struktur dan institusi, sistem dan prosedur, budaya masyarakat dan kesejahteraan. Namun demikian apabila dicermati satu persatu ternyata pilar-pilar tersebut sangat rapuh. Pilar-pilar tersebut tidak cukup kokoh dan tidak akan mampu menopang bagi terciptanya birokrasi yang profesional. Individu aparatur mempunyai beberapa kelemahan mendasar yaitu kurangnya kompetensi, lemahnya internalisasi nilai-nilai dan etos kerja, bekerja lebih banyak berdasarkan perintah daripada inisiatif dan inovasi. Hal ini dapat terjadi karena rendahnya tingkat kesejahteraan aparatur.Sistem dan prosedur birokrasi mempunyai kelemahan yang mendasar yaitu kurangnya sistim pemantauan, pengendalian, pengawasan dan penilaian aparatur yang terukur, sistim karir yang tidak pasti, prosedur mutasi dan promosi yang tidak transparan. Dari aspek struktur dan institusi terdapat kelemahan yang mendasar yaitu struktur yang besar dan kewenangan yang tidak fokus.

Institusi yang yang ada terjadi terjadi tumpang tindih ruang lingkup pekerjaan, kurang koordinasi dan terjadi ego sektoral dan institusi yang tinggi. Sementara itu budaya masyarakat masih bertumpu pada beberapa kebiasaan lama. Misalnya lebih baik berdamai dengan polisi daripada kena tilang. Atau memberi uang sogok agar urusannya dipercepat, tidak mau melaporkan bila ada penyimpangan dan lain-lain. Setiap organisasi birokrasi dimanapun selalu mempunyai nilai-nilai dasar yang menjadi pedoman aparatur dalam bekerja. Tata nilai yang ada dalam birokrasi tersebut menjadi acuan ukuran dan standar moral dalam menunaikan hak dan kewajibannya.


Pertanyaannya untuk kita sebagai pegawai negeri sipil atau sebagai aparatur adalah sebagai berikut. Pertama, apakah nilai-nilai dasar yang harus dianut oleh aparatur yang ada di dalamnya ? Kedua, nilai-nilai dasar apakah yang diajarkan kepada aparatur saat memasuki dunia kerja ? Ketiga, bagaimanakah proses internalisasi nilai-nilai tersebut ke dalam diri aparatur ? Pertanyaan tersebut perlu dijawab bersama-sama karena dalam kondisi perubahan saat ini nilai-nilai dasar tersebut mempunyai peran strategis untuk membangun perilaku dan pola pikir baru aparatur birokrasi.

Nilai-nilai tersebut di atas bila dibandingkan antara nilai lama dan baru adalah sebagai berikut. Nilai-nilai lama meliputi orientasi lokal, bekerja sendiri, orientasi pada teknis, focus pada hasil, reaktif dan pasif, serta orientasi jumlah dan pemenuhan kebutuhan hidup. Sedangkan nilai baru terdiri dari orientasi lokal dan global, aliansi dan jaringan, beroreintasi pada masyarakat/pasar, focus pada nilai tambah, proaktif dan inovatif serta berorientasi pada etika dan profesionalisme.
Berbagai tata nilai sebagaimana dikemukakan di atas dapat dijadikan sebagai dasar dalam pelayanan publik, seharusnya menjadi arah atau orientasi pelaksanaan tugas aparatur birokrasi, sekaligus menjadi indikator kinerja aparatur. Dalam arti sempit pelayanan publik adalah suatu tindakan pemberian barang dan jasa kepada publik atau masyarakat oleh pemerintah dalam rangka tanggungjawabnya kepada publik, baik diberikan secara langsung maupun melalui kemitraan dengan swasta dan masyarakat berdasarkan jenis dan intensitas kebutuhan masyarakat dan pasar. Konsep ini menekankan pada bagaimana pelayanan publik berhasil diberikan melalui suatu delivery system yang sehat. Pelayanan publik ini dapat dilihat sehari-hari di semua bidang. Diantaranya adalah pada bidang transportasi, perpajakan, perijinan, administrasi, kemanan, kesehatan, telekomunikasi, air bersih, transportasi dan sebagainya.

Tujuan pelayanan publik adalah menyediakan barang dan jasa yang terbaik bagi masyarakat. Barang dan jasa yang terbaik adalah yang memenuhi apa yang dijanjikan atau apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Dengan demikian pelayanan publik yang terbaik adalah yang memberikan kepuasan terhadap publik, kalau perlu melebihi harapan publik. Dalam arti luas konsep pelayanan publik (publik sevice) identik dengan public administration yaitu berkorban atas nama orang lain dalam mencapai kepentingan publik (Perry, 1989). Dalam konteks ini pelayanan publik lebih dititikberatkan kepada bagaimana elemen-elemen administrasi publik seperti policy making, desain organisasi dan proses manajemen dimanfaatkan untuk mensukseskan pemberian pelayanan publik, dimana pemerintah merupakan pihak provider yang diberi tanggung jawab.

Dalam dunia administrasi publik atau etika pelayanan publik diartikan sebagai filsafat dan profesional standar (kode etik) atau moral atau right rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi dalam pemberian pelayanan publik atau administrator publik (Denhardt, 1998). Berdasarkan konsep dan etika pelayanan publik tersebut, yang dimaksud dengan etika pelayanan publik adalah suatu praktek administrasi publik dan atau pemberian pelayanan publik (delivery system) yang didasarkan atas serangkaian tuntutan perilaku (rules of conduct) atau kode etik yang mengatur hal-hal yang baik yang gharus dilakukan atau sebaliknya yang tidak baik agar dihindarkan.

Dalam pemberian pelayanan publik di Indonesia pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan) desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi otoritas yang sangat bisa terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, sumber daya manusia, informasi dan sebagainya). Yang semuanya itu nampak dari bersifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel dan tidak mencerminkan keadilan. Semua kondisi tersebut telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan kita, dan melemahnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan bila tidak dilakukan upaya yang sistimatis untuk memecahkan masalah tersbut akan berpengaruh pada pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan secara umum atau pemberian pelayanan umum, peningkatan kesejahteraan masyarakat dan daya saing. ■

Tidak ada komentar: